Pendahuluan
“Slamet
adalah seorang pemuda yang eksentrik. Lahir dari keluarga petani desa yang
memiliki 10 hektar sawah. Hasil panen dijual ke kota dengan berkirim email dan MMS ke kantor Bulog. Setiap
ada perkembangan harga dan kenaikan harga pupuk dia selalu memantau dengan ipad yang disimpan ditasnya. Sedangkan
untuk mendapatkan informasi cuaca untuk masa tanam selalu berjejaring dengan
BMG menggunakan video chat. Tak
jarang Slamet menghubungi staf menteri pertanian dengan menggunakan BBM untuk mengetahui kebijakan apa yang
akan diputuskan karena adanya masalah yang akhir-akhir ini membuat resah kaum
petani didaerahnya. Slamet memiliki komunitas online sebagai sarana komunikasi dalam bidang pertanian yang tidak
saja dari kalangan petani semata tetapi dari berbagai kalangan, akademisi,
pedagang bahkan praktisi dari luar negeri. Sebagai bahan bacaan wajib Slamet
adalah majalah Trubus yang diunduh dari internet setiap bulannya. Sedangkan
untuk bertemu dengan sesama anggota komunitas petani, Slamet terbiasa bertemu
direstoran cepat saji yang terdapat disebelah gedung perpustakaan yang sepi dari
aktivitas kunjungan pemustaka. Suatu ketika Slamet pernah berkunjung ke
perpustakaan, namun layanan yang diberikan oleh petugas perpustakaan tidak
memberikan pencerahan bagi Slamet, justru teguran yang diterima oleh Slamet.
Akhirnya Slamet trauma dengan layanan perpustakaan. Sejak saat itu Slamet tidak
pernah berkunjung ke perpustakaan karena informasi yang diinginkan oleh Slamet
pun sudah tersedia digenggaman tangannya”.
Ilustrasi
tersebut mencoba menguak sejumlah persoalan kunci dalam layanan lembaga
informasi terutama perpustakaan dalam menghadapi fenomena perkembangan
masyarakat yang semakin dinamis dan kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah merubah struktur kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris,
masyarakat industry dan masyarakat post industry yang lebih menitikberatkan
pada keabsahan dan nilai informasi sebagai tujuan utamanya. Informasi sebagai
tulang punggung masyarakat dalam aspek kehidupan, oleh karena itu masyarakat
post industry disebut juga sebagai masyarakat informasi. Meskipun Slamet
sebagai seorang petani, namun atribut dan representasi tanda yang melekat pada
dirinya adalah generasi masyarakat informasi dengan tulang punggung teknologi
informasi dan nilai dari keabsahan informasi dalam proses pengambilan keputusan
dalam kehidupan. Berbeda dengan organisasi perpustakaan yang merupakan
representasi dari perubahan masyarakat akan informasi yang belum mampu
memanfaatkan peluang dalam tatanan kehidupan masyarakat informasi, bahkan
teknologi informasi utamanya teknologi jaringan berupa internet dengan berbagai
atribut mesin pencari seperti google,
yahoo, infoseek, dan media sosial merupakan ancaman bagi eksistensi
perpustakaan. Alasannya adalah perpustakaan memiliki wewenang dalam mengolah
dan menyajikan informasi yang dilayankan kepada masyarakat, sedangkan internet
memberikan kemudahan akses informasi yang tidak diberikan oleh perpustakaan.
Dengan demikian perpustakaan menganggap internet dengan mesin pencarinya
sebagai ancaman dalam memberikan layanan informasi. Termasuk juga masyarakat
yang memanfaatkan teknologi tersebut belum sepenuhnya diakomodasi oleh
perpustakaan. Sebagai contoh Slamet sebagai generasi yang tumbuh dalam tempaan
budaya tanda dan budaya visual yang memiliki ciri selalu terhubung dengan media
online, selalu berjejaring, adaptif
dengan teknologi baru, independent, menonjolkan hiburan leha-leha, gaya hidup
komunitas yang berbeda dengan generasi teks sebelumya termarjinalisasi karena
adanya ‘aturan’ perpustakaan yang tidak peka dalam tren perkembangan
pengetahuan, teknologi dan gaya hidup masyarakat. Perpustakaan tidak berusaha
merubah citra yang sesungguhnya telah berubah dinamis dan kompleks. Pola pikir
pustakawan masih terpusat pada ‘layanan buku’ bukan kepada ‘layanan pengguna’.
Dalam
era masyarakat informasi, perpustakaan yang tidak memiliki kemauan merubah
citra tersebut akan ditinggalkan oleh pemustaka seperti yang terlihat dalam indicator
statistic tingkat kunjungan pemustaka yang selalu menurun. Kesalahan bukan pada
pemustaka dan lembaga informasi, tetapi dari budaya pustakawan yang tidak mau
merubah pola layanan yang mengikuti tren perkembangan masyarakat itu sendiri.
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa generasi masyarakat sekarang ini dapat
dikategorikan sebagai generasi visual yang dikonstruksi oleh konsumsi tanda
dari perangkat teknologi informasi dan jaringan broadcast yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Dalam
perspektif budaya dan sosiologis seringkali perkembangan generasi yang sedang
terjadi saat ini disebut sebagai generasi postmodern yang bercirikan pada
perubahan dan evolusi masyarakat yang meliputi perubahan dalam struktur sosial,
politik dan budaya. Menurut Bell dalam Sutrisno (2005) masyarakat postmodern
menekankan pada perubahan dalam waktu dan ruang, tiadanya pusat, dominasi
budaya visual, nonrasionalitas dan irasionalitas, anti intelektualisme,
hilangnya sekat antara budaya tinggi dan budaya rendah dan hilangnya jati diri.
Dengan
adanya perubahan tren generasi dan perubahan masyarakat itu sendiri sebagai generasi
visual yang memuja ‘dominasi budaya visual’ yang bersifat ‘leha-leha’, maka
perpustakaan pun seharusnya berupaya mengimbangi perubahan tersebut dengan
merubah paradigma layanan informasi untuk generasi MTV tersebut, tetapi dengan
menekankan pada konsep dialektika transfer ilmu pengetahuan sebagai tujuan
utamanya.
Generasi
MTV
Konsep perubahan
paradigma layanan perpustakaan dengan mengakomodasi generasi MTV sudah
seharusnya dilaksanakan sebagai bagian dari transformasi perpustakaan
menghadapi kedatangan generasi MTV. Pada hakikatnya generasi MTV merupakan
generasi postmodern yang lahir dalam era informasi atau era internet. Sebagai mana
yang dikemukakan oleh Castell dalam Ritzer (2007) kemunculan masyarakat dilihat
dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, computer dan
sebagainya) yang memiliki karekteristik paradigma teknologi informasi yakni:
1.
Teknologi yang bereaksi dengan
informasi,
2.
Informasi adalah bagian dari aktivitas
manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive,
3.
Semua sistem yang menggunakan teknologi
informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa mempengaruhi
berbagai proses dan organisasi.
4.
Teknologi baru sangatlah fleksibel,
membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara konstan,
5.
Teknologi spesifik yang diasosiasikan
dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.
Castell berpandangan
bahwa revolusi perkembangan masyarakat akan menuju kondisi masyarakat
berteknologi informasi sebagai bagian dari kehidupan keseharian. Kondisi
tersebut saat ini sudah jamak dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
Sedangkan menurut Ibarahim (2007) generasi visual lahir, dibesarkan dan diasuh
diantara narasi visual yang berbeda dengan budaya tekstual. Generasi visual
menjadikan hiburan dan tontonan televisi sebagai panglima dan waktu luang serta
waktu bermain mereka tersita oleh televisi. Produk industry budaya massa yang
selanjutnya melahirkan generasi MTV karena kegandrungan generasi ini pada acara
tontonan yang ditayangkan lewat video music atau hiburan di MTV.
Dengan demikian maka
secara alamiah dan direncanakan sebaik mungkin oleh perpustakaan yang
dituangkan dalam kebijakan dan strategi menghadapi generasi MTV, sudah
seharusnya perpustakaan berubah cara pandannya dalam ‘melayani’ generasi MTV
yang memiliki karakeristik berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang
bersifat tekstual.
Setidaknya perpustakaan memerlukan konsep
perubahan yang meliputi pertama,
perpustakaan harus bersikap akomodatif terhadap generasi MTV dengan memberikan
fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ generasi MTV. Sikap akomodatif
tersebut dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan menggunakan konsep learning commons yang disesuaikan dengan
kebutuhan generasi MTV. Penyediaan sarana prasarana yang representative, terkoneksi
internet 24 jam sebagai sarana berjejaring, tersedianya prasarana untuk
berleha-leha sebagai tempat untuk diskusi, penambahan ruang belajar dengan
sarana teknologi informasi yang lengkap. Kedua
menyediakan koleksi bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia
dan dapat digunakan secara bersama-sama. Generasi MTV tidak begitu
memperdulikan koleksi dalam bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan
cara koneksi dengan internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu
perpustakaan perlu mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi
perpustakaan baik yang bersifat online
dan yang bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan
perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi generasi MTV, aturan tersebut
dirubah tetapi dengan berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang harus
ditegakkan, dalam arti bahwa generasi MTV bukan generasi yang ‘termarjinalkan’
karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi, tetapi generasi MTV pun
harus menghormati norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi
dengan perkembangan ‘gaya hidup’ generasi MTV yang memandang bahwa perpustakaan
adalah bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan akses
informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup dengan
berbagai sifat dan karakteristik generasi MTV yang memuja kebebasan dalam akses
informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah
bagaimana membangun konsep dialektika antara pustakawan dan generasi MTV dengan
memanfaatkan kegiatan bersama berupa kegiatan literasi informasi yang
dilaksanakan secara periodic. Literasi informasi dilaksanakan untuk memberikan
bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan sumber-sumber informasi yang
cepat, tepat dan efisien. Meskipun karekterisik generasi MTV yang selalu
berjejaring dan terkoneksi internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam
memberikan bimbingan bagaimana mencari, menggunakan dan mendapatkan informasi
yang benar dan handal. Keenam adalah
adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang bersifat
interaktif menggunakan teknologi web tentang jenis-jenis layanan perpustakaan
dan produk informasi yang diproduksi oleh perpustakaan.
Penutup
Kedatangan genarasi MTV yang menggunakan
layanan perpustakaan tidak perlu dianggap sebagai sumber ancaman bagi
eksistensi perpustakaan. Generasi MTV lahir dari perkembangan masyarakat dengan
tulang punggung ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyertainya. Dalam
perkembangannya generasi MTV merupakan produk dari masyarakat informasi yang
memiliki ciri utama bahwa informasi merupakan nilai dan sumber pranata sosial
masyarakat yang sangat diutamakan dalam proses pengambilan keputusan.
Organisasi perpustakaan berkewajiban mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan
informasi generasi MTV meskipun secara tekstual terdapat pertentangan antara
perpustakaan dan generasi MTV. Kewajiban perpustakaan adalah bertrasformasi
mengikuti pola perkembangan generasi MTV yang bersifat independent dan
memandang perpustakaan adalah sebagai gaya hidup. Oleh karena itu sudah
sewajarnya generasi MTV ‘mengakomodasi’ perpustakaan sebagai ‘gaya hidup’
generasi MTV dan juga sebaliknya merupakan kewajiban perpustakaan memandang
generasi MTV sebagai pemustaka perpustakaan yang harus dilayani bukan
‘dimarjinalkan’ karena berbeda dengan generasi tekstual yang memuja proses
dialektika antara teks dengan pemustaka. Trasformasi perpustakaan adalah
kemauan mengakomodasi perubahan sifat generasi yang berbeda dengan generasi
sebelumnya, dengan demikian sudah selayaknya perpustakaan merupakan ‘gaya hidup
bagi generasi MTV’, tidak saja pemujaan pada acara video music di televisi,
namun perpustakaan pun dipuja sebagai bagian dari gaya hidup generasi MTV. Semoga.
Daftar
Pustaka
Featherstone,
Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya
Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ibrahim,
Idy Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi; Dinamika Popscape dan
Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Laksmi.
2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna;
Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu
Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.
Piliang,
Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat;
Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Bandung: Matahari.
Ritzer,
George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sutrisno,
Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.