Wednesday 8 August 2012

Pembajakan simbol-simbol perpustakaan


Geliat pengembangan perpustakaan akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan positif yang layak diapresiasi. Berbagai jenis perpustakaan berkembang dan bertransformasi memberikan layanan terbaik kepada pemustaka yang diposisikan sebagai pihak yang wajib dilayani dengan segera dan maksimal. Jasa layanan prima tidak saja sebagai slogan semata, tetapi telah diaplikasikan oleh semua perpustakaan yang berkembang dimasyarakat. Apresiasi positif ini tentunya menjadi lokomotif perubahan masyarakat yang menginginkan informasi dikelola, diberdayakan dan digunakan untuk menunjang kecerdasan dan peningkatan intelektualitas masyarakat secara umum. Jika sudah demikian maka masyarakat informasi akan segera terwujud dengan segala aktivitas masyarakat yang menggantungkan akan nilai dan keabsahan informasi sebagai tulang punggungnya.
Bagi perpustakaan sendiri dengan UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, sebagai landasan hukum tetang pengelolaan perpustakaan, menjadi sumber referensi utama bagaimana perpustakaan sebagai pusat informasi public memberikan aturan-aturan baku tentang pengelolaan perpustakaan. Tentu UU tersebut masih memerlukan “pendamping” berupa peraturan-paraturan implementasi untuk melaksanakaannya, namun demikian setidaknya perpustakaan memiliki payung hukum tentang perpustakaan secara umum dalam proses pengelolaannya. Sosialisasi Undang-undang perpustakaan pun serempak dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat pemerhati perpustakaan, perguruan tinggi sampai kalangan komunitas pencinta perpustakaan.
Namun demikian ketika masyarakat mulai bertransformasi kearah perubahan yang lebih baik dan apresiasi tentang perpustakaan begitu menggema diberbagai kalangan, muncul berbagai dilema perkembangan perpustakaan itu sendiri. Ruang lingkup perpustakaan ternyata semakin luas tidak sebatas pada aspek pengelolaan, pelayanan prima, teknologi informasi, psikologi pengguna dan manajemen koleksi perpustakaan, namun menjadi sangat luas mencakup factor politis pemerintahan, ekonomi dan social budaya masyarakat.  Luasnya aspek perpustakaan tersebut sejatinya bermuara pada ‘policy’ tentang perpustakaan itu sendiri yang ternyata bermakna ganda sebagai sarana peningkatan kualitas SDM atau malah sebaliknya sebagai sarana ‘mengolok-olok’ perpustakaan itu sendiri. Tanggapan ‘minor’ tentang perpustakaan pun semakin buruk dikalangan masyarakat. Organisasi informasi public menjadi tercemar oleh tumpang tindihnya policy tentang pengelolaan perpustakaan.
Contoh kasus yang menjadi perhatian masyarakat adalah buruknya konsep manajemen koleksi pustaka untuk perpustakaan-perpustakaan sekolah baik tingkat dasar, menengah dan tingkat atas. Masyarakat pun paham akan ketidakberesan policy tersebut. Apabila meruntut waktu terdahulu, dengan berbagai kasus ‘korupsi’ buku ajar yang dilaksanakan oleh kepada daerah untuk program pengadaan buku-buku ajar disekolah, sejatinya kasus sekarang pun masih memiliki korelasi dengan latar belakang ‘logika proyek’ sebagai landasan hukum untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Memang ranah hukum begitu sigap mengantisipasi penyelewengan program tersebut dengan menjebloskan kepala daerah ke rumah pemasyarakatan, namun yang menjadi persoalan mengapa program-program yang mengatasnamakan perpustakaan selalu ‘melenceng’ dari aturan hukum yang berlaku. Seperti halnya dengan penarikan buku-buku pengayaan disekolah-sekolah yang terindikasi unsur pornografi yang merusak adab ketimuran. Perpustakaan sekolah menjadi sorotan ketidakberesan proses buruknya pengadaan koleksi yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Perpustakaan dituduh tidak bisa menganalisa kebutuhan koleksi yang digunakan oleh siswa sekolah. Padahal yang melaksanakan proses pengadaan adalah bukan perpustakaan tetapi “logika proyek” pengadaan buku masih menjadi acuan utama untuk meningkatkan mutu layanan perpustakaan melalui penambahan koleksi di perpustakaan sekolah dibeberapa pemerintahan daerah.
Seringkali perpustakaan diperdaya dengan berbagai macam program pembinaan, peningkatan mutu layanan dan pemberian sarana prasarana gratis yang ternyata tidak sesuai dengan standar perpustakaan itu sendiri. Program tersebut sejatinya untuk perpustakaan, namun proses pengisian usulan, pengadaan, pelelangan dan pendistribuasian ternyata tidak melibatkan perpustakaan. Perpustakaan sebagai pihak penerima “proyek” yang hanya dijadikan obyek dengan dalih meningkatkan mutu kualitas dan jasa layanan perpustakaan tanpa memperhatikan kebutuhan riil untuk perpustakaan yang sebenarnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pelelangan proyek pengadaan buku perpustakaan sekolah misalnya, hanya melibatkan 1 penerbit pemenang tender dengan berbagai macam ‘trik’ untuk memenangkan kegiatan tersebut. Akibatnya tentunya menurunkan mutu materi buku apa yang seharusnya digunakan untuk layanan perpustakaan. Belum lagi daftar usulan yang dibuat ternyata bukan pustakawan yang mengusulkan pengadaan buku, hanya pejabat dinas yang diserahi merangkum buku-buku yang akan diadakan. Jika sudah demikian masyarakat pun mengamini kasus-kasus proses pengadaan buku perpustakaan yang tidak semestinya karena alur pengadaan yang tidak terencana dan tidak dikelola dengan semestinya.
Kambing hitam kegiatan pengelolaan perpustakaan sekolah dengan berbagai problem permasalahan yang kompleks, sejatinya bukan tanggung jawab pihak pustakawan semata, namun bertumpu pada kebijakan dan proses kegiatan yang tidak berjalan dengan semestinya. Setidaknya harus ada iktikad yang baik dari pengambil kebijakan, bahwa upaya peningkatan mutu layanan perpustakaan dengan dalih meningkatkan mutu SDM masyarakat harus menjadi acuan yang utama. Kemudian kegiatan tersebut serahkan pada bidang keahlian dan kemampuannya dalam hal ini adalah pihak pustakawan yang tentunya memiliki integritas yang mumpuni. Pustakawan membuat daftar usulan koleksi yang akan diadakan dengan memperhatikan kurikulum, kebutuhan siswa, literature penunjang dengan berkoordinasi dengan pihak guru sebagai mitra tentang koleksi yang layak diadakan. Kepala sekolah dan komite melakukan supervisi tentang koleksi yang sekiranya layak dan baik untuk menunjang proses belajar mengajar, sedangkan dinas terkait berfungsi sebagai pengawas kegiatan tersebut telah berjalan dengan baik dan benar.
Dengan mengacu pada kegiatan tersebut tentunya apa yang dicita-citakan dalam upaya peningkatan mutu dan sarana mencerdaskan kehidupan masyarakat akan terlaksana, bukan lagi “logika proyek” yang menggantungkan pada “untung rugi” dari setiap kegiatan tanpa memperhatikan kandungan nilai informasi dari buku diperpustakaan sekolah. Perpusatakaan tidak lagi menjadi symbol yang disalahkan dengan melayani pemustaka dengan koleksi buku yang tidak semestinya. Sudah saatnya perpustakaan sebagai lembaga yang mengedepankan intergritas moral dan kapabilitas ilmu untuk kemajuan masyarakat dalam bidang informasi public. Semoga.

No comments:

Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...