Monday 13 May 2013

“LIBRARY IS MY STYLE” Perpustakaan Sebagai Gaya Hidup Generasi MTV


Pendahuluan

“Slamet adalah seorang pemuda yang eksentrik. Lahir dari keluarga petani desa yang memiliki 10 hektar sawah. Hasil panen dijual ke kota dengan berkirim email dan MMS ke kantor Bulog. Setiap ada perkembangan harga dan kenaikan harga pupuk dia selalu memantau dengan ipad yang disimpan ditasnya. Sedangkan untuk mendapatkan informasi cuaca untuk masa tanam selalu berjejaring dengan BMG menggunakan video chat. Tak jarang Slamet menghubungi staf menteri pertanian dengan menggunakan BBM untuk mengetahui kebijakan apa yang akan diputuskan karena adanya masalah yang akhir-akhir ini membuat resah kaum petani didaerahnya. Slamet memiliki komunitas online sebagai sarana komunikasi dalam bidang pertanian yang tidak saja dari kalangan petani semata tetapi dari berbagai kalangan, akademisi, pedagang bahkan praktisi dari luar negeri. Sebagai bahan bacaan wajib Slamet adalah majalah Trubus yang diunduh dari internet setiap bulannya. Sedangkan untuk bertemu dengan sesama anggota komunitas petani, Slamet terbiasa bertemu direstoran cepat saji yang terdapat disebelah gedung perpustakaan yang sepi dari aktivitas kunjungan pemustaka. Suatu ketika Slamet pernah berkunjung ke perpustakaan, namun layanan yang diberikan oleh petugas perpustakaan tidak memberikan pencerahan bagi Slamet, justru teguran yang diterima oleh Slamet. Akhirnya Slamet trauma dengan layanan perpustakaan. Sejak saat itu Slamet tidak pernah berkunjung ke perpustakaan karena informasi yang diinginkan oleh Slamet pun sudah tersedia digenggaman tangannya”.

            Ilustrasi tersebut mencoba menguak sejumlah persoalan kunci dalam layanan lembaga informasi terutama perpustakaan dalam menghadapi fenomena perkembangan masyarakat yang semakin dinamis dan kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merubah struktur kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris, masyarakat industry dan masyarakat post industry yang lebih menitikberatkan pada keabsahan dan nilai informasi sebagai tujuan utamanya. Informasi sebagai tulang punggung masyarakat dalam aspek kehidupan, oleh karena itu masyarakat post industry disebut juga sebagai masyarakat informasi. Meskipun Slamet sebagai seorang petani, namun atribut dan representasi tanda yang melekat pada dirinya adalah generasi masyarakat informasi dengan tulang punggung teknologi informasi dan nilai dari keabsahan informasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan. Berbeda dengan organisasi perpustakaan yang merupakan representasi dari perubahan masyarakat akan informasi yang belum mampu memanfaatkan peluang dalam tatanan kehidupan masyarakat informasi, bahkan teknologi informasi utamanya teknologi jaringan berupa internet dengan berbagai atribut mesin pencari seperti google, yahoo, infoseek, dan media sosial merupakan ancaman bagi eksistensi perpustakaan. Alasannya adalah perpustakaan memiliki wewenang dalam mengolah dan menyajikan informasi yang dilayankan kepada masyarakat, sedangkan internet memberikan kemudahan akses informasi yang tidak diberikan oleh perpustakaan. Dengan demikian perpustakaan menganggap internet dengan mesin pencarinya sebagai ancaman dalam memberikan layanan informasi. Termasuk juga masyarakat yang memanfaatkan teknologi tersebut belum sepenuhnya diakomodasi oleh perpustakaan. Sebagai contoh Slamet sebagai generasi yang tumbuh dalam tempaan budaya tanda dan budaya visual yang memiliki ciri selalu terhubung dengan media online, selalu berjejaring, adaptif dengan teknologi baru, independent, menonjolkan hiburan leha-leha, gaya hidup komunitas yang berbeda dengan generasi teks sebelumya termarjinalisasi karena adanya ‘aturan’ perpustakaan yang tidak peka dalam tren perkembangan pengetahuan, teknologi dan gaya hidup masyarakat. Perpustakaan tidak berusaha merubah citra yang sesungguhnya telah berubah dinamis dan kompleks. Pola pikir pustakawan masih terpusat pada ‘layanan buku’ bukan kepada ‘layanan pengguna’.
            Dalam era masyarakat informasi, perpustakaan yang tidak memiliki kemauan merubah citra tersebut akan ditinggalkan oleh pemustaka seperti yang terlihat dalam indicator statistic tingkat kunjungan pemustaka yang selalu menurun. Kesalahan bukan pada pemustaka dan lembaga informasi, tetapi dari budaya pustakawan yang tidak mau merubah pola layanan yang mengikuti tren perkembangan masyarakat itu sendiri.
            Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa generasi masyarakat sekarang ini dapat dikategorikan sebagai generasi visual yang dikonstruksi oleh konsumsi tanda dari perangkat teknologi informasi dan jaringan broadcast yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Dalam perspektif budaya dan sosiologis seringkali perkembangan generasi yang sedang terjadi saat ini disebut sebagai generasi postmodern yang bercirikan pada perubahan dan evolusi masyarakat yang meliputi perubahan dalam struktur sosial, politik dan budaya. Menurut Bell dalam Sutrisno (2005) masyarakat postmodern menekankan pada perubahan dalam waktu dan ruang, tiadanya pusat, dominasi budaya visual, nonrasionalitas dan irasionalitas, anti intelektualisme, hilangnya sekat antara budaya tinggi dan budaya rendah dan hilangnya jati diri.
            Dengan adanya perubahan tren generasi dan perubahan masyarakat itu sendiri sebagai generasi visual yang memuja ‘dominasi budaya visual’ yang bersifat ‘leha-leha’, maka perpustakaan pun seharusnya berupaya mengimbangi perubahan tersebut dengan merubah paradigma layanan informasi untuk generasi MTV tersebut, tetapi dengan menekankan pada konsep dialektika transfer ilmu pengetahuan sebagai tujuan utamanya.

Generasi MTV
            Konsep perubahan paradigma layanan perpustakaan dengan mengakomodasi generasi MTV sudah seharusnya dilaksanakan sebagai bagian dari transformasi perpustakaan menghadapi kedatangan generasi MTV. Pada hakikatnya generasi MTV merupakan generasi postmodern yang lahir dalam era informasi atau era internet. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Castell dalam Ritzer (2007) kemunculan masyarakat dilihat dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, computer dan sebagainya) yang memiliki karekteristik paradigma teknologi informasi yakni:
1.      Teknologi yang bereaksi dengan informasi,
2.      Informasi adalah bagian dari aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive,
3.      Semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa mempengaruhi berbagai proses dan organisasi.
4.      Teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara konstan,
5.      Teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.
Castell berpandangan bahwa revolusi perkembangan masyarakat akan menuju kondisi masyarakat berteknologi informasi sebagai bagian dari kehidupan keseharian. Kondisi tersebut saat ini sudah jamak dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Sedangkan menurut Ibarahim (2007) generasi visual lahir, dibesarkan dan diasuh diantara narasi visual yang berbeda dengan budaya tekstual. Generasi visual menjadikan hiburan dan tontonan televisi sebagai panglima dan waktu luang serta waktu bermain mereka tersita oleh televisi. Produk industry budaya massa yang selanjutnya melahirkan generasi MTV karena kegandrungan generasi ini pada acara tontonan yang ditayangkan lewat video music atau hiburan di MTV.
Dengan demikian maka secara alamiah dan direncanakan sebaik mungkin oleh perpustakaan yang dituangkan dalam kebijakan dan strategi menghadapi generasi MTV, sudah seharusnya perpustakaan berubah cara pandannya dalam ‘melayani’ generasi MTV yang memiliki karakeristik berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang bersifat tekstual.
 Setidaknya perpustakaan memerlukan konsep perubahan yang meliputi pertama, perpustakaan harus bersikap akomodatif terhadap generasi MTV dengan memberikan fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ generasi MTV. Sikap akomodatif tersebut dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan menggunakan konsep learning commons yang disesuaikan dengan kebutuhan generasi MTV. Penyediaan sarana prasarana yang representative, terkoneksi internet 24 jam sebagai sarana berjejaring, tersedianya prasarana untuk berleha-leha sebagai tempat untuk diskusi, penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang lengkap. Kedua menyediakan koleksi bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan secara bersama-sama. Generasi MTV tidak begitu memperdulikan koleksi dalam bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan cara koneksi dengan internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu perpustakaan perlu mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi perpustakaan baik yang bersifat online dan yang bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi generasi MTV, aturan tersebut dirubah tetapi dengan berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang harus ditegakkan, dalam arti bahwa generasi MTV bukan generasi yang ‘termarjinalkan’ karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi, tetapi generasi MTV pun harus menghormati norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi dengan perkembangan ‘gaya hidup’ generasi MTV yang memandang bahwa perpustakaan adalah bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan akses informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup dengan berbagai sifat dan karakteristik generasi MTV yang memuja kebebasan dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah bagaimana membangun konsep dialektika antara pustakawan dan generasi MTV dengan memanfaatkan kegiatan bersama berupa kegiatan literasi informasi yang dilaksanakan secara periodic. Literasi informasi dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan sumber-sumber informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun karekterisik generasi MTV yang selalu berjejaring dan terkoneksi internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam memberikan bimbingan bagaimana mencari, menggunakan dan mendapatkan informasi yang benar dan handal. Keenam adalah adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang bersifat interaktif menggunakan teknologi web tentang jenis-jenis layanan perpustakaan dan produk informasi yang diproduksi oleh perpustakaan.

Penutup
             Kedatangan genarasi MTV yang menggunakan layanan perpustakaan tidak perlu dianggap sebagai sumber ancaman bagi eksistensi perpustakaan. Generasi MTV lahir dari perkembangan masyarakat dengan tulang punggung ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyertainya. Dalam perkembangannya generasi MTV merupakan produk dari masyarakat informasi yang memiliki ciri utama bahwa informasi merupakan nilai dan sumber pranata sosial masyarakat yang sangat diutamakan dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi perpustakaan berkewajiban mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan informasi generasi MTV meskipun secara tekstual terdapat pertentangan antara perpustakaan dan generasi MTV. Kewajiban perpustakaan adalah bertrasformasi mengikuti pola perkembangan generasi MTV yang bersifat independent dan memandang perpustakaan adalah sebagai gaya hidup. Oleh karena itu sudah sewajarnya generasi MTV ‘mengakomodasi’ perpustakaan sebagai ‘gaya hidup’ generasi MTV dan juga sebaliknya merupakan kewajiban perpustakaan memandang generasi MTV sebagai pemustaka perpustakaan yang harus dilayani bukan ‘dimarjinalkan’ karena berbeda dengan generasi tekstual yang memuja proses dialektika antara teks dengan pemustaka. Trasformasi perpustakaan adalah kemauan mengakomodasi perubahan sifat generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya, dengan demikian sudah selayaknya perpustakaan merupakan ‘gaya hidup bagi generasi MTV’, tidak saja pemujaan pada acara video music di televisi, namun perpustakaan pun dipuja sebagai bagian dari gaya hidup generasi MTV. Semoga.












Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Idy Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi; Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.

Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna; Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Wednesday 19 December 2012

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN DI TENGAH PUSARAN BUDAYA POSTMODERN


PENDAHULUAN
Era keterbukaan, era komunikasi massa, era masyarakat informasi, era demokratisasi informasi dan era postmodern yang tengah melanda masyarakat sekarang ini terlihat dari berbagai macam fonomena tanda yang hampir pasti merasuki semua aspek kehidupan masyarakat. Fenomena yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan trend penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang punggungnya. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal karena tidak mampu mengikuti pusaran ‘kecepatan’ yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan budaya global dengan tetap mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah mereka kita sebut sebagai masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai masyarakat modern) atau kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek misalnya dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Sesungguhnya kondisi masyarakat kita sekarang ini sudah masuk dalam pusaran pengaruh budaya ‘postmodern’ yang berafiliasi dengan unsur ‘kecepatan’ di hampir semua aspek. Salah satu indikator masyarakat postmodern adalah terbentuknya budaya konsumsi yang ditandai dengan model ‘kecepatan’ sebagai acuannya. Contoh kasus adalah makanan cepat saji, mobile phone, internet dan sarana cyber lainnya yang kesemuanya menjadi spiritualitas baru masyarakat. Komodifikasi tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan trend dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat konsumen. Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan gaya hidup.
Lalu bagaimana dengan kondisi Perpustakaan sekarang ini, apakah keadaannya demikian adanya, terpengaruh oleh budaya postmodern? Secara nyata dapat dilihat dari indikator berapa jumlah pemustaka yang memanfaatkan teknologi web dalam menelusur informasi di portal Perpustakaan perhari, berapa jumlah OPAC untuk mencari literature, berapa jumlah pemustaka yang terlayani oleh sistem informasi perjam dan lain sebagainya, yang kesemua indikator tersebut mencerminkan ‘kecepatan akses dan kecepatan layanan’ sebagai produk informasi perpustakaan sekarang ini. Dengan indikator trend kecepatan, efisiensi, dan efektivitas apakah hal tersebut bukan merupakan representasi budaya konsumsi sebagai hasil penetrasi dari budaya postmodern? Artinya semua kegiatan perpustakaan sekarang ini dari unsur administrasi, teknis dan layanan informasi mencerminkan budaya postmodern yang mengutamakan kecepatan, berjejaring (connectivity) dan penggunaan teknologi informasi sebagai sarana utama “memasarkan” produk informasi perpustakaan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana dengan ‘spirit perpustakaan’ sebagai lembaga ‘sosial’ untuk menyediakan sumber informasi sebagai lembaga yang mengemban amanah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ atau setidak-tidaknya sebagai lembaga sumber belajar sepanjang hayat ditengah pusaran budaya postmodern yang bercitra negatif dan merusak menurut sebagian besar tanggapan masyarakat kita sekarang ini? Bagaimana posisi perpustakaan mempertahankan ‘identitas budaya’ sebagai lembaga pusat informasi dan pembelajaran mandiri? Dan sesungguhnya ‘kecepatan-kecepatan informasi’ tersebut untuk siapa? Setidaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut layak direnungkan bagi perpustakaan, pustakawan dan individu yang memerlukan ‘pencerahan’ dizaman yang serba cepat, canggih, one klik, mobile dan berjejaring.

PEMBAHASAN
            Perpustakaan saat ini dihadapkan pada kondisi yang dilematis, apakah harus bertransformasi dengan kaidah ‘kecepatan’ informasi, atau sekedar sebagai lembaga ‘penyaji’ informasi dengan mempertahankan identitas budaya yang sudah melekat sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tentunya memerlukan ‘perenungan, pembelajaran, diskusi, interpretasi’ tanpa harus mengagung-agungkan ‘kecepatan dan interkoneksi’. Bukankah proses pembelajaran yang hakiki adalah tersedianya ‘teks, konten informasi’ yang memerlukan perenungan dan interpretasi daripada sekedar mengejar ‘up to date, kecepatan, nilai, dan keterhubungan’?. Mengapa konsensus budaya perpustakaan sebagai lembaga sosial ‘pemerata’ ilmu pengetahuan harus bertransformasi kearah ‘kecepatan akses informasi’ dengan teknologi internet yang bersumber dari produksi ‘kapitalis’ informasi yang hanya sekedar memenuhi hasrat kecepatan, tanpa mau menggali arti dari kecepatan itu sendiri. Mengapa seringkali perpustakaan terjebak pada kondisi ‘kuantitas’ pemustaka yang ‘tinggi’ apabila berkunjung ke perpustakaan karena adanya fasilitas yang ‘serba baru’ dengan perangkat wifi, lab computer, OPAC, meeting room, kafe, sofa, book corner tanpa memperhatikan ‘kualitas’ intelektual pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan. Apakah benar pemustaka yang menggunakan sarana wifi, internet, chating disofa benar-benar melaksanakan kegiatan ‘intelektualitas’ dalam arti ada proses dialektika dari yang tidak tahu menjadi kegiatan pencerahan, ataukah hanya sekedar ‘berselancar’ memenuhi kebutuhan hasrat informasi gaya hidup selebritis dari pada kegiatan dialektika pembelajaran.
            Lalu bagaimana dengan perpustakaan yang minim fasilitas ‘kecepatan’, tidak ada sambungan internet, OPAC terbatas, tetapi perpustakaan tersebut ‘memanusiakan’ pemustaka dengan sumber referensi literature yang melimpah, interkoneksi berasal dari pustakawan dengan pemustaka yang saling menghormati, kolaboratif mencapai dialektika pembelajaran tentang ilmu pengetahuan? Artinya bahwa perpustakaan merupakan ruang dialog antara pustakawan dan pemustaka untuk memberikan pencerahan intelektualitas dengan konsensus ‘perpustakaan adalah sumber pembelajaran sepanjang hayat’ dengan memerlukan perenungan, interpretasi, dan interaksi kearah individu yang lebih baik dengan tulang punggung ‘proses’ dialektika bukan unsur ‘kecepatan’ sebagai tujuan utamanya.
            Gambaran-gambaran akan kondisi perpustakaan sekarang ini yang merupakan representasi budaya postmodern yang tengah melanda organisasi public keinformasian perpustakaan. Sebelum lebih lanjut menelaah peran dan posisi perpustakaan ditengah budaya postmodern ada baiknya terlebih dahulu mendeskripsikan budaya postmodern dengan ciri-ciri yang berkembang dimasyarakat luar yang nantinya dapat kita bandingkan dan telaah, baik dan buruknya budaya postmodern tersebut.

POSTMODERN
            Pergulatan tentang arti dan definisi postmodern dari bebarapa ahli sosiologi dan budaya tidak dapat memberikan definisi yang pasti, hanya sebagian tokoh tersebut memberikan indicator ‘wacana tanda’ yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang sedang berlangsung sekarang ini. Tokoh postmodern yang sering sebagai rujukan dalam menganalisa masyarakat postmodern diantaranya adalah Lyotard yang memberikan wacana tanda berupa masyarakat postmodern dilandaskan pada gerakan kearah tatanan post industrial. Lyotard memberikan asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era industry yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari era kegelapan, renaissance dan era revolusi industry. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme (Featherstone). Bahwa produksi industry tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat seperti halnya dalam era industry, tetapi kondisi sekarang ini produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh ‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam penggunaan sarana teknologi computer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial budaya masyarakat diera penggunaan computer dan teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard menakankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai alat pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara ‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
            Sedangkan Sutrisno dan Hendar Putranto memberikan klarifikasi dan sejumlah definisi pokok tentang postmodernisme meliputi:
1.      Definisi postmodernisme, tidak mempunyai sebuah definisi tunggal monolit-ketat yang bisa selalu kita acu dan kita jadikan pegangan. Namum, setidaknya postmodernisme mempunyai dua karakter pokok: pertama, gaya estetis dan artistic yang menolak kode-kode artistic dan estetis dari era modernisme. Kedua, posisi teoritis dan filosofis yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (seperti pascastrukturalisme)
2.      Definisi pascamodernitas, sebuah tahap perkembangan sosial yang dipikirkan sebagai melampaui modernitas. Ide pokok yang mau diangkat disini adalah bahwa telah terjadi perubahan radikal dari ekonomi era industry yang berkutat seputar produksi barang dan jasa menuju ekonomi pascaindustri yang diorganisasikan seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi.
3.      Definisi pascamodernisasi (postmodernization), sejumlah proses perubahan sosial yang mengarah pada transisi dari modernitas menuju pascamodernitas.
4.      Globalisasi, proses dimana dunia tempat kita hidup ini menjadi semakin terhubung satu sama lain, dan dunia di mana batas-batas politis, budaya, ekonomis yang tadinya ada, sekarang menjadi semakin rapuh, mengabur, bahkan dianggap kurang relevan.
Postmodern merupakan alat untuk menganalisa fenomena-fenomena sosial budaya yang tengah terjadi dimasyarakat kita sekarang ini tidak terkecuali perpustakaan dan pusat-pusat informasi lainnya.
      Untuk lebih memberikan pemahaman tentang postmodern, maka ciri-ciri budaya dan masyarakat postmodern dapat dianalisa sebagai berikut;
1.      Pengaruh budaya dan media massa yang menjadi sedemikian kuat dalam hidup sosial daripada era sebelumnya.
2.      Hidup sosial dan ekonomi lebih berkisar pada konsumsi symbol-simbol dan gaya hidup daripada produksi barang yang menjadi ciri khas era industry.
3.      Serangan atau kritik atas ide tentang realitas dan representasinya.
4.      Yang menjadi prinsip pemersatu dari produksi cultural adalah imaji dan ruang, bukan lagi narasi dan sejarah.
5.      Munculah aneka macam parodi, pasthice, ironi, kitsch dan elektrisme pop seperti tampak dalam pementasan wayang kulit, dalam babak ‘goro-goro’ dimana tokoh bima didarat berbicara kepada gatotkaca yang melayang di udara dengan menggunakan mobile phone.
6.      Bentuk-bentuk arsitektur urban menunjukan gejala penonjolan hiburan, ‘leha-leha’, dan gaya hidup seperti paling jelas tampak dalam pusat-pusat perbelanjaan (mall), taman hiburan, dan kompleks hunian seperti real estate, kondominium, dan apartemen.
7.      Hibriditas dipuja, rigiditas distingsi (klasifikasi, batas-batas, seperti batas antar budaya tinggi atau elite dan budaya rendah atau popular) semakin mengabur atau bahkan ditinggalkan.
Ciri-ciri budaya postmodern apabila kita kaitkan dengan perpustakaan, maka memiliki kemiripan dan setidaknya perpustakaan pun telah mengaplikasikan perangkat teknologi informasi untuk memberikan layanan maksimal kepada pemustaka perpustakaan. Tidak mengherankan kemudian perpustakaan berlomba-lomba memberikan aspek kecepatan, keakuratan, ketepatan dalam akses informasi kepada pemustaka, karena sesungguhnya pemustaka tersebut merupakan masyarakat postmodern yang harus dilayanai oleh perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi masyarakat postmodern.

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN
            Dilema perpustakaan ditengah pusaran postmodern merupakan tahapan lembaga perpustakaan untuk bertransformasi menuju lembaga pusat informasi sebagai rujukan masyarakat postmodern, namun kondisi tersebut ternyata menimbulkan pertentangan bagi perpustakaan dan pustakawan dalam menyikapi perubahan tersebut. Dengan latar belakang budaya postmodern yang digambarkan secara ‘ekstrem’ keluar dari kaidah-kaidah dialektika yang selama ini sudah terbagun di perpustakaan, memberikan tantangan tersendiri bagi perpustakaan dan pustakawan itu sendiri. Aspek penggunaan teknologi informasi, konektivitas, literasi informasi, learning common harus secara nyata diaplikasikan oleh perpustakaan untuk menyambut ‘pemustaka postmodern’ dengan berbagai karakteristik budaya yang menyertainya. Perpustakaan dihadapkan pada problem besar bagaimana mengakomodasi semua kebutuhan tersebut dengan memperhatikan semua factor dari segi teknis, SDM, sarana prasarana, relasi komunikasi dan negosiasi yang harus diaplikasikan segera untuk memenuhi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’.
            Apakah memang benar transformasi semua aspek layanan perpustakaan dari sarana prasarana, kemampuan SDM, kebijakan informasi, negosiasi dan interaksi tersebut dapat memberikan pemahaman dan dialektika yang terbagun antara perpustakaan dan pemustaka tersebut dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas, atau hanya semata-mata untuk pemenuhan ‘gaya hidup’ lembaga perpustakaan tanpa adanya pemaknaan yang nyata tentang arti kebutuhan transformasi intelektualitas dan pembelajaran. Selama ini perpustakaan hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan sarana prasarana yang menuntut adanya kecepatan, konektivitas, ketersediaan tanpa memperhatikan kedalaman ‘makna’ intelektualitas itu sendiri, semisal apakah memang benar fasilitas tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pembelajaran dan peningkatan kemampuan kognisi pemustaka. Memang perpustakaan dihadapkan oleh kondisi ‘pemustaka postmodern’ yang memerlukan kebutuhan yang serba ‘terhubung’, leha-leha, diskusi besar, namun perpustakaan dan pemustaka ternyata belum ‘siap’ menghadapi tantangan tersebut.
            Pustakawan masih saja berkutat pada kegiatan ‘mainstrem’ perpustakaan yang dilakukan secara periodic dari tahap satu ketahap lainnya secara urut tanpa mau memandang kebutuhan pemustaka postmodern yang sangat dinamis. Kondisi tersebut mencerminkan pertentangan perpustakaan pada kondisi ambigu, apakah akan mengaplikasikan dan mengakomodasi kebutuhan pemustaka tersebut atau masih mengharapkan dan mempertahankan identitas budaya perpustakaan berupa ‘kesunyian’ dan proses ‘dialektika antara pustakawan dan pemustaka’?
            Ambiguitas perpustakaan tercipta apabila perpustakaan telah menyadari adanya ‘perubahan besar’ yang harus diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi perpustakaan tidak dapat keluar dari ‘mainstrem’ layanan perpustakaan yang bersifat periodic, dan perpustakaan pun tidak mampu menganalisa berbagai indicator pemenuhan kebutuhan pemustaka tersebut benar-benar digunakan secara sewajarnya oleh pemustaka postmodern atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata, artinya ketika perpustakaan dengan berbagai hambatan dan problem besar berusaha memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi kenyataannya akomodasi yang dilaksanakan oleh perpustakaan berupa pemenuhan sarana prasarana, konektifitas informasi, learning common, leha-leha digunakan untuk pemenuhan ‘prestis’ pemustaka semata.
            Pemustaka berkunjung ke perpustakaan hanya sekedar untuk pemenuhan ‘prestis’ tanpa membangun dialektika pengetahuan antara ‘teks informasi’ dan pustakawan, tetapi hanya berselancar menggunakan perangkat teknologi informasi untuk ‘relasi’ media sosial dan kebutuhan berleha-leha, sebaliknya pun pustakawan ‘termanjakan’ dengan sarana prasarana ‘berjejaring’ namun hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan hiburan semata, tanpa mau memberikan pencerahan kepada pemustaka dengan relasi konektifitas untuk menelusur sumber-sumber literature informasi intelektual untuk proses pembelajaran.
Dengan asumsi seperti ini maka ambiguitas perpustakaan sesungguhnya tengah melanda perpustakaan, pustakawan dan pemustaka itu sendiri. Perpustakaan menyediakan sarana prasarana dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka, tetapi pemustaka hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata tanpa mau menggali ‘makna’ sesunguhnya, sedangkan pustakawan sebagai mediator dialektika antara sumber informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas pemustaka, termanjakan tidak mau menganalisa apakah segala fasilitas dan sarana prasarana kebutuhan informasi tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan informasi intelektualitas pemustaka perpustakaan atau hanya sekedar untuk ‘prestis dan gaya hidup’.
Setidaknya perpustakaan dan pustakawan menyadari, bahwa era sekarang telah berkembang kearah budaya postmodern yang merubah paradigma yang telah ‘mapan’ dalam waktu yang lama, yang perlu diaplikasikan adalah perpustakaan harus bertransformasi dari ‘book centric’ ke ‘user centric’. Transformasi itu pun tidak semata-mata hanya untuk pemenuhan kebutuhan pemustaka semata, pustakawan berhak dan berkewajiban menganalisa apakah segala fasilitas dan kecepatan tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan intelektulitas atau hanya untuk ‘gaya hidup semata.
Budaya postmodern tidak semata-mata mencerminkan budaya yang ‘arogan’ dan ‘negatif’, namun budaya tersebut mencerminkan fenomena yang sedang terjadi saat ini. Penggunaan dan implementasi perubahan budaya tersebut harus digunakan sesuai dengan karakter budaya asli dan harus mencerminkan ‘identitas budaya’ local yang selama ini telah tertanam dan diaplikasikan.

KESIMPULAN
            Fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi sekarang ini memberikan pemahaman dan menambah khasanah pengetahuan bagi masyarakat itu sendiri dan bagi perpustakaan sebagai lembaga informasi yang hadir sebagai sarana pengumpul, pelestari dan pusat informasi. Perubahan sosial masyarakat yang sedang menggejala dewasa ini adalah perubahan sosial dari arah ‘modern’ kearah ‘postmodern’. Berbagai perdebatan tersebut menyertai dinamika perubahan masyarakat. Terminology modern itu sendiri pun mengacu pada kondisi revolusi industry yang menciptakan relasi produksi dan konsumsi masyarakat untuk proses pembangunan, sedangkan postmodern mencerminkan kondisi ‘pasca’ modern dengan indicator fenomena budaya kecepatan, konektifitas, teknologi informasi, masyarakat konsumsi, penetrasi media massa dan iklan, dan simulasi tanpa yang menggantikan makna sesungguhnya.
            Penetrasi dan pengaruh budaya postmodern pun melanda perpustakaan sebagai organisasi penyedia dan penyaji informasi. Bagi penganut budaya postmodern, informasi merupakan komoditas yang berharga dan semua tulang punggung kehidupan masyarakat sekarang tergantung pada keabsahan dari informasi. Ditengah-tengah pergulatan tersebut perpustakaan mengalami dilema sebagai lembaga dengan ‘misi sosial’ tentang informasi atau harus larut dalam pusaran budaya postmodern dengan informasi sebagai komoditasnya.
            Perpustakaan sudah selayaknya bertansformasi dengan mengakomodasi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’ dengan tetap mempertahankan ‘identitas budaya’ perpusakaan yang selama ini sudah terbangun. Asas kecepatan informasi bagi perpustakaan merupakan spirit yang harus dipertahankan untuk meningkatkan ‘nilai informasi’ perpustakaan ditengah budaya postmodern, perpustakaan berkewajiban dan berhak menganalisa kebutuhan pemustaka postmodern sesuai dengan kebutuhan informasi dan sesuai dengan proses dialektika intelektualitas pembelajaran. Konsensus perpustakaan adalah sebagai lembaga informasi intelektualitas yang mementingkan dialektika antara pustakawan dan pemustaka.







Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna; Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ritzer, George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Wednesday 8 August 2012

Pembajakan simbol-simbol perpustakaan


Geliat pengembangan perpustakaan akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan positif yang layak diapresiasi. Berbagai jenis perpustakaan berkembang dan bertransformasi memberikan layanan terbaik kepada pemustaka yang diposisikan sebagai pihak yang wajib dilayani dengan segera dan maksimal. Jasa layanan prima tidak saja sebagai slogan semata, tetapi telah diaplikasikan oleh semua perpustakaan yang berkembang dimasyarakat. Apresiasi positif ini tentunya menjadi lokomotif perubahan masyarakat yang menginginkan informasi dikelola, diberdayakan dan digunakan untuk menunjang kecerdasan dan peningkatan intelektualitas masyarakat secara umum. Jika sudah demikian maka masyarakat informasi akan segera terwujud dengan segala aktivitas masyarakat yang menggantungkan akan nilai dan keabsahan informasi sebagai tulang punggungnya.
Bagi perpustakaan sendiri dengan UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, sebagai landasan hukum tetang pengelolaan perpustakaan, menjadi sumber referensi utama bagaimana perpustakaan sebagai pusat informasi public memberikan aturan-aturan baku tentang pengelolaan perpustakaan. Tentu UU tersebut masih memerlukan “pendamping” berupa peraturan-paraturan implementasi untuk melaksanakaannya, namun demikian setidaknya perpustakaan memiliki payung hukum tentang perpustakaan secara umum dalam proses pengelolaannya. Sosialisasi Undang-undang perpustakaan pun serempak dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat pemerhati perpustakaan, perguruan tinggi sampai kalangan komunitas pencinta perpustakaan.
Namun demikian ketika masyarakat mulai bertransformasi kearah perubahan yang lebih baik dan apresiasi tentang perpustakaan begitu menggema diberbagai kalangan, muncul berbagai dilema perkembangan perpustakaan itu sendiri. Ruang lingkup perpustakaan ternyata semakin luas tidak sebatas pada aspek pengelolaan, pelayanan prima, teknologi informasi, psikologi pengguna dan manajemen koleksi perpustakaan, namun menjadi sangat luas mencakup factor politis pemerintahan, ekonomi dan social budaya masyarakat.  Luasnya aspek perpustakaan tersebut sejatinya bermuara pada ‘policy’ tentang perpustakaan itu sendiri yang ternyata bermakna ganda sebagai sarana peningkatan kualitas SDM atau malah sebaliknya sebagai sarana ‘mengolok-olok’ perpustakaan itu sendiri. Tanggapan ‘minor’ tentang perpustakaan pun semakin buruk dikalangan masyarakat. Organisasi informasi public menjadi tercemar oleh tumpang tindihnya policy tentang pengelolaan perpustakaan.
Contoh kasus yang menjadi perhatian masyarakat adalah buruknya konsep manajemen koleksi pustaka untuk perpustakaan-perpustakaan sekolah baik tingkat dasar, menengah dan tingkat atas. Masyarakat pun paham akan ketidakberesan policy tersebut. Apabila meruntut waktu terdahulu, dengan berbagai kasus ‘korupsi’ buku ajar yang dilaksanakan oleh kepada daerah untuk program pengadaan buku-buku ajar disekolah, sejatinya kasus sekarang pun masih memiliki korelasi dengan latar belakang ‘logika proyek’ sebagai landasan hukum untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Memang ranah hukum begitu sigap mengantisipasi penyelewengan program tersebut dengan menjebloskan kepala daerah ke rumah pemasyarakatan, namun yang menjadi persoalan mengapa program-program yang mengatasnamakan perpustakaan selalu ‘melenceng’ dari aturan hukum yang berlaku. Seperti halnya dengan penarikan buku-buku pengayaan disekolah-sekolah yang terindikasi unsur pornografi yang merusak adab ketimuran. Perpustakaan sekolah menjadi sorotan ketidakberesan proses buruknya pengadaan koleksi yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Perpustakaan dituduh tidak bisa menganalisa kebutuhan koleksi yang digunakan oleh siswa sekolah. Padahal yang melaksanakan proses pengadaan adalah bukan perpustakaan tetapi “logika proyek” pengadaan buku masih menjadi acuan utama untuk meningkatkan mutu layanan perpustakaan melalui penambahan koleksi di perpustakaan sekolah dibeberapa pemerintahan daerah.
Seringkali perpustakaan diperdaya dengan berbagai macam program pembinaan, peningkatan mutu layanan dan pemberian sarana prasarana gratis yang ternyata tidak sesuai dengan standar perpustakaan itu sendiri. Program tersebut sejatinya untuk perpustakaan, namun proses pengisian usulan, pengadaan, pelelangan dan pendistribuasian ternyata tidak melibatkan perpustakaan. Perpustakaan sebagai pihak penerima “proyek” yang hanya dijadikan obyek dengan dalih meningkatkan mutu kualitas dan jasa layanan perpustakaan tanpa memperhatikan kebutuhan riil untuk perpustakaan yang sebenarnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pelelangan proyek pengadaan buku perpustakaan sekolah misalnya, hanya melibatkan 1 penerbit pemenang tender dengan berbagai macam ‘trik’ untuk memenangkan kegiatan tersebut. Akibatnya tentunya menurunkan mutu materi buku apa yang seharusnya digunakan untuk layanan perpustakaan. Belum lagi daftar usulan yang dibuat ternyata bukan pustakawan yang mengusulkan pengadaan buku, hanya pejabat dinas yang diserahi merangkum buku-buku yang akan diadakan. Jika sudah demikian masyarakat pun mengamini kasus-kasus proses pengadaan buku perpustakaan yang tidak semestinya karena alur pengadaan yang tidak terencana dan tidak dikelola dengan semestinya.
Kambing hitam kegiatan pengelolaan perpustakaan sekolah dengan berbagai problem permasalahan yang kompleks, sejatinya bukan tanggung jawab pihak pustakawan semata, namun bertumpu pada kebijakan dan proses kegiatan yang tidak berjalan dengan semestinya. Setidaknya harus ada iktikad yang baik dari pengambil kebijakan, bahwa upaya peningkatan mutu layanan perpustakaan dengan dalih meningkatkan mutu SDM masyarakat harus menjadi acuan yang utama. Kemudian kegiatan tersebut serahkan pada bidang keahlian dan kemampuannya dalam hal ini adalah pihak pustakawan yang tentunya memiliki integritas yang mumpuni. Pustakawan membuat daftar usulan koleksi yang akan diadakan dengan memperhatikan kurikulum, kebutuhan siswa, literature penunjang dengan berkoordinasi dengan pihak guru sebagai mitra tentang koleksi yang layak diadakan. Kepala sekolah dan komite melakukan supervisi tentang koleksi yang sekiranya layak dan baik untuk menunjang proses belajar mengajar, sedangkan dinas terkait berfungsi sebagai pengawas kegiatan tersebut telah berjalan dengan baik dan benar.
Dengan mengacu pada kegiatan tersebut tentunya apa yang dicita-citakan dalam upaya peningkatan mutu dan sarana mencerdaskan kehidupan masyarakat akan terlaksana, bukan lagi “logika proyek” yang menggantungkan pada “untung rugi” dari setiap kegiatan tanpa memperhatikan kandungan nilai informasi dari buku diperpustakaan sekolah. Perpusatakaan tidak lagi menjadi symbol yang disalahkan dengan melayani pemustaka dengan koleksi buku yang tidak semestinya. Sudah saatnya perpustakaan sebagai lembaga yang mengedepankan intergritas moral dan kapabilitas ilmu untuk kemajuan masyarakat dalam bidang informasi public. Semoga.

Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...