Dipublikasikan di Media Pustakawan Perpusnas Juli 2016
Pendahuluan
Perpustakaan dalam perkembangannya selalu
diidentikkan dengan perkembangan pola penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
masyarakat. Library is growing organism
menjadi gambaran nyata bahwa perpustakaan tidak lagi dipandang sebagai lembaga an sich yang didalamnya terdapat
sekumpulan buku yang tertata rapi di rak dengan sistem yang baku yang
dilayankan kepada pemustaka. Perpustakaan telah berkembang mengikuti pola
peradaban masyarakat yang menyangkut aspek sosial dan pengetahuan. Perpustakaan
dan pusat informasi pengetahuan merupakan komponen yang serasi untuk
menggambarkan kemajuan peradaban karena dimulai dari bagaimana akses informasi
dan distribusi informasi yang disebarkan oleh perpustakaan. Perubahan sosial
budaya masyarakat menjadi kajian seorang tokoh futurolog Alvin Toffler (1980) yang
menyatakan bahwa perkembangan masyarakat dikategorikan dalam tiga gelombang
yang dimulai dari gelombang pertama sebagai masyarakat pertanian (agraris), gelombang
kedua masyarakat industri dan gelombang ketiga pada kondisi setelah era runtuhnya
perang dingin antara AS dan Uni Soviet.
Masyarakat gelombang ketiga bisa disebut sebagai
masyarakat informasi dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih menitikberatkan
pada nilai informasi sebagai tulang punggung dalam kehidupan masyarakat secara
umum. Masyarakat informasi merupakan masyarakat yang semua aspek kehidupan
sangat tergantung pada nilai dan keabsahan informasi sebagai sarana untuk
pengambilan keputusan. Kondisi ini tercipta karena perubahan paradigma dan
adaptasi perkembangan masyarakat yang berkembang secara dimamis mengikuti pola
pengetahuan dan terciptanya teknologi baru yang memungkinkan peningkatan
kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik dan bernilai. Masyarakat informasi
sering dikaitkan dengan masyarakat berbasis teknologi, namun teknologi bukan
merupakan satu-satunya komponen. Masyarakat informasi berbasis teknologi,
politik, ekonomi, sosial, pasar, hukum, sehingga batasan masyarakat informasi
tidak harus sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Apa yang
diperlukan pada masyarakat informasi ialah informasi yang lebih baik, lebih
rinci dan lebih tersedia atau lebih gampang diakses bagi anggota masyarakat (Sulistyo-Basuki,2014).
Berbagai macam indikator yang menciptakan masyarakat
informasi secara nyata terlihat dari tren perkembangan teknologi informasi yang
dikonsumsi oleh masyarakat. Teknologi mobile,
sarana internet, media komunikasi, media sosial menjadi kebutuhuan standar
masyarakat informasi dalam kesehariannya. Browsing,
chatting, video chat, surfing, blog, email, tweet menjadi istilah standar
dalam berkomunikasi dan menemukan informasi. Casstells dalam Ritzer (2007)
memaknai paradigma teknologi informasi dengan karakteristik dasar yang
meliputi; Pertama, teknologi
informasi adalah teknologi yang bereaksi berdasarkan informasi. Kedua, informasi adalah bagian dari
aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive. Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi
informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa mempengaruhi
berbagai proses dan organisasi. Keempat, teknologi
baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara
konstan. Kelima, teknologi spesifik
yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.
Paradigma teknologi informasi tersebut menjadi keseharian yang sudah jamak
dalam kehidupan masyarakat, bahkan ada anggapan di masyarakat apabila tidak
menggunakan sarana teknologi informasi maka dianggap sebagai golongan kuno.
Berbagai aspek penggunaan teknologi informasi
bergulir begitu cepat mengukuti pola perkembangan masyarakat. Fenomena yang
secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan
perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan
kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan
apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan tren
penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat
menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh
masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial
‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang
punggungnya. Fenomena masyarakat informasi sejatinya merupakan pola perubahan
adaptif masyarakat dalam memaknai perkembangan yang sedang terjadi sesuai
dengan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang diyakini dapat memberikan
perubahan pada masyarakat.
Dalam berbagai perspektif perubahan masyarakat
kearah masyarakat informasi selalu dikaitkan dengan proses pembelajaran dan
penciptaan, pengelolaan dan penyebaran pengetahuan sebagai unsur utama dengan
berkolaborasi dengan perangkat teknologi yang umumnya disebut sebagai teknologi
informasi. Apabila dikaitkan dengan perpustakaan khususnya perpustakaan
perguruan tinggi, maka proses penyebaran pengetahuan yang berguna bagi konsumsi
masyarakat informasi merupakan kewenangan dan tugas bagi perpustakaan. Idealnya
perpustakaan ditempatkan sebagai lembaga pengolah dan penyebar informasi yang
benar-benar berguna bagi masyarakat informasi untuk mengambil keputusan, akan
tetapi fungsi dan kewenangan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh
perpustakaan. Gambaran nyata yang sering terjadi dimasyarakat sekarang ini
adalah bahwa dengan peralatan gadget
digenggaman tangan pun berbagai macam informasi aktual segera didapatkan, tidak
perlu lagi mendatangi perpustakaan yang notabene sebagai pusat informasi dalam
masyarakat informasi.
Dengan adanya indikator tersebut memunculkan
pertanyaan dan perenungan benarkah kondisi sekarang dengan adanya penetrasi
penggunaan teknologi informasi yang merubah semua lini kehidupan berpengaruh
bagi eksistensi perpustakaan? Mengapa perpustakaan seolah tidak berdaya dalam
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat informasi yang memerlukan
kecepatan dan keakuratan sebagai gaya hidupnya? Benarkan budaya cyber telah mengambil alih perpustakaan perguruan
tinggi dalam melayani civitas akademika dalam tatanan masyarakat informasi?
Ataukah benar peran perpustakaan sangat dominan dalam membentuk karakter
pengetahuan masyarakat informasi secara umum?
Budaya Tanda Teknologi
Informasi
Permasalahan kuatnya penetrasi penggunaan teknologi
informasi yang terjadi dimasyarakat membawa perubahan fundamental bagi layanan
perpustakaan perguruan tinggi yang memandang bahwa perpustakaan masih diakui
sebagai lembaga penyaji dan penyedia informasi. Asumsi ini bersifat ‘klasik’
karena tuntutan perubahan tersebut terjadi karena adanya ‘persaingan’ antara
perpustakaan dengan teknologi jaringan global berupa internet yang memiliki
‘klaim’ tentang ketepatan dan kecepatan dalam mendapatkan informasi. Pustakawan
pun mempuyai peluang sebagai penyaji dan penyedia informasi (information provider)
yang benar-benar memiliki nilai bagi masyarakat informasi dengan klaim
membanjirnya informasi diberbagai bidang yang apabila diproses dan digolongkan
ternyata memiliki efek ‘informasi sampah’ yang tidak tepat digunakan oleh
masyarakat. Pustakawan berkedudukan sebagai penambah nilai informasi yang
benar-benar dibutuhkan oleh civitas akademika dan masyarakat informasi secara
umum. Namun disaat yang sama besarnya informasi yang tersedia dan kecepatan
informasi yang berganti dari hari kehari tidak dapat diantisipasi oleh
perpustakaan dalam menelaah informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh
masyarakat, dan akhirnya masyarakat pun tidak lagi ‘berkomunikasi’ dengan
perpustakaan karena kecepatan dan keakuratan informasi tidak memerlukan proses
yang rumit seperti dalam perpustakaan.
Informasi bisa didapatkan kapan saja dan dimana
saja, berjejaring dan informasi mobile
pun dapat dilaksanakan tanpa batas ruang dan waktu. Apabila mengandalkan
informasi dari perpustakaan yang didapatkan hanya ‘informasi teks’ yang tidak
fleksibel, namun dengan gadget yang
memiliki fitur jaringan global bukan lagi persoalan mendapatkan informasi dari
manapun. Komodifikasi tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan
untuk menciptakan tren dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi
masyarakat informasi menambah ‘persaingan’ antara perpustakaan dan sumber
informasi global. Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya, tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan
citra, prestise dan gaya hidup. Dalam
perkembangan berikutnya komodifikasi tanda yang menyertai kehidupan masyarakat
informasi tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan masyarakat yang dapat
dianalisa dengan menggunakan perspektif ilmu sosiologi tentang istilah
masyarakat informasi dengan berbagai ‘tanda wacana’ dan indikator yang
menyertainya.
Lyotard memberikan
asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era
industri yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari
era kegelapan, renaissance dan era
revolusi industri. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa
pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi
riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut
lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern
adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas
pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak
boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh
pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme (Featherstone, 2008).
Bahwa produksi industri tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat seperti halnya dalam era industri, tetapi kondisi sekarang ini
produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan
makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh
‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya
semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam
penggunaan sarana teknologi komputer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup
yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial
budaya masyarakat diera penggunaan komputer dan teknologi informasi. Sedangkan
Baudlillard menekankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi
pusat perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi
dan model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan
yang tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah
simulasi dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi
teknologi menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru
berupa masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai
alat pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara
‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya
hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya
sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
Membicarakan budaya tanda masyarakat informasi tidak
akan lepas dari pola perkembangan masyarakat modern ke arah masyarakat
postmodern dengan berbagai macam perspektif yang dapat menganalisa perkembangan
tersebut. Dengan budaya tanda tersebut dapat memberikan pemahaman bagi kita
bahwa kondisi riil masyarakat sekarang masuk dalam perkembangan masyarakat
postmodern atau masyarakat sesudah modern, bahkan ada yang menyebutkan sebagai
masyarakat informasi tergantung dari perspektif analisa yang digunakan dalam
mengkaji permasalahan tersebut.
Dalam bidang perpustakaan tentunya akan lebih
familier dengan menyebutnya sebagai masyarakat informasi karena memiliki
korelasi dengan perkembangan pola kehidupan intelektualitas dan pembelajaran
mandiri masyarakat dalam memproduksi, mengolah, menyajikan dan menyebarkan
informasi pengetahuan kepada masyarakat. Namun budaya tanda teknologi informasi
tersebut merupakan tantangan bagi perpustakaan di era membanjirnya informasi
global dimanapun dan kapanpun.
Arti Penting
Perpustakaan Perguruan Tinggi
Gaya hidup, simulasi dan budaya tanda teknologi
informasi memunculkan sejumlah pertanyaan tentang eksistensi perpustakaan dalam
pranata sosial masyarakat informasi khususnya perpustakaan perguruan tinggi.
Apakah masyarakat informasi dibentuk oleh perpustakaan, ataukah sebaliknya
eksistensi perpustakaan akan ‘termarjinalkan’ oleh hiruk-pikuk perkembangan
teknologi informasi?. Dilema perpustakaan dalam kultur masyarakat informasi
adalah ‘klaim’ perpustakaan yang menyebutkan bahwa perpustakaan memiliki peran
yang utama dalam pranata sosial masyarakat informasi. Masyarakat informasi
dibentuk oleh peran perpustakaan dalam menyajikan dan memproduksi informasi
terseleksi yang digunakan oleh masyarakat, namun argumentasi ini tidak
sepenunhya benar karena masyarakat informasi merupakan masyarakat ‘pembelajar’
dengan berbagai macam fasilitas untuk mendapatkan informasi yang begitu beragam
dalam mendapatkannya. Dalam logika informasi masyarakat informasi, informasi
yang didapatkan merupakan pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan
strategi dalam upaya pengambilan keputusan yang digunakan untuk memenangkan persaingan.
Kondisi-kondisi ini akhirnya memicu masyarakat informasi yang berpengetahuan berdasarkan
tindakan yang digunakan sebagai kaidah perilaku untuk bertindak dalam
melaksanakan inovasi untuk memenangkan persaingan. Cara mendapatkan informasi
pengetahuan pun semakin spesifik dengan berbagai macam pilihan sumber-sumber
informasi global yang tidak memerlukan administrasi yang berbelit dan bersifat real time kapanpun dimanapun.
Dengan demikian tidak salah kemudian memposisikan
perpustakaan sebagai lembaga penyaji informasi yang tersisih/termarjinalkan
dalam struktur pranata sosial masyarakat informasi dengan berbagai kaidah bahwa
penciptaan, pengolahan, pengkomunikasian dan penyebaran informasi tidak melalui
lembaga perpustakaan, hanya melalui sumber informasi global yang fleksibel dan
cepat. Masalah nilai informasi dan kebsahan informasi yang diklaim oleh
perpustakaan sebagai ‘produksi’ perpustakaan pun terbantahkan karena pola pikir
masyarakat informasi yang kritis, independent
dan berpengetahuan. Perpustakaan hanya sebagai ‘museum informasi’ tanpa mampu
berperan dalam struktur sosial masyarakat informasi khususnya civitas akademika
perguruan tinggi. Tantangan terbesar perpustakaan perguruan tinggi adalah
terdapatnya pemustaka perpustakaan yang disebut sebagai generasi digital atau digital native yang memiliki
karakteristik berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka lahir setelah
tahun 1980 ketika teknologi digital seperti internet dan media komunikasi online telah ada. Mereka memiliki
keahlian akses berjejaring dalam teknologi digital yang mereka gunakan
(Palfrey,2008). Satu hal yang harus diketahui oleh pustakawan dan perpustakaan
perguruan tinggi bahwa digital native
memiliki sifat yang berbeda, mereka belajar, bekerja, menulis dan berinteraksi
dengan komunitasnya, bahkan terkadang berinteraksi dengan pihak luar komunitas
dalam perkembangan kehidupannya. Mereka sangat tertarik dengan media online, berjejaring dengan berbagai
macam budaya, berinteraksi sosial, berteman, beraktifitas dengan mengandalkan
teknologi digital.
Dilema perpustakaan perguruan tinggi dalam era
masyarakat informasi dan layanan informasi kepada generasi digital native memberikan perenungan bagaimana seharusnya
perpustakaan bermetamorfosa dengan bersifat aplikatif melaksanakan perubahan
yang ‘keluar’ dari narasi kemapanan yang selama ini diyakini benar oleh
perpustakaan. Metamorfosa perpustakaan ditandai dengan melaksanakan perubahan
dan bersifat akomodatif dengan tetap berprinsip pada identitas budaya
perpustakaan yang selama ini memberikan ‘kenyamanan’ bagi pemustaka masyarakat
informasi. Setidaknya perpustakaan perguruan tinggi memerlukan konsep perubahan
yang meliputi pertama, perpustakaan
harus bersikap akomodatif terhadap masyarakat informasi utamanya generasi digital native dengan memberikan
fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ digital native. Sikap akomodatif tersebut dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan
menggunakan konsep learning commons
yang disesuaikan dengan kebutuhan pemustaka generasi digital. Penyediaan sarana
prasarana yang representatif, terkoneksi internet 24 jam sebagai sarana
berjejaring, tersedianya prasarana untuk bersantai sebagai tempat untuk
diskusi, penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang
lengkap. Kedua menyediakan koleksi
bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan
secara bersama-sama. Digital native
tidak begitu memperdulikan koleksi dalam bentuk teks karena informasi yang
didapatkan dengan cara koneksi internet menggunakan mesin pencari, oleh karena
itu perpustakaan perlu mengembangkan layanan multimedia dalam berbagai jenis
koleksi perpustakaan baik yang bersifat online
dan yang bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan
perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi masyarakat informasi, aturan
tersebut dirubah tetapi tetap berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang harus
ditegakkan, dalam arti bahwa digital
native bukan generasi yang ‘termarjinalkan’ karena bertingkah laku
menghilangkan budaya tinggi, tetapi mereka pun harus menghormati norma yang
sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat
pustakawan harus beradaptasi dengan perkembangan ‘gaya hidup’ masyarakat
informasi yang memandang bahwa perpustakaan adalah bagian dari gaya hidup dalam
mendapatkan pengetahuan dan akses informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi
diri dan bersifat tertutup dengan berbagai sifat dan karakteristik digital native yang memuja kebebasan
dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah bagaimana membangun konsep dialektika antara
pustakawan dan digital native dengan
memanfaatkan kegiatan bersama berupa kegiatan literasi informasi/media yang
dilaksanakan secara periodik. Literasi informasi/media dilaksanakan untuk
memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan sumber-sumber
informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun berkarekterisik yang selalu
berjejaring dan terkoneksi internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam
memberikan bimbingan bagaimana mencari, menggunakan dan mendapatkan informasi
yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Keenam
adalah adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang
bersifat interaktif menggunakan teknologi web tentang jenis-jenis layanan
perpustakaan dan produk informasi yang diproduksi oleh perpustakaan.
Penutup
Tantangan perpustakaan perguruan tinggi dalam
struktur pranata sosial masyarakat informasi berkembang dinamis dan harus
diantisipasi oleh perpustakaan dengan tindakan yang bersifat akomodatif. ‘Marginalisasi’
perpustakaan akan benar-benar terjadi apabila perpustakaan tidak melaksanakan
kegiatan metamorfosa dan keluar dari narasi kemapanan yang selama ini sudah
terbangun. Karakteristik masyarakat informasi dengan generasi digital native sebagai aktornya berbeda
dengan masyarakat modern yang dilayani oleh perpustakaan. Sumber informasi
global dan keabsahan dari nilai informasi dalam kegiatan keseharian masyarakat
informasi untuk proses pengambilan keputusan sudah seharusnya menjadi tantangan
dan peluang bagi perpustakaan untuk tetap eksis sebagai lembaga penyaji dan
pengolah informasi. Marginalisasi dan tantangan perpustakaan di pusaran
masyarakat informasi memberikan perenungan bagi perpustakaan untuk memberikan
pemahaman baru bahwa perpustakaan masih diperlukan dan harus eksis ditatanan
struktur masyarakat informasi. Perpustakaan harus bergerak maju sebagai bagian
dari ‘gaya hidup’ masyarakat informasi dengan nilai informasi sebagai bagian
terpenting dalam pengambilan keputusan. Ketika nilai informasi sebagai bagain
dari gaya hidup, maka tercipta kondisi masyarakat berpengetahuan dengan
memanfaatkan sumber-sumber pengetahuan yang memiliki kapabilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Diperlukan lembaga yang memiliki eksistensi dalam
menciptakan pengetahuan sebagai gaya hidup masyarakat ini. Lembaga tersebut
adalah perpustakaan. Semoga.
Daftar
Pustaka
Bryson,
Jo. 2006. Managing Information Service; A
Transformation Approach. Aldershot Hampshire: Ashgate Publishing Limited.
Featherstone,
Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya
Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palfrey,
John and Urs Gasser. 2008. Born Digital;
Understanding The First Generation of Digital Natives. New York: Basic
Book.
Ritzer,
George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ritzer,
George dan Barry Smart. 2012. Handbook
Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.
Sugihartati,
Rahma. 2014. Perkembangan Masyarakat
Informasi dan Teori Sosial Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Sulistyo-Basuki.
2014. Senerai Pemikiran Sulistyo-Basuki:
Profesor Pertama Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Indonesia. Jakarta:
ISIPII.
Sutrisno,
Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.