Monday 13 May 2013

“LIBRARY IS MY STYLE” Perpustakaan Sebagai Gaya Hidup Generasi MTV


Pendahuluan

“Slamet adalah seorang pemuda yang eksentrik. Lahir dari keluarga petani desa yang memiliki 10 hektar sawah. Hasil panen dijual ke kota dengan berkirim email dan MMS ke kantor Bulog. Setiap ada perkembangan harga dan kenaikan harga pupuk dia selalu memantau dengan ipad yang disimpan ditasnya. Sedangkan untuk mendapatkan informasi cuaca untuk masa tanam selalu berjejaring dengan BMG menggunakan video chat. Tak jarang Slamet menghubungi staf menteri pertanian dengan menggunakan BBM untuk mengetahui kebijakan apa yang akan diputuskan karena adanya masalah yang akhir-akhir ini membuat resah kaum petani didaerahnya. Slamet memiliki komunitas online sebagai sarana komunikasi dalam bidang pertanian yang tidak saja dari kalangan petani semata tetapi dari berbagai kalangan, akademisi, pedagang bahkan praktisi dari luar negeri. Sebagai bahan bacaan wajib Slamet adalah majalah Trubus yang diunduh dari internet setiap bulannya. Sedangkan untuk bertemu dengan sesama anggota komunitas petani, Slamet terbiasa bertemu direstoran cepat saji yang terdapat disebelah gedung perpustakaan yang sepi dari aktivitas kunjungan pemustaka. Suatu ketika Slamet pernah berkunjung ke perpustakaan, namun layanan yang diberikan oleh petugas perpustakaan tidak memberikan pencerahan bagi Slamet, justru teguran yang diterima oleh Slamet. Akhirnya Slamet trauma dengan layanan perpustakaan. Sejak saat itu Slamet tidak pernah berkunjung ke perpustakaan karena informasi yang diinginkan oleh Slamet pun sudah tersedia digenggaman tangannya”.

            Ilustrasi tersebut mencoba menguak sejumlah persoalan kunci dalam layanan lembaga informasi terutama perpustakaan dalam menghadapi fenomena perkembangan masyarakat yang semakin dinamis dan kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merubah struktur kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris, masyarakat industry dan masyarakat post industry yang lebih menitikberatkan pada keabsahan dan nilai informasi sebagai tujuan utamanya. Informasi sebagai tulang punggung masyarakat dalam aspek kehidupan, oleh karena itu masyarakat post industry disebut juga sebagai masyarakat informasi. Meskipun Slamet sebagai seorang petani, namun atribut dan representasi tanda yang melekat pada dirinya adalah generasi masyarakat informasi dengan tulang punggung teknologi informasi dan nilai dari keabsahan informasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan. Berbeda dengan organisasi perpustakaan yang merupakan representasi dari perubahan masyarakat akan informasi yang belum mampu memanfaatkan peluang dalam tatanan kehidupan masyarakat informasi, bahkan teknologi informasi utamanya teknologi jaringan berupa internet dengan berbagai atribut mesin pencari seperti google, yahoo, infoseek, dan media sosial merupakan ancaman bagi eksistensi perpustakaan. Alasannya adalah perpustakaan memiliki wewenang dalam mengolah dan menyajikan informasi yang dilayankan kepada masyarakat, sedangkan internet memberikan kemudahan akses informasi yang tidak diberikan oleh perpustakaan. Dengan demikian perpustakaan menganggap internet dengan mesin pencarinya sebagai ancaman dalam memberikan layanan informasi. Termasuk juga masyarakat yang memanfaatkan teknologi tersebut belum sepenuhnya diakomodasi oleh perpustakaan. Sebagai contoh Slamet sebagai generasi yang tumbuh dalam tempaan budaya tanda dan budaya visual yang memiliki ciri selalu terhubung dengan media online, selalu berjejaring, adaptif dengan teknologi baru, independent, menonjolkan hiburan leha-leha, gaya hidup komunitas yang berbeda dengan generasi teks sebelumya termarjinalisasi karena adanya ‘aturan’ perpustakaan yang tidak peka dalam tren perkembangan pengetahuan, teknologi dan gaya hidup masyarakat. Perpustakaan tidak berusaha merubah citra yang sesungguhnya telah berubah dinamis dan kompleks. Pola pikir pustakawan masih terpusat pada ‘layanan buku’ bukan kepada ‘layanan pengguna’.
            Dalam era masyarakat informasi, perpustakaan yang tidak memiliki kemauan merubah citra tersebut akan ditinggalkan oleh pemustaka seperti yang terlihat dalam indicator statistic tingkat kunjungan pemustaka yang selalu menurun. Kesalahan bukan pada pemustaka dan lembaga informasi, tetapi dari budaya pustakawan yang tidak mau merubah pola layanan yang mengikuti tren perkembangan masyarakat itu sendiri.
            Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa generasi masyarakat sekarang ini dapat dikategorikan sebagai generasi visual yang dikonstruksi oleh konsumsi tanda dari perangkat teknologi informasi dan jaringan broadcast yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Dalam perspektif budaya dan sosiologis seringkali perkembangan generasi yang sedang terjadi saat ini disebut sebagai generasi postmodern yang bercirikan pada perubahan dan evolusi masyarakat yang meliputi perubahan dalam struktur sosial, politik dan budaya. Menurut Bell dalam Sutrisno (2005) masyarakat postmodern menekankan pada perubahan dalam waktu dan ruang, tiadanya pusat, dominasi budaya visual, nonrasionalitas dan irasionalitas, anti intelektualisme, hilangnya sekat antara budaya tinggi dan budaya rendah dan hilangnya jati diri.
            Dengan adanya perubahan tren generasi dan perubahan masyarakat itu sendiri sebagai generasi visual yang memuja ‘dominasi budaya visual’ yang bersifat ‘leha-leha’, maka perpustakaan pun seharusnya berupaya mengimbangi perubahan tersebut dengan merubah paradigma layanan informasi untuk generasi MTV tersebut, tetapi dengan menekankan pada konsep dialektika transfer ilmu pengetahuan sebagai tujuan utamanya.

Generasi MTV
            Konsep perubahan paradigma layanan perpustakaan dengan mengakomodasi generasi MTV sudah seharusnya dilaksanakan sebagai bagian dari transformasi perpustakaan menghadapi kedatangan generasi MTV. Pada hakikatnya generasi MTV merupakan generasi postmodern yang lahir dalam era informasi atau era internet. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Castell dalam Ritzer (2007) kemunculan masyarakat dilihat dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, computer dan sebagainya) yang memiliki karekteristik paradigma teknologi informasi yakni:
1.      Teknologi yang bereaksi dengan informasi,
2.      Informasi adalah bagian dari aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive,
3.      Semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa mempengaruhi berbagai proses dan organisasi.
4.      Teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara konstan,
5.      Teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.
Castell berpandangan bahwa revolusi perkembangan masyarakat akan menuju kondisi masyarakat berteknologi informasi sebagai bagian dari kehidupan keseharian. Kondisi tersebut saat ini sudah jamak dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Sedangkan menurut Ibarahim (2007) generasi visual lahir, dibesarkan dan diasuh diantara narasi visual yang berbeda dengan budaya tekstual. Generasi visual menjadikan hiburan dan tontonan televisi sebagai panglima dan waktu luang serta waktu bermain mereka tersita oleh televisi. Produk industry budaya massa yang selanjutnya melahirkan generasi MTV karena kegandrungan generasi ini pada acara tontonan yang ditayangkan lewat video music atau hiburan di MTV.
Dengan demikian maka secara alamiah dan direncanakan sebaik mungkin oleh perpustakaan yang dituangkan dalam kebijakan dan strategi menghadapi generasi MTV, sudah seharusnya perpustakaan berubah cara pandannya dalam ‘melayani’ generasi MTV yang memiliki karakeristik berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang bersifat tekstual.
 Setidaknya perpustakaan memerlukan konsep perubahan yang meliputi pertama, perpustakaan harus bersikap akomodatif terhadap generasi MTV dengan memberikan fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ generasi MTV. Sikap akomodatif tersebut dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan menggunakan konsep learning commons yang disesuaikan dengan kebutuhan generasi MTV. Penyediaan sarana prasarana yang representative, terkoneksi internet 24 jam sebagai sarana berjejaring, tersedianya prasarana untuk berleha-leha sebagai tempat untuk diskusi, penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang lengkap. Kedua menyediakan koleksi bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan secara bersama-sama. Generasi MTV tidak begitu memperdulikan koleksi dalam bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan cara koneksi dengan internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu perpustakaan perlu mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi perpustakaan baik yang bersifat online dan yang bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi generasi MTV, aturan tersebut dirubah tetapi dengan berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang harus ditegakkan, dalam arti bahwa generasi MTV bukan generasi yang ‘termarjinalkan’ karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi, tetapi generasi MTV pun harus menghormati norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi dengan perkembangan ‘gaya hidup’ generasi MTV yang memandang bahwa perpustakaan adalah bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan akses informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup dengan berbagai sifat dan karakteristik generasi MTV yang memuja kebebasan dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah bagaimana membangun konsep dialektika antara pustakawan dan generasi MTV dengan memanfaatkan kegiatan bersama berupa kegiatan literasi informasi yang dilaksanakan secara periodic. Literasi informasi dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan sumber-sumber informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun karekterisik generasi MTV yang selalu berjejaring dan terkoneksi internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam memberikan bimbingan bagaimana mencari, menggunakan dan mendapatkan informasi yang benar dan handal. Keenam adalah adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang bersifat interaktif menggunakan teknologi web tentang jenis-jenis layanan perpustakaan dan produk informasi yang diproduksi oleh perpustakaan.

Penutup
             Kedatangan genarasi MTV yang menggunakan layanan perpustakaan tidak perlu dianggap sebagai sumber ancaman bagi eksistensi perpustakaan. Generasi MTV lahir dari perkembangan masyarakat dengan tulang punggung ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyertainya. Dalam perkembangannya generasi MTV merupakan produk dari masyarakat informasi yang memiliki ciri utama bahwa informasi merupakan nilai dan sumber pranata sosial masyarakat yang sangat diutamakan dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi perpustakaan berkewajiban mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan informasi generasi MTV meskipun secara tekstual terdapat pertentangan antara perpustakaan dan generasi MTV. Kewajiban perpustakaan adalah bertrasformasi mengikuti pola perkembangan generasi MTV yang bersifat independent dan memandang perpustakaan adalah sebagai gaya hidup. Oleh karena itu sudah sewajarnya generasi MTV ‘mengakomodasi’ perpustakaan sebagai ‘gaya hidup’ generasi MTV dan juga sebaliknya merupakan kewajiban perpustakaan memandang generasi MTV sebagai pemustaka perpustakaan yang harus dilayani bukan ‘dimarjinalkan’ karena berbeda dengan generasi tekstual yang memuja proses dialektika antara teks dengan pemustaka. Trasformasi perpustakaan adalah kemauan mengakomodasi perubahan sifat generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya, dengan demikian sudah selayaknya perpustakaan merupakan ‘gaya hidup bagi generasi MTV’, tidak saja pemujaan pada acara video music di televisi, namun perpustakaan pun dipuja sebagai bagian dari gaya hidup generasi MTV. Semoga.












Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Idy Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi; Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.

Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna; Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...