Pendahuluan
Perpustakaan
dalam perkembangannya selalu diidentikkan dengan perkembangan pola penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat. Perpustakaan dan pusat informasi
pengetahuan merupakan komponen yang serasi untuk menggambarkan kemajuan
peradaban masyarakat karena dimulai dari bagaimana akses informasi dan
distribusi informasi yang disebarkan oleh perpustakaan kepada masyarakat.
Perkembangan berikutnya adalah perubahan masyarakat yang disebutkan oleh
Toffler bahwa perkembangan masyarakat dikategorikan dalam tiga gelombang yang dimulai
dari gelombang pertama sebagai masyarakat pertanian (agraris), gelombang kedua masyarakat
industry dan gelombang ketiga pada kondisi setelah era runtuhnya perang dingin
antara AS adan Uni Soviet. Masyarakat gelombang ketiga bisa disebut sebagai masyarakat
informasi dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih menitikberatkan
pada nilai informasi sebagai tulang punggung dalam kehidupan masyarakat secara
umum. Masyarakat informasi merupakan masyarakat yang semua aspek kehidupan
sangat tergantung pada nilai dan keabsahan informasi sebagai sarana untuk
pengambilan keputusan. Kondisi ini tercipta karena perubahan paradigma dan
adaptasi perkembangan masyarakat yang berkembang secara dimamis mengikuti pola
pengetahuan dan terciptanya teknologi baru yang memungkinkan peningkatan
kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik dan bernilai.
Berbagai macam indikator yang
menciptakan masyarakat informasi secara nyata terlihat dari tren perkembangan
teknologi informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Teknologi mobile, sarana internet, media
komunikasi, media sosial menjadi kebutuhuan standar masyarakat informasi dalam
kesehariannya. Browsing, chatting, video
chat, surfing, blog, email, tweet menjadi istilah standar dalam
berkomunikasi dan menemukan informasi.
Menurut Casstells dalam Ritzer
(2007) memaknai paradigma teknologi informasi dengan karakteristik dasar yang
meliputi; Pertama, teknologi
informasi adalah teknologi yang bereaksi berdasarkan informasi. Kedua, informasi adalah bagian dari
aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive. Ketiga, semua sistem yang menggunakan
teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa
mempengaruhi berbagai proses dan organisasi. Keempat, teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa
beradaptasi dan berubah secara konstan. Kelima,
teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem
yang terintegrasi. Paradigma teknologi informasi tersebut menjadi keseharian
yang sudah jamak dalam kehidupan masyarakat, bahkan ada anggapan disebagian
masyarakat apabila tidak menggunakan sarana teknologi informasi maka dianggap
sebagai golongan kuno.
Berbagai aspek penggunaan teknologi
informasi bergulir begitu cepat mengukuti pola perkembangan masyarakat. Fenomena
yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan
perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan
kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan
apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan tren
penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat menjadikan
segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka
tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’
dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang punggungnya. Lalu bagaimana
dengan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal
karena tidak mampu mengikuti pusaran ‘kecepatan’ yang diciptakan oleh
masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan budaya global dengan tetap
mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah mereka kita sebut sebagai
masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai masyarakat modern) atau
kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek
misalnya dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Fenomena masyarakat informasi sejatinya
merupakan pola perubahan adaptif masyarakat dalam memaknai perkembangan yang
sedang terjadi sesuai dengan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang
diyakini dapat memberikan perubahan pada masyarakat. Dalam berbagai perspektif perubahan
masyarakat kearah masyarakat informasi selalu dikaitkan dengan proses
pembelajaran dan penciptaan, pengelolaan dan penyebaran pengetahuan sebagai
unsur utama dengan berkolaborasi dengan perangkat teknologi yang umumnya
disebut sebagai teknologi informasi. Apabila dikaitkan dengan perpustakaan,
maka proses penyebaran pengetahuan yang berguna bagi konsumsi masyarakat
informasi merupakan kewenangan dan tugas bagi perpustakaan. Idealnya
perpustakaan ditempatkan sebagai lembaga pengolah dan penyebar informasi yang
benar-benar berguna bagi masyarakat informasi untuk mengambil keputusan, akan
tetapi fungsi dan kewenangan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh
perpustakaan. Gambaran nyata yang sering terjadi dimasyarakat sekarang ini
adalah bahwa dengan peralatan gadget
digenggaman tangan pun berbagai macam informasi yang aktual segera didapatkan,
tidak perlu lagi mendatangi perpustakaan yang notabene sebagai pusat informasi
dalam masyarakat informasi.
Dengan adanya indikator tersebut
memunculkan pertanyaan dan perenungan benarkah kondisi sekarang dengan adanya
penetrasi penggunaan teknologi informasi yang merubah semua lini kehidupan
berpengaruh bagi eksistensi perpustakaan? Mengapa perpustakaan seolah tidak
berdaya dalam mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat informasi yang
memerlukan kecepatan dan keakuratan sebagai gaya hidupnya? Benarkan budaya cyber telah memarginalkan perpustakaan
dalam tatanan masyarakat informasi? Ataukah benar peran perpustakaan sangat
dominan dalam membentuk karakter pengetahuan masyarakat informasi?
Budaya
Tanda TIK
Permasalahan
kuatnya penetrasi penggunaan teknologi informasi yang terjadi dimasyarakat
membawa perubahan fundamental bagi layanan perpustakaan yang memandang bahwa
perpustakaan masih diakui sebagai lembaga penyaji dan penyedia informasi. Asumsi
ini bersifat ‘klasik’ karena tuntutan perubahan tersebut terjadi karena adanya
‘persaingan’ antara perpustakaan dengan teknologi jaringan global berupa
internet yang memiliki ‘klaim’ tentang ketepatan dan kecepatan dalam
mendapatkan informasi. Pustakawan pun mempuyai peluang sebagai penyaji dan
penyedia informasi yang benar-benar memiliki nilai bagi masyarakat informasi
dengan klaim membanjirnya informasi diberbagai bidang yang apabila diproses dan
digolongkan ternyata memiliki efek ‘informasi sampah’ yang tidak tepat
digunakan oleh masyarakat. Pustakawan berkedudukan sebagai penambah nilai
informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat informasi. Namun disaat
yang sama besarnya informasi yang tersedia dan kecepatan informasi yang
berganti dari hari kehari tidak dapat diantisipasi oleh perpustakaan dalam
menelaah informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, dan akhirnya
masyarakat pun tidak lagi ‘berkomunikasi’ dengan perpustakaan karena kecepatan
dan keakuratan informasi tidak memerlukan proses yang rumit seperti dalam
perpustakaan.
Informasi
bisa didapatkan kapan saja dan dimana saja, berjejaring dan informasi mobile pun dapat dilaksanakan tanpa
batas ruang dan waktu. Apabila mengandalkan informasi dari perpustakaan yang
didapatkan hanya ‘informasi teks’ yang tidak fleksibel, namun dengan gadget yang memiliki fitur jaringan
global bukan lagi persoalan mendapatkan informasi dari manapun. Komodifikasi
tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan tren
dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat informasi
menambah ‘persaingan’ antara perpustakaan dan sumber informasi global. Kapitalis
memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi
untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan gaya
hidup. Dalam perkembangan berikutnya komodifikasi tanda yang menyertai
kehidupan masyarakat informasi tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan
masyarakat yang dapat dianalisa dengan menggunakan perspektif ilmu sosiologi
tentang istilah masyarakat informasi dengan berbagai ‘tanda wacana’ dan
indikator yang menyertainya.
Lyotard
memberikan
asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era
industry yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari
era kegelapan, renaissance dan era revolusi industry. Memang asumsi ini
didasarkan pada kondisi masyarakat eropa pada saat itu, namun kondisi sekarang
ini masyarakat dihadapkan pada kondisi riil tentang adanya perubahan budaya
kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan
membicarakan masyarakat postmodern adalah pengaruh efek-efek khusus dari
‘komputerisasi masyarakat’ atas pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya
makna dalam postmodern tidak boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian
pengetahuan naratif oleh pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh
lokalisme Featherstone (2008). Bahwa produksi industry tidak semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat seperti halnya dalam era industry,
tetapi kondisi sekarang ini produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’,
kecepatan yang mengaburkan makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat
konsumsi yang dihasilkan oleh ‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi
produksi dan konsumsi hanya semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’,
seperti terlihat dalam penggunaan sarana teknologi komputer hanya sebatas untuk
pemenuhan gaya hidup yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan
fenomena perubahan sosial budaya masyarakat diera penggunaan komputer dan
teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard
menakankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat
perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan
model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang
tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi
dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi
menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa
masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai alat
pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara
‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya
hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya
sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
Membicarakan budaya tanda
masyarakat informasi tidak akan lepas dari pola perkembangan masyarakat modern
ke arah masyarakat postmodern dengan berbagai macam perspektif yang dapat
menganalisa perkembangan tersebut. Dengan budaya tanda tersebut dapat
memberikan pemahaman bagi kita bahwa kondisi riil masyarakat sekarang masuk
dalam perkembangan masyarakat postmodern atau masyarakat sesudah modern, bahkan
ada yang menyebutkan sebagai masyarakat informasi tergantung dari perspektif
analisa yang digunakan dalam mengkaji permasalahan tersebut.
Dalam bidang perpustakaan tentunya
akan lebih familier dengan menyebutnya sebagai masyarakat informasi karena
memiliki korelasi dengan perkembangan pola kehidupan intelektualitas dan
pembelajaran mandiri masyarakat dalam menproduksi, mengolah, menyajikan dan
menyebarkan informasi pengetahuan kepada masyarakat. Namun budaya tanda TIK
tersebut apakah mengaburkan fungsi dari perpustakaan di era membanjirnya
informasi global?
Marginalisasi
Perpustakaan
Gaya hidup,
simulasi dan budaya tanda teknologi informasi memunculkan sejumlah pertanyaan
tentang eksistensi perpustakaan dalam pranata sosial masyarakat informasi.
Apakah masyarkat informasi dibentuk oleh perpustakaan, ataukah sebaliknya
eksistensi perpustakaan akan ‘termarjinalkan’ oleh hiruk-pikuk perkembangan
teknologi informasi?. Dilema perpustakaan dalam kultur masyarakat informasi
adalah ‘klaim’ perpustakaan yang menyebutkan bahwa perpustakaan memiliki peran
yang utama dalam pranata sosial masyarakat informasi. Masyarakat informasi
dibentuk oleh peran perpustakaan dalam menyajikan dan memproduksi informasi
terseleksi yang digunakan oleh masyarakat, namun argumentasi ini tidak
sepenunhya benar karena masyarakat informasi merupakan masyarakat ‘pembelajar’
dengan berbagai macam fasilitas untuk mendapatkan informasi yang begitu beragam
dalam mendapatkannya. Dalam logika informasi masyarakat informasi, informasi
yang didapatkan merupakan pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan
strategi dalam upaya pengambilan keputusan yang digunakan untuk memenangkan
persaingan. Kondisi-kondisi ini akhirnya memicu masyarakat informasi yang
berpengetahuan dengan yang digunakan sebagai kaidah perilaku untuk bertindak
dalam melaksanakan inovasi untuk memenangkan persaingan. Cara mendapatkan informasi
pengetahuan pun semakin spesifik dengan berbagai macam pilihan sumber-sumber
informasi global yang tidak memerlukan administrasi yang berbelit dan bersifat real time kapanpun dimanapun.
Dengan
dimikian tidak salah kemudian memposisikan perpustakaan sebagai lembaga penyaji
informasi yang tersisih/termarjinalkan dalam struktur pranata sosial masyarakat
informasi dengan berbagai kaidah bahwa penciptaan, pengolahan, pengkomunikasian
dan penyebaran informasi tidak melalui lembaga perpustakaan, hanya melalui
sumber informasi global yang fleksibel dan cepat. Masalah nilai informasi dan
kebsahan informasi yang diklaim oleh perpustakaan sebagai ‘produksi’
perpustakaan pun terbantahkan karena pola pikir masyarakat informasi yang
kritis, independent dan berpengetahuan. Perpustakaan hanya sebagai ‘museum
informasi’ tanpa mampu berperan dalam struktur sosial masyarakat informasi.
Dilema
perpustakaan dalam era masyarakat informasi memberikan perenungan bagaimana
seharusnya perpustakaan bermetamorfosa dengan bersifat aplikatif melaksanakan
perubahan yang ‘keluar’ dari narasi kemapanan yang selama ini diyakini benar
oleh perpustakaan. Metamorfosa perpustakaan ditandai dengan melaksanakan perubahan
dan bersifat akomodatif dengan tetap berprinsip pada identitas budaya
perpustakaan yang selama ini memberikan ‘kenyamanan’ bagi pemustaka masyarakat
informasi. Setidaknya perpustakaan memerlukan konsep perubahan yang meliputi pertama, perpustakaan harus bersikap
akomodatif terhadap masyarakat informasi dengan memberikan fasilitas layanan
yang mendukung ‘gaya hidup’ masyarakat informasi. Sikap akomodatif tersebut
dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan menggunakan konsep learning commons yang disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat informasi. Penyediaan sarana prasarana yang
representative, terkoneksi internet 24 jam sebagai sarana berjejaring,
tersedianya prasarana untuk berleha-leha sebagai tempat untuk diskusi,
penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang lengkap. Kedua menyediakan koleksi bahan
perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan secara
bersama-sama. Masyarakat informasi tidak begitu memperdulikan koleksi dalam
bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan cara koneksi dengan
internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu perpustakaan perlu
mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi perpustakaan baik
yang bersifat online dan yang
bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan
perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi masyarakat informasi, aturan
tersebut dirubah tetapi dengan berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang
harus ditegakkan, dalam arti bahwa masyarakat informasi bukan generasi yang ‘termarjinalkan’
karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi, tetapi masyarakat informasi
pun harus menghormati norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi
dengan perkembangan ‘gaya hidup’ masyarakat informasi yang memandang bahwa
perpustakaan adalah bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan
akses informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup
dengan berbagai sifat dan karakteristik masyarakat informasi yang memuja kebebasan
dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah bagaimana membangun konsep dialektika antara
pustakawan dan masyarakat informasi dengan memanfaatkan kegiatan bersama berupa
kegiatan literasi media yang dilaksanakan secara periodik. Literasi media
dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan
sumber-sumber informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun karekterisik
masyarakat informasi yang selalu berjejaring dan terkoneksi internet, namun
peran pustakawan diperlukan dalam memberikan bimbingan bagaimana mencari,
menggunakan dan mendapatkan informasi yang benar dan handal. Keenam adalah adanya kegiatan promosi
dan sosialisasi layanan perpustakaan yang bersifat interaktif menggunakan
teknologi web tentang jenis-jenis layanan perpustakaan dan produk informasi
yang diproduksi oleh perpustakaan.
Penutup
Marginalisasi
perpustakaan dalam struktur pranata sosial masyarakat informasi akan
benar-benar terjadi apabila perpustakaan tidak melaksanakan kegiatan metamorfosa
dan keluar dari narasi kemapanan yang selama ini sudah terbangun. Karakteristik
masyarakat informasi berbeda dengan masyarakat modern yang dilayani oleh
perpustakaan. Sumber informasi global dan keabsahan dari nilai informasi dalam
kegiatan keseharian masyarakat informasi untuk proses pengambilan keputusan sudah
seharusnya menjadi tantangan dan peluang bagi perpustakaan untuk tetap eksis
sebagai lembaga penyaji dan pengolah informasi. Marginalisasi perpustakaan di pusaran
masyarakat informasi memberikan perenungan bagi perpustakaan untuk memberikan
pemahaman baru bahwa perpustakaan masih diperlukan dan harus eksis ditatanan
struktur masyarakat informasi. Perpustakaan harus bergerak maju sebagai bagian
dari ‘gaya hidup’ masyarakat informasi.
Daftar
Pustaka
Featherstone,
Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya
Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer,
George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ritzer,
George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori
Sosial. Jakarta: Nusa Media.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius.
Toffler, Alvin.1980. The Third Wave. New York: Bantam Bo