Wednesday 24 September 2014

MARGINALISASI PERPUSTAKAAN DI TENGAH MASYARAKAT INFORMASI



Pendahuluan
            Perpustakaan dalam perkembangannya selalu diidentikkan dengan perkembangan pola penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat. Perpustakaan dan pusat informasi pengetahuan merupakan komponen yang serasi untuk menggambarkan kemajuan peradaban masyarakat karena dimulai dari bagaimana akses informasi dan distribusi informasi yang disebarkan oleh perpustakaan kepada masyarakat. Perkembangan berikutnya adalah perubahan masyarakat yang disebutkan oleh Toffler bahwa perkembangan masyarakat dikategorikan dalam tiga gelombang yang dimulai dari gelombang pertama sebagai masyarakat pertanian (agraris), gelombang kedua masyarakat industry dan gelombang ketiga pada kondisi setelah era runtuhnya perang dingin antara AS adan Uni Soviet. Masyarakat gelombang ketiga bisa disebut sebagai masyarakat informasi dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih menitikberatkan pada nilai informasi sebagai tulang punggung dalam kehidupan masyarakat secara umum. Masyarakat informasi merupakan masyarakat yang semua aspek kehidupan sangat tergantung pada nilai dan keabsahan informasi sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Kondisi ini tercipta karena perubahan paradigma dan adaptasi perkembangan masyarakat yang berkembang secara dimamis mengikuti pola pengetahuan dan terciptanya teknologi baru yang memungkinkan peningkatan kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik dan bernilai.
Berbagai macam indikator yang menciptakan masyarakat informasi secara nyata terlihat dari tren perkembangan teknologi informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Teknologi mobile, sarana internet, media komunikasi, media sosial menjadi kebutuhuan standar masyarakat informasi dalam kesehariannya. Browsing, chatting, video chat, surfing, blog, email, tweet menjadi istilah standar dalam berkomunikasi dan menemukan informasi.
Menurut Casstells dalam Ritzer (2007) memaknai paradigma teknologi informasi dengan karakteristik dasar yang meliputi; Pertama, teknologi informasi adalah teknologi yang bereaksi berdasarkan informasi. Kedua, informasi adalah bagian dari aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive. Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa mempengaruhi berbagai proses dan organisasi. Keempat, teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara konstan. Kelima, teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi. Paradigma teknologi informasi tersebut menjadi keseharian yang sudah jamak dalam kehidupan masyarakat, bahkan ada anggapan disebagian masyarakat apabila tidak menggunakan sarana teknologi informasi maka dianggap sebagai golongan kuno.
Berbagai aspek penggunaan teknologi informasi bergulir begitu cepat mengukuti pola perkembangan masyarakat. Fenomena yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan tren penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang punggungnya. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal karena tidak mampu mengikuti pusaran ‘kecepatan’ yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan budaya global dengan tetap mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah mereka kita sebut sebagai masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai masyarakat modern) atau kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek misalnya dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Fenomena masyarakat informasi sejatinya merupakan pola perubahan adaptif masyarakat dalam memaknai perkembangan yang sedang terjadi sesuai dengan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang diyakini dapat memberikan perubahan pada masyarakat. Dalam berbagai perspektif perubahan masyarakat kearah masyarakat informasi selalu dikaitkan dengan proses pembelajaran dan penciptaan, pengelolaan dan penyebaran pengetahuan sebagai unsur utama dengan berkolaborasi dengan perangkat teknologi yang umumnya disebut sebagai teknologi informasi. Apabila dikaitkan dengan perpustakaan, maka proses penyebaran pengetahuan yang berguna bagi konsumsi masyarakat informasi merupakan kewenangan dan tugas bagi perpustakaan. Idealnya perpustakaan ditempatkan sebagai lembaga pengolah dan penyebar informasi yang benar-benar berguna bagi masyarakat informasi untuk mengambil keputusan, akan tetapi fungsi dan kewenangan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh perpustakaan. Gambaran nyata yang sering terjadi dimasyarakat sekarang ini adalah bahwa dengan peralatan gadget digenggaman tangan pun berbagai macam informasi yang aktual segera didapatkan, tidak perlu lagi mendatangi perpustakaan yang notabene sebagai pusat informasi dalam masyarakat informasi.
Dengan adanya indikator tersebut memunculkan pertanyaan dan perenungan benarkah kondisi sekarang dengan adanya penetrasi penggunaan teknologi informasi yang merubah semua lini kehidupan berpengaruh bagi eksistensi perpustakaan? Mengapa perpustakaan seolah tidak berdaya dalam mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat informasi yang memerlukan kecepatan dan keakuratan sebagai gaya hidupnya? Benarkan budaya cyber telah memarginalkan perpustakaan dalam tatanan masyarakat informasi? Ataukah benar peran perpustakaan sangat dominan dalam membentuk karakter pengetahuan masyarakat informasi?

Budaya Tanda TIK
            Permasalahan kuatnya penetrasi penggunaan teknologi informasi yang terjadi dimasyarakat membawa perubahan fundamental bagi layanan perpustakaan yang memandang bahwa perpustakaan masih diakui sebagai lembaga penyaji dan penyedia informasi. Asumsi ini bersifat ‘klasik’ karena tuntutan perubahan tersebut terjadi karena adanya ‘persaingan’ antara perpustakaan dengan teknologi jaringan global berupa internet yang memiliki ‘klaim’ tentang ketepatan dan kecepatan dalam mendapatkan informasi. Pustakawan pun mempuyai peluang sebagai penyaji dan penyedia informasi yang benar-benar memiliki nilai bagi masyarakat informasi dengan klaim membanjirnya informasi diberbagai bidang yang apabila diproses dan digolongkan ternyata memiliki efek ‘informasi sampah’ yang tidak tepat digunakan oleh masyarakat. Pustakawan berkedudukan sebagai penambah nilai informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat informasi. Namun disaat yang sama besarnya informasi yang tersedia dan kecepatan informasi yang berganti dari hari kehari tidak dapat diantisipasi oleh perpustakaan dalam menelaah informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, dan akhirnya masyarakat pun tidak lagi ‘berkomunikasi’ dengan perpustakaan karena kecepatan dan keakuratan informasi tidak memerlukan proses yang rumit seperti dalam perpustakaan.
   Informasi bisa didapatkan kapan saja dan dimana saja, berjejaring dan informasi mobile pun dapat dilaksanakan tanpa batas ruang dan waktu. Apabila mengandalkan informasi dari perpustakaan yang didapatkan hanya ‘informasi teks’ yang tidak fleksibel, namun dengan gadget yang memiliki fitur jaringan global bukan lagi persoalan mendapatkan informasi dari manapun. Komodifikasi tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan tren dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat informasi menambah ‘persaingan’ antara perpustakaan dan sumber informasi global. Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan gaya hidup. Dalam perkembangan berikutnya komodifikasi tanda yang menyertai kehidupan masyarakat informasi tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan masyarakat yang dapat dianalisa dengan menggunakan perspektif ilmu sosiologi tentang istilah masyarakat informasi dengan berbagai ‘tanda wacana’ dan indikator yang menyertainya.
Lyotard memberikan asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era industry yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari era kegelapan, renaissance dan era revolusi industry. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme Featherstone (2008). Bahwa produksi industry tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat seperti halnya dalam era industry, tetapi kondisi sekarang ini produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh ‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam penggunaan sarana teknologi komputer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial budaya masyarakat diera penggunaan komputer dan teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard menakankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai alat pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara ‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
Membicarakan budaya tanda masyarakat informasi tidak akan lepas dari pola perkembangan masyarakat modern ke arah masyarakat postmodern dengan berbagai macam perspektif yang dapat menganalisa perkembangan tersebut. Dengan budaya tanda tersebut dapat memberikan pemahaman bagi kita bahwa kondisi riil masyarakat sekarang masuk dalam perkembangan masyarakat postmodern atau masyarakat sesudah modern, bahkan ada yang menyebutkan sebagai masyarakat informasi tergantung dari perspektif analisa yang digunakan dalam mengkaji permasalahan tersebut.
Dalam bidang perpustakaan tentunya akan lebih familier dengan menyebutnya sebagai masyarakat informasi karena memiliki korelasi dengan perkembangan pola kehidupan intelektualitas dan pembelajaran mandiri masyarakat dalam menproduksi, mengolah, menyajikan dan menyebarkan informasi pengetahuan kepada masyarakat. Namun budaya tanda TIK tersebut apakah mengaburkan fungsi dari perpustakaan di era membanjirnya informasi global?

Marginalisasi Perpustakaan
            Gaya hidup, simulasi dan budaya tanda teknologi informasi memunculkan sejumlah pertanyaan tentang eksistensi perpustakaan dalam pranata sosial masyarakat informasi. Apakah masyarkat informasi dibentuk oleh perpustakaan, ataukah sebaliknya eksistensi perpustakaan akan ‘termarjinalkan’ oleh hiruk-pikuk perkembangan teknologi informasi?. Dilema perpustakaan dalam kultur masyarakat informasi adalah ‘klaim’ perpustakaan yang menyebutkan bahwa perpustakaan memiliki peran yang utama dalam pranata sosial masyarakat informasi. Masyarakat informasi dibentuk oleh peran perpustakaan dalam menyajikan dan memproduksi informasi terseleksi yang digunakan oleh masyarakat, namun argumentasi ini tidak sepenunhya benar karena masyarakat informasi merupakan masyarakat ‘pembelajar’ dengan berbagai macam fasilitas untuk mendapatkan informasi yang begitu beragam dalam mendapatkannya. Dalam logika informasi masyarakat informasi, informasi yang didapatkan merupakan pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan strategi dalam upaya pengambilan keputusan yang digunakan untuk memenangkan persaingan. Kondisi-kondisi ini akhirnya memicu masyarakat informasi yang berpengetahuan dengan yang digunakan sebagai kaidah perilaku untuk bertindak dalam melaksanakan inovasi untuk memenangkan persaingan. Cara mendapatkan informasi pengetahuan pun semakin spesifik dengan berbagai macam pilihan sumber-sumber informasi global yang tidak memerlukan administrasi yang berbelit dan bersifat real time kapanpun dimanapun.
            Dengan dimikian tidak salah kemudian memposisikan perpustakaan sebagai lembaga penyaji informasi yang tersisih/termarjinalkan dalam struktur pranata sosial masyarakat informasi dengan berbagai kaidah bahwa penciptaan, pengolahan, pengkomunikasian dan penyebaran informasi tidak melalui lembaga perpustakaan, hanya melalui sumber informasi global yang fleksibel dan cepat. Masalah nilai informasi dan kebsahan informasi yang diklaim oleh perpustakaan sebagai ‘produksi’ perpustakaan pun terbantahkan karena pola pikir masyarakat informasi yang kritis, independent dan berpengetahuan. Perpustakaan hanya sebagai ‘museum informasi’ tanpa mampu berperan dalam struktur sosial masyarakat informasi.
   Dilema perpustakaan dalam era masyarakat informasi memberikan perenungan bagaimana seharusnya perpustakaan bermetamorfosa dengan bersifat aplikatif melaksanakan perubahan yang ‘keluar’ dari narasi kemapanan yang selama ini diyakini benar oleh perpustakaan. Metamorfosa perpustakaan ditandai dengan melaksanakan perubahan dan bersifat akomodatif dengan tetap berprinsip pada identitas budaya perpustakaan yang selama ini memberikan ‘kenyamanan’ bagi pemustaka masyarakat informasi. Setidaknya perpustakaan memerlukan konsep perubahan yang meliputi pertama, perpustakaan harus bersikap akomodatif terhadap masyarakat informasi dengan memberikan fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ masyarakat informasi. Sikap akomodatif tersebut dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan menggunakan konsep learning commons yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat informasi. Penyediaan sarana prasarana yang representative, terkoneksi internet 24 jam sebagai sarana berjejaring, tersedianya prasarana untuk berleha-leha sebagai tempat untuk diskusi, penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang lengkap. Kedua menyediakan koleksi bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan secara bersama-sama. Masyarakat informasi tidak begitu memperdulikan koleksi dalam bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan cara koneksi dengan internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu perpustakaan perlu mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi perpustakaan baik yang bersifat online dan yang bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi masyarakat informasi, aturan tersebut dirubah tetapi dengan berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang harus ditegakkan, dalam arti bahwa masyarakat informasi bukan generasi yang ‘termarjinalkan’ karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi, tetapi masyarakat informasi pun harus menghormati norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi dengan perkembangan ‘gaya hidup’ masyarakat informasi yang memandang bahwa perpustakaan adalah bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan akses informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup dengan berbagai sifat dan karakteristik masyarakat informasi yang memuja kebebasan dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah bagaimana membangun konsep dialektika antara pustakawan dan masyarakat informasi dengan memanfaatkan kegiatan bersama berupa kegiatan literasi media yang dilaksanakan secara periodik. Literasi media dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan sumber-sumber informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun karekterisik masyarakat informasi yang selalu berjejaring dan terkoneksi internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam memberikan bimbingan bagaimana mencari, menggunakan dan mendapatkan informasi yang benar dan handal. Keenam adalah adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang bersifat interaktif menggunakan teknologi web tentang jenis-jenis layanan perpustakaan dan produk informasi yang diproduksi oleh perpustakaan.

Penutup
            Marginalisasi perpustakaan dalam struktur pranata sosial masyarakat informasi akan benar-benar terjadi apabila perpustakaan tidak melaksanakan kegiatan metamorfosa dan keluar dari narasi kemapanan yang selama ini sudah terbangun. Karakteristik masyarakat informasi berbeda dengan masyarakat modern yang dilayani oleh perpustakaan. Sumber informasi global dan keabsahan dari nilai informasi dalam kegiatan keseharian masyarakat informasi untuk proses pengambilan keputusan sudah seharusnya menjadi tantangan dan peluang bagi perpustakaan untuk tetap eksis sebagai lembaga penyaji dan pengolah informasi. Marginalisasi perpustakaan di pusaran masyarakat informasi memberikan perenungan bagi perpustakaan untuk memberikan pemahaman baru bahwa perpustakaan masih diperlukan dan harus eksis ditatanan struktur masyarakat informasi. Perpustakaan harus bergerak maju sebagai bagian dari ‘gaya hidup’ masyarakat informasi.


Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ritzer, George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Toffler, Alvin.1980. The Third Wave. New York: Bantam Bo

Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...