Geliat
pengembangan perpustakaan akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan positif yang
layak diapresiasi. Berbagai jenis perpustakaan berkembang dan bertransformasi
memberikan layanan terbaik kepada pemustaka yang diposisikan sebagai pihak yang
wajib dilayani dengan segera dan maksimal. Jasa layanan prima tidak saja
sebagai slogan semata, tetapi telah diaplikasikan oleh semua perpustakaan yang
berkembang dimasyarakat. Apresiasi positif ini tentunya menjadi lokomotif
perubahan masyarakat yang menginginkan informasi dikelola, diberdayakan dan
digunakan untuk menunjang kecerdasan dan peningkatan intelektualitas masyarakat
secara umum. Jika sudah demikian maka masyarakat informasi akan segera terwujud
dengan segala aktivitas masyarakat yang menggantungkan akan nilai dan keabsahan
informasi sebagai tulang punggungnya.
Bagi
perpustakaan sendiri dengan UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, sebagai
landasan hukum tetang pengelolaan perpustakaan, menjadi sumber referensi utama
bagaimana perpustakaan sebagai pusat informasi public memberikan aturan-aturan
baku tentang pengelolaan perpustakaan. Tentu UU tersebut masih memerlukan
“pendamping” berupa peraturan-paraturan implementasi untuk melaksanakaannya,
namun demikian setidaknya perpustakaan memiliki payung hukum tentang
perpustakaan secara umum dalam proses pengelolaannya. Sosialisasi Undang-undang
perpustakaan pun serempak dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat
pemerhati perpustakaan, perguruan tinggi sampai kalangan komunitas pencinta
perpustakaan.
Namun demikian
ketika masyarakat mulai bertransformasi kearah perubahan yang lebih baik dan
apresiasi tentang perpustakaan begitu menggema diberbagai kalangan, muncul
berbagai dilema perkembangan perpustakaan itu sendiri. Ruang lingkup
perpustakaan ternyata semakin luas tidak sebatas pada aspek pengelolaan,
pelayanan prima, teknologi informasi, psikologi pengguna dan manajemen koleksi
perpustakaan, namun menjadi sangat luas mencakup factor politis pemerintahan,
ekonomi dan social budaya masyarakat. Luasnya aspek perpustakaan tersebut sejatinya
bermuara pada ‘policy’ tentang perpustakaan itu sendiri yang ternyata bermakna
ganda sebagai sarana peningkatan kualitas SDM atau malah sebaliknya sebagai
sarana ‘mengolok-olok’ perpustakaan itu sendiri. Tanggapan ‘minor’ tentang
perpustakaan pun semakin buruk dikalangan masyarakat. Organisasi informasi
public menjadi tercemar oleh tumpang tindihnya policy tentang pengelolaan
perpustakaan.
Contoh kasus
yang menjadi perhatian masyarakat adalah buruknya konsep manajemen koleksi
pustaka untuk perpustakaan-perpustakaan sekolah baik tingkat dasar, menengah
dan tingkat atas. Masyarakat pun paham akan ketidakberesan policy tersebut.
Apabila meruntut waktu terdahulu, dengan berbagai kasus ‘korupsi’ buku ajar
yang dilaksanakan oleh kepada daerah untuk program pengadaan buku-buku ajar
disekolah, sejatinya kasus sekarang pun masih memiliki korelasi dengan latar
belakang ‘logika proyek’ sebagai landasan hukum untuk melaksanakan kegiatan
tersebut. Memang ranah hukum begitu sigap mengantisipasi penyelewengan program
tersebut dengan menjebloskan kepala daerah ke rumah pemasyarakatan, namun yang
menjadi persoalan mengapa program-program yang mengatasnamakan perpustakaan
selalu ‘melenceng’ dari aturan hukum yang berlaku. Seperti halnya dengan
penarikan buku-buku pengayaan disekolah-sekolah yang terindikasi unsur pornografi
yang merusak adab ketimuran. Perpustakaan sekolah menjadi sorotan
ketidakberesan proses buruknya pengadaan koleksi yang tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Perpustakaan dituduh tidak bisa menganalisa kebutuhan
koleksi yang digunakan oleh siswa sekolah. Padahal yang melaksanakan proses
pengadaan adalah bukan perpustakaan tetapi “logika proyek” pengadaan buku masih
menjadi acuan utama untuk meningkatkan mutu layanan perpustakaan melalui
penambahan koleksi di perpustakaan sekolah dibeberapa pemerintahan daerah.
Seringkali
perpustakaan diperdaya dengan berbagai macam program pembinaan, peningkatan
mutu layanan dan pemberian sarana prasarana gratis yang ternyata tidak sesuai
dengan standar perpustakaan itu sendiri. Program tersebut sejatinya untuk
perpustakaan, namun proses pengisian usulan, pengadaan, pelelangan dan
pendistribuasian ternyata tidak melibatkan perpustakaan. Perpustakaan sebagai
pihak penerima “proyek” yang hanya dijadikan obyek dengan dalih meningkatkan
mutu kualitas dan jasa layanan perpustakaan tanpa memperhatikan kebutuhan riil
untuk perpustakaan yang sebenarnya.
Sudah menjadi
rahasia umum bahwa proses pelelangan proyek pengadaan buku perpustakaan sekolah
misalnya, hanya melibatkan 1 penerbit pemenang tender dengan berbagai macam ‘trik’
untuk memenangkan kegiatan tersebut. Akibatnya tentunya menurunkan mutu materi
buku apa yang seharusnya digunakan untuk layanan perpustakaan. Belum lagi
daftar usulan yang dibuat ternyata bukan pustakawan yang mengusulkan pengadaan
buku, hanya pejabat dinas yang diserahi merangkum buku-buku yang akan diadakan.
Jika sudah demikian masyarakat pun mengamini kasus-kasus proses pengadaan buku
perpustakaan yang tidak semestinya karena alur pengadaan yang tidak terencana
dan tidak dikelola dengan semestinya.
Kambing hitam
kegiatan pengelolaan perpustakaan sekolah dengan berbagai problem permasalahan
yang kompleks, sejatinya bukan tanggung jawab pihak pustakawan semata, namun
bertumpu pada kebijakan dan proses kegiatan yang tidak berjalan dengan
semestinya. Setidaknya harus ada iktikad yang baik dari pengambil kebijakan,
bahwa upaya peningkatan mutu layanan perpustakaan dengan dalih meningkatkan
mutu SDM masyarakat harus menjadi acuan yang utama. Kemudian kegiatan tersebut
serahkan pada bidang keahlian dan kemampuannya dalam hal ini adalah pihak
pustakawan yang tentunya memiliki integritas yang mumpuni. Pustakawan membuat
daftar usulan koleksi yang akan diadakan dengan memperhatikan kurikulum,
kebutuhan siswa, literature penunjang dengan berkoordinasi dengan pihak guru
sebagai mitra tentang koleksi yang layak diadakan. Kepala sekolah dan komite
melakukan supervisi tentang koleksi yang sekiranya layak dan baik untuk
menunjang proses belajar mengajar, sedangkan dinas terkait berfungsi sebagai
pengawas kegiatan tersebut telah berjalan dengan baik dan benar.
Dengan mengacu
pada kegiatan tersebut tentunya apa yang dicita-citakan dalam upaya peningkatan
mutu dan sarana mencerdaskan kehidupan masyarakat akan terlaksana, bukan lagi “logika
proyek” yang menggantungkan pada “untung rugi” dari setiap kegiatan tanpa
memperhatikan kandungan nilai informasi dari buku diperpustakaan sekolah. Perpusatakaan
tidak lagi menjadi symbol yang disalahkan dengan melayani pemustaka dengan
koleksi buku yang tidak semestinya. Sudah saatnya perpustakaan sebagai lembaga
yang mengedepankan intergritas moral dan kapabilitas ilmu untuk kemajuan
masyarakat dalam bidang informasi public. Semoga.
No comments:
Post a Comment