Tuesday 24 July 2012

MANAJEMEN RISIKO SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PERPUSTAKAAN



MANAJEMEN RISIKO
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PERPUSTAKAAN

Naskah partisipasi untuk majalah Visi Pustaka

Pendahuluan
Masih ingat dengan tragedi tugu tani beberapa waktu yang lalu? Kenapa peristiwa naas tersebut dapat terjadi? Adakah faktor alam dan faktor human error yang menyebabkannya? Lalu apa pula kaitannya dengan ilmu perpustakaan pada umumnya? Antara kecelakaan dan ilmu perpustakaan, mungkinkah ada korelasi antara layanan kepada pemustaka dengan kecelakaan di tugu tani yang disebabkan ulah afriyani yang mengemudikan kendaraan dibawah pengaruh obat-obat terlarang?
Menjadi hal yang jamak apabila pertanyaan tersebut terlintas dibenak kita, karena sejatinya antara kecelakaan ditugu tani dan ilmu perpustakaan memang tidak ada korelasi hubungan ilmu satu sama lain, yang menjadi persoalan adalah korelasi kecelakaan tersebut dengan konsep manajemen risiko yang berkaitan dengan sistem informasi manajemen perpustakaan dan teknologi informasi pada umumnya. Bahwa kecelakaan merupakan risiko dari tindakan mengemudikan kendaraan dibawah pengaruh obat-obat terlarang yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa pejalan kaki yang tidak berdosa. Sedangkan risiko untuk perpustakaan dengan tulang punggung sistem informasi manajemen perpustakaan adalah terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka, bahkan yang lebih fatal adalah terhentinya sistem kerumahtanggan perpustakaan mulai dari kegiatan akuisisi, pengolahan, pelayanan dan penelusuran informasi. Jika sudah demikian berapakah jumlah pemustaka yang dikecewakan oleh layanan perpustakaan karena terhentinya sistem layanan informasi yang berbasis pada sistem informasi manajemen perpustakaan?
Menjadi penting penerapan konsep manajemen risiko dalam sistem informasi manajemen perpustakaan untuk mengantisipasi berbagai macam sumber ancaman risiko yang menghambat pelayanan informasi di perpustakaan. Dalam konsep layanan perpustakaan misalnya apabila terjadi pemutusan arus listrik mendadak pada saat layanan perpustakaan, maka dapat dipastikan layanan kepada pemustaka akan terhenti. Risikonya adalah berupa sumber ancaman (threat) berupa terputusnya aliran listrik, sedangkan akibatnya (consequences) adalah berhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka. Namun demikian perpustakaan dengan basis teknologi informasi tentunya paham akan risiko tersebut. Dalam contoh sederhana seringkali perpustakaan telah melaksanakan kegiatan pengelolaan resiko tanpa disadari yakni, melakukan backup data yang ada dikomputer, serta menyimpan setiap dokumen pada aplikasi pengolahan dokumen. Singkat kata apapun yang dilakukan untuk menghindari atau meminimalkan efek kerugian, kerusakan pada pekerjaan ataupun harta benda, dapat secara sederhana dikategorikan sebagai usaha untuk mengelola risiko.
            Mungkinkah perpustakaan membuat keputusan menghindari risiko? Alasanya karena perpustakaan sebagai organisasi telah berjalan dengan aman dan nyaman, maka perpustakaan takut menanggung risiko. Tentunya memerlukan jawaban yang tidak sederhana. Namum demikian pada hakikatnya semua aspek kehidupan mengandung risiko. Kemanapun kita menghindari risiko atau lari dari risiko, maka disitupun akan menemukan risiko yang lainnya. Risiko merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahkan sebagian orang mengatakan tidak ada hidup tanpa risiko, sebagaimana tidak ada hidup tanpa maut. Jadi setiap hari kita mengadapi risiko, baik sebagai perorangan, maupun sebagai organisasi. Orang berusaha melindungi diri terhadap risiko, demikian pula organisasi melindungi kegiatannya dari risiko. Utamanya bagi perpustakaan sebagai sebuah organisasi publik yang berbasis layanan informasi kepada masyarakat. Yang perlu diperhatikan adalah menerapkan konsep ilmu manajemen untuk mengelola risiko agar dapat meminimalisasi kerugian-kerugian dalam melaksanakan kegiatan informasi perpustakaan yang berlandaskan sistem informasi manajemen perpustakaan dan teknlogi informasi pada umumnya.

Definisi risiko
Definisi risiko menurut Pinontoan (2010: 100) adalah akibat negatif dari sebuah kejadian atau suatu keputusan yang diambil dalam kehidupan sehari-hari. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa aspek kehidupan manusia sejatinya menimbulkan risiko bagi siapapun, tergantung bagaimana resiko tersebut diminimalisasi akibatnya. Seperti halnya dengan keputusan yang kita ambil sebenarnya adalah risiko yang harus kita tanggung. Darmawi (2006: 1) mendefinisikan resiko sebagai kemungkinan akan terjadinya akibat buruk atau akibat yang merugikan, seperti kemungkinan kehilangan, cidera, kebakaran dan sebagainya. Dalam risiko tidak ada metode apapun yang bisa menjamin seratus persen bahwa akibat buruk itu setiap saat dapat dihindarkan, kecuali kalau kegiatan yang mengandung unsur risiko tidak dilakukan. Contoh sederhana menumpang kendaraan, memang ada risikonya, antara lain risiko kecelakaan yang bisa berakibat pada kematian ataupun kerugian material. Dengan menghindari bepergian menggunakan mobil misalnya, apakah merupakan jawaban yang tepat dizaman modern yang memerlukan produktifitas dan kecepatan waktu sebagai tulang punggungnya. Dalam kehidupan sekarang tidak satupun sebuah keputusan atau kejadian yang tidak memiliki risiko, termasuk juga dalam perpustakaan pada umumnya.
Sedangkan menurut Idroes (2008) menjelaskan risiko merupakan bahaya, risiko adalah ancaman atau kemungkinan suatu tindakan yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai. Risiko juga merupakan peluang, risiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi tersebut menjelaskan risiko merupakan salah satu aspek organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin dilaksanakan, dengan adanya risiko maka tujuan dari organisasi mendapatkan ancaman yang mengganggu kelancaran tujuan organisasi yang ingin dicapai. Namun demikian risiko juga merupakan peluang bagi organisasi untuk mencapai tujuannya dengan cara menerapkan konsep manajemen risiko yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Meminimalisasi risiko dalam setiap aktifitas organisasi pada hakikatnya adalah proses penerapan manajemen risiko secara umum.

Karakteristik risiko
Dari penjelasan dan contoh-contoh diatas, risiko dapat dikarakterisasikan dalam dua hal yaitu:
1.      Threat (ancaman), contoh: kemungkinan terputusnya aliran listrik dari PLN bagi layanan perpustakaan,
2.      Concequences (konsekuensi), contoh: akibat dari putusnya aliran listrik PLN keperpustakaan menimbulkan kerusakan pada database center, hardisk rusak ataupun kehilangan data perpustakaan.

Kedua hal tersebut, ancaman dan konsekuensi adalah dua hal yang penting untuk membangun keseluruhan konsep risiko dan menjadi hal yang penting dalam pemahaman serta implementasi konsep manajemen risiko sistem informasi perpustakaan dan teknologi informasi. Sebagai contoh sumber ancaman (threat) bagi layanan perpustakaan adalah terputusnya aliran listrik dari PLN, maka konsekuensinya atau akibat dari putusnya aliran listrik adalah kerusakan database perpustakaan, maupun terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka.
Lebih lanjut Pinontoan mengemukakan setelah mengidentifikasi karakteristik dari risiko, cara lain adalah menggunakan matematika deskriptif dengan mengidentifiaksi ancaman yang dapat dijabarkan menjadi beberapa komponen penting dalam bentuk informasi maupun data sebagai berikut:
1.      Likelihood, kemungkinan terjadinya dari ancaman,
2.      Threat event, kejadian dari ancaman,
3.      Threat source, sumber ancaman,
4.      Threat category, kategori ancaman,
Dalam konsep matematika deskriptif untuk menggambarkan karakterisik risiko, maka ilustrasi kecelakaan ditugu tani dapat dijadikan pembelajaran untuk mengetahui komponen-komponen apa saja yang masuk dalam kategori karakteristik risiko. Kecelakaan tugu tani mewakili kejadian dari ancaman dimana pengemudi yang mabuk sebagai sumber ancaman. Kemungkinan terjadinya ancaman dinyatakan dalam nilai kemungkinan seseorang pengemudi yang mabuk akan menyebabkan sebuah kecelakaan. Nilai kemungkinan tersebut diasumsikan 60%, yang berarti bahwa akan ada 6 kecelakaan dari 10 kejadian seseorang yang mabuk mengemudikan kendaraan. Perlu untuk dijadikan catatan, bahwa nilai kemungkinan tersebut harus didefinisikan berdasarkan data serta informasi yang benar. Nilai 60% seharusnya didapat dari informasi statistik kecelakaan yang berasal dari sumber yang memiliki kompetensi, dalam hal ini adalah pikak kepolisian lalu lintas dan pihak terkait lainnya. Validitas dari nilai tersebut akan sangat berpengaruh nantinya dalam perhitungan nilai-nilai risiko nantinya.
            Dari ilustrasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kemungkinan terjadinya ancaman dari risiko pengemudi yang sedang mabuk adalah 60 % terjadi kecelakaan. Sedangkan kejadian ancaman yakni kecelakaan berkendara mobil. Sumber ancaman berupa pengemudi yang sedang mabuk, kategori ancaman berupa kerusakan kendaraan, luka-luka, bahkan menyebabkan hilangnya nyawa pejalan kaki disekitarnya, dalam hal ini disekitar halte tugu tani.
            Untuk kasus perpustakaan dapat diasumsikan dari kasus terputusnya aliran listrik PLN didaerah tertentu. Misalkan daerah tersebut memiliki tingkat pemadaman listrik 60% dalam satu bulan, maka kemungkinan terjadinya sumber ancaman dari lampu padam PLN adalah sangat tinggi, hampir 16 hari dalam 30 hari mengalami lampu padam dari PLN. Kejadian dari ancaman tersebut adalah intensitas lampu padam dari PLN yang sangat tinggi yakni 16 hari dalam kurun waktu 30 hari. Sedangkan konsekuensi dari lampu padam tersebut adalah terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka, bahkan menimbulkan kerusakan database perpustakaan dalam naungan sistem informasi manajemen perpustakaan.




Sumber ancaman
            Sumber ancaman dari risiko dapat dikategorikan dalam 3 kategori yakni alamiah, teknis dan manusia.
Alamiah
Teknis
Manusia
Epidemik
Kegagalan software
Serangan bom
Banjir
Kegagalan hardware
Hacker
Angin puting beliung
Aliran putus listrik
Huru-hara
Gempa
Cacat software
Pencurian
Letusan gunung berapi

Akses tak berotorisasi


Serangan virus


Sabotase
Table 1. kategori sumber ancaman
            Dari ilustrasi yang telah disampaikan, pengemudi yang mabuk oleh pengaruh obat terlarang merupakan kategori ancaman manusia, sedangkan terputusnya aliran listrik dari PLN adalah sumber ancaman teknis, sedangkan sumber ancaman yang bersumber dari faktor bencana alam dapat dikategorikan sebagai sumber ancaman alamiah. Proses identifikasi sumber ancaman wajib dilaksanakan oleh perpustakaan yang berbasis teknologi informasi dengan sistem informasi manajemen perpustakaan sebagai tulang punggung layanan kepada pemustaka. Dengan memperhatikan sumber ancaman yang mengganggu kelancaran sistem informasi maka risiko kelangsungan berjalannya sistem informasi perpustakaan menjadi teridentifikasi dan dapat dilakukan solusi pemecahan sumber risiko yang dapat menghambat layanan perpustakaan.

Kerangka Kerja Manajemen Risiko Sistem Informasi  Manajemen Perpustakaan
Secara umum penerapan manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan dapat dilaksanakan dalam 7 fase kegiatan utama, yaitu:
1.      Fase I : kajian risiko.
Dalam fase kajian resiko perpustakaan harus melakukan kegiatan kajian risiko dengan melalukan kegiatan antara lain:
a.      Mengidentifikasi semua ancaman yang mungkin dapat terjadi yang mengganggu kelancaran sistem informasi manajemen perpustakaan dan data center perpustakaan. Sumber ancaman dari factor alamiah, teknis dan manusia sebisa mungkin diidentifikasi secara maksimal dan periodik berdasarkan rentang waktu yang telah ditentukan.
b.      Mengidentifikasi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi akibat dari ancaman tersebut. Misalnya banjir yang menyebabkan terendamnya data center, atau putusnya aliran listrik akibat gardu listrik yang terendam banjir.
c.       Mengidentifikasi konsekuensi dari kejadian-kejadian tersebut bagi perpustakaan. Misalkan terputusnya aliran listrik akan mengakibatkan semua layanan sistem informasi perpustakaan menjadi terhenti dan terganggu. Perpustakaan tidak melayani pemustaka yang mencari informasi. Kerusakan hardware dan software pun dapat menimbulkan konsekuensi terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka.
d.      Menghitung besaran biaya yang ditimbulkan dari sumber ancaman. Seberapa besar dampak finansial yang timbul akibat terganggunya layanan.
e.      Meneliti dan menghitung nilai kemungkinan terjadinya sebuah ancaman berdasarkan data-data historis maupun perhitungan lainnya.
f.        Menentukan nilai risiko melalui kalkulasi nilai-nilai sebelumnya yang telah dihitung.
2.      Fase II: kajian opsi pengendalian risiko.
Pada fase ini perpustakaan mengkaji risiko dengan cara mengidentifikasi opsi atau pilihan apa saja yang dapat digunakan dan diimplementasikan untuk mengendalikan risiko. Kegiatan tersebuat antara lain
a.      Risk acceptance, menerima risiko tanpa melakukan tindakan apapun.
b.      Risk avoidance, menghindari sepenuhnya sebuah risiko.
c.       Risk reduction, mengurangi efek negatif dari ancaman hingga pada tingkat yang dapat diterima organisasi, khususnya perpustakaan.
d.      Risk transfer, memindahkan efek negatif dari ancaman kepada pihak lain, seperti yang terjadi pada sebuah perusahaan dengan cara mengasuransikan semua aset perusahaan pada asuransi.
3.      Fase III: kajian efektivitas dan biaya pengendalian risiko.
Pada tahap ini perpustakaan mengkaji efektifitas dan biaya pengendalian risiko yang harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat keberhasilan mengendalikan risiko dengan memperhatikan juga faktor biayanya. Terdapat tiga kegiatan pada fase ini: pertama adalah mengidentifikasi semua biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan realisasi keempat opsi pengendalian risiko, kedua menguji efektivitas setiap opsi dalam hal mengurangi nilai risiko yang telah diidentifikasi, ketiga adalah menghitung nilai total biaya pengurangan kajian risiko yang paling sedikit memerlukan biaya.
4.      Fase IV: pelaporan hasil kajian risiko.
Pada fase ini perpustakaan membuat laporan hasil identifikasi kajian risiko dengan mengkaji berbagai macam sumber ancaman dan konsekunsi yang menghambat kelancaran sistem informasi manajemen perpustakaan. Kagiatan pelaporan kajian risiko tersebut memberikan gambaran jumlah biaya minimal dan maksimal yang digunakan untuk mengantisipasi risiko untuk layanan perpustakaan.
 5.      Fase V: pemilihan opsi pengendalian risiko.
Fase kelima dari manajemen risiko tersebut adalah memilih opsi pengendalian risiko yang paling baik diterapkan diperpustakaan dengan memperhatikan komponen-komponen yang diperlukan oleh perpustakaan. Pemilihan opsi ini harus disesuaikan dengan kondisi perpustakaan secara global dan faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pengendalian risiko.
6.      Fase VI: implementasi pengendalian risiko.
Pada kegiatan ini perpustakaan hanya menjalankan program kegiatan pengendalian risiko yang telah disepakati, dikomunikasikan dengan pengambil kebijakan dengan terlebih dahulu melaksanakan kelima fase kegiatan pengendalian risiko sistem informasi manajemen perpustakaan tersebut diatas.
7.      Fase VII: Pengawasan dan pengendalian risiko.
Kegiatan pengawasan dan pengendalian keseluruhan risiko harus menjadi standart operating procedure bagi perpustakaan dengan basis teknologi informasi. Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh pustakawan yang berkedudukan sebagai administrator sistem informasi perpustakaan. Fase pengawasan dan pengendalian risiko merupakan tahap akhir dalam mengkaji konsep manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan. Kegiatan lain yang perlu dilaksanakan pada fase ini adalah memberikan laporan secara periodik kapada pengambil kebijakan untuk memberikan gambaran perkembangan dan kelangsungan sistem informasi manajemen perpustakaan secara menyeluruh.

Kajian Risiko Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan
            Bagi perpustakaan sekarang ini untuk mengkaji manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan yang harus dilakukan adalah melaksanakan fase kajian risiko untuk opsi pengendalian risiko dengan mengimplementasikan kategori risk reduction, artinya perpustakaan hanya mengkaji kegiatan dengan cara mengurangi efek negarif dari ancaman pada tingkat yang dapat diterima oleh perpustakaan. Sebagai contoh perpustakaan mengimplemenasikan kegiatan tersebut dengan mengantisipasi sumber ancaman sebagai berikut:
1.      Alamiah, mengantisipasi sumber ancaman dari faktor alam dengan melaksanakan prosedur kegiatan integrasi datacenter yang terintegrasi dengan memperhatikan faktor lingkungan, seperti jauh dari banjir, angin puting beliung, petir, kedap suara dan udara, anti bocor dan anti kebakaran serta pendingin udara yang konstan dalam satu ruangan.
2.      Teknis, dengan melaksanakan kegiatan uji coba software dan update software, menyediakan mesin genzet dan UPS untuk antisipasi lampu padam, kegiatan backup data menggunakan media sekunder  berupa DVD, server khusus backup dan hardisk eksternal secara periodik.
3.      Manusia, kegiatan yang dilaksanakan adalah upgrade kemampuan pustakawan baik operator dan administrator untuk sadar merawat hardware dan software, utamanya untuk sistem informasi manajemen perpustakaan. Otorisasi hak akses untuk masing-masing bidang disistem informasi. Update antivirus secara periodik dimasing-masing komputer client. Pengawasan dan perbaikan network peripheral secara berkala.
Keseluruhan kegiatan tersebut yang harus dilaksanakan oleh perpustakaan untuk menjamin berjalannya sistem informasi manajemen perpustakaan. Sedangkan untuk kegiatan manajemen risiko dalam hal kegiatan pengendalian risiko ketiga opsi pengendalian tersebut sulit dilaksanakan oleh perpustakaan pada umunya. Asumsinya jika perpustakaan menerima begitu saja risiko tanpa melakukan kegiatan apapun, berarti tidak ada mekanisme pemecahan masalah bagi perpustakaan. Menghindari risiko sepenuhnya juga bukan merupakan alasan bijak bagi perpustakaan sebagai organisasi yang berkembang dinamis yang pasti menghadapi permasalahan mengkaji risiko. Sedangkan untuk memindahkan efek negarif dari ancaman kepada pihak lain seperti ke perusahaan asuransi memang masih dapat dilaksanakan, tetapi memerlukan investasi biaya yang tidak sedikit meskipun dapat dilaksanakan oleh perpustakaan yang memiliki dana besar, namun bagi perpustakaan sekarang ini opsi pengemdalian risiko dengan mengurangi efek kerugian sekecil mungkin dan dapat diterima untuk perpustakaan merupakan jawaban yang tepat menuju layanan prima berbasis teknologi informasi.

Penutup
Fenomena perkembangan perpustakaan dewasa ini berkembang begitu cepat dan dinamis. Masing-masing perpustakaan berlomba memberikan layanan maksimal kepada pemustaka dan masyarakat luas dengan bentuk layanan prima berbasis teknologi informasi dan komunikasi, bahkan telah merambah kedunia maya yang memberikan layanan realtime kapanpun dan dimanapun.
Tulang punggung perpustakaan adalah aset informasi yang berkolaborasi dengan perangkat teknologi informasi dan jarigan global dengan sistem informasi manajemen perpustakaan sebagai pintu masuk utama memberikan layanan kepada pemustaka. Namun demikian permasalahan aset informasi perpustakaan dengan basis teknologi informasi ternyata masih diabaikan oleh perpustakaan itu sendiri, padahal apabila terjadi kerusakan dalam pengelolaan aset informasi tersebut layanan perpustakaan menjadi terhenti dan tidak berjalan maksimal.
Perpustakaan sudah seharusnya mengantisipasi berbagai macam kendala yang dapat menghambat berjalannya sistem layanan perpustakaan yang biasanya disebut sebagai sebuah risiko atau kejadian yang seharusnya dihindari dalam kegiatan perpustakaan. Manajemen risiko sistem informasi perpustakaan menjadi jawaban memberikan solusi mengantisipasi risiko yang dapat dikaji dengan cara meminimalkan efek negatif dari risiko pada tingkat yang dapat diterima. Manajemen risiko merupakan proses identifikasi risiko, mengkaji risiko, dan membuat tindakan untuk mengurangi risiko pada batasan yang dapat diterima.
Mengetahui dan memahami konsep manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan membantu pustakawan untuk lebih bijaksana dalam mengelola aset informasi yang dimiliki dan dilayankan kepada pemustaka. Ketika implementasi tersebut terlaksana maka layanan prima menjadi tolak ukur keberhasilan layanan perpustakaan kepada pemustaka dan masyakat. Semoga.

Daftar Pustaka

Darmawi, Herman. 2006. Manajemen Risiko. Jakarta: Bumi Aksara.

Idroes, Ferry N. 2008. Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendektan 3 Pilar
Kesepakatan Bassel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Pinontoan, Jimmy H .2010. Manajemen Risiko TI – Konsep-konsep.
              Majalah PC Media.Oktober 2010

_________________ .2010. Manajemen Risiko TI – Penerapan Praktis.
              Majalah PC Media. November 2010

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.



 








Friday 30 March 2012

Perpustakaan Sekolah Masa Depan


Masyarakat telah mengenal perpustakaan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran dan pendidikan. Kedudukan dan fungsi perpustakaan menempati posisi yang strategis dan berperan sebagai fasilitator pembelajaran sepanjang hayat. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan karya rekam secara professional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian informasi dan rekreasi bagi para pemustaka. Implementasi dari perpustakaan tersebut sebagai sebuah institusi layanan publik tentang keinformasian dan pembelajaran adalah terciptanya berbagai jenis perpustakaan yang disesuaikan dengan segmen masyarakat atau pemustaka perpustakaan itu sendiri. Dari tingkat pusat maupun daerah serta lembaga pemerintah dan swasta, terdapat berbagai jenis perpustakaan yang telah dikenal oleh masyarakat luas diantaranya adalah perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan sekolah, perpustakaan khusus, dan perpustakaan masjid atau tempat ibadah lainnya. Namun demikian pemanfaatannya ternyata masih jauh dari harapan. Perpustakaan sekolah misalnya masih dipandang sebelah mata oleh berbagai pihak. Padahal perpustakaan sekolah memiliki posisi yang strategis sebagai mitra proses transfer ilmu pengetahuan antara siswa dan guru disekolah. Seringkali perpustakaan sekolah hanya dijadikan “pemanis pendidikan” dengan slogan “perpustakaan adalah jantungnya pendidikan” tanpa adanya tindakan implementasi hakikat jantung pendidikan yang semestinya.
Berbagai alasan klasik menyertai layanan perpustakaan sekolah menyangkut tidak adanya anggaran dari sekolah untuk perpustakaan, ruang perpustakaan yang hanya dijadikan gudang buku semata, SDM atau pustakawan yang melayani pemustaka tidak memiliki latar belakang ilmu perpustakaan, tumpang tindihnya kewenangan antara guru dan pustakawan dalam proses pengelolaan perpustakaan, bahkan ada siswa sekolah yang ditugaskan sebagai “penjaga” perpustakaan yang melayani siswa berkunjung keperpustakaan sekolah. Keterbatasan sarana prasarana perpustakaan dan koleksi, serta buruknya manajemen pengelolaan perpustakaan sekolah semakin menjauhkan siswa berkunjung keperpustakaan sekolah. Dengan keadaan tersebut tentunya perpustakaan sekolah hanya sebagai pelengkap pendidikan yang tidak memiliki kempuan dalam menjembatani proses transfer ilmu pengetahuan kepada siswa sekolah.
Keaadaan ini menjadi ironi proses pendidikan disekolah yang sejatinya menciptakan generasi penerus yang cerdas, unggul dan berbudaya. Memang kewenangan perpustakaan sekolah bukan sebagai aktor utama dalam menciptakan generasi penerus yang cerdas, kewenangan ini ada ditangan pendidik atau guru yang memiliki kapabilitas dan profesionalitas sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Perpustakaan sekolah hanya sebagai penunjung yang menyediakan berbagai macam sumber rujukan ilmu pengetahuan untuk menambah wawasan intelektual bagi siswa sekolah. Perpustakaan sekolah merupakan mitra guru sekaligus sebagai mitra siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar. Yang perlu dilaksanakan adalah menguatkan peran perpustakaan sekolah dengan merubah paradigma bentuk layanan dan manajemen informasi perpustakaan sekolah sesuai dengan visi dan misi lembaga dan sebagai tempat belajar sepanjang hayat.

Perpustakaan Sekolah Masa Depan
Salah satu ciri utama perpustakaan masa depan adalah terintegrasinya komponen layanan perpustakaan yang meliputi manjemen koleksi, sarana prasarana, SDM, kewenangan, kerja sama, promosi, jasa layanan prima yang bersinergi dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi merupakan keharusan bagi perpustakaan sekolah yang lebih mementingkan pada hakikat layanan prima kepada pemustaka. Amanat UU Perpustakaan No 43 tahun 2007 menjelaskan bahwa koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Sedangkan dari aspek layanan perpustakaan, bahwa setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Layanan perpustakaan dengan basis teknologi informasi dan komunikasi merupakan keniscayaan bagi perpustakaan sekolah yang sejalan dengan perkembagan ilmu pengetahuan yang semakin komplek dan menuntut kreatifitas mencari  rujukan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari sumber informasi global.
Sangatlah jelas UU Perpustakaan mengatur bentuk layanan perpustakaan yang lebih menitikberatkan pada aspek layanan prima, sumber koleksi, pemustaka, pustakawan serta perangkat teknologi informasi dan komunikasi sebagai komponen utama membentuk perpustakaan sekolah masa depan. Perpustakaan sekolah masa depan dapat terlaksana dengan melakukan kegiatan implementasi sebagai kegiatan keseharian diperpustakaan sekolah dengan tahap kegiatan sebagai berikut: pertama, manajemen koleksi perpustakaan harus dianalisa dari mulai tahap pengadaan koleksi yang akan dilayankan kepada pemustaka perpustakaan sekolah. Cara lama pengadaan koleksi yang menggantungkan dari koleksi hibah harus dibenahi oleh pustakawan, guru, kepala sekolah dan komite. Artinya bahwa peran komponen tersebut yang lebih maksimal dalam proses pengadaan koleksi diperpustakaan sekolah. Logika proyek pengadaan koleksi harus ditinggalkan karena menimbulkan kerancuan siapa yang harus bertanggung jawab dalam proses pengadaan koleksi. Kesesuaian tema pokok koleksi pelajaran yang seharusnya diadakan dengan menambah, membandingkan kuota jumlah koleksi berbanding jumlah siswa untuk koleksi pelajaran pokok, pelajaran penunjang, ataukah sebagai koleksi pengayaan seringkali terabaikan apabila logika proyek yang dikedepankan. Bukan berarti perpustakaan antipati terhadap program BOS dan DAK (dana alokasi khusus) untuk perpustakaan, tetapi pihak sekolah yang seharusnya diajak bekerja sama dalam kegiatan tersebut dengan komite sekolah sebagai lembaga pengawas. Langkah berikutnya adalah kegiatan administratif perpustakaan yang dikerjakan oleh pustakawan yang memiliki kompetensi dalam bidang ilmu perpustakaan mulai dari kegiatan inventarisasi koleksi, katalogisasi dan klasifikasi, inputting data ke database perpustakaan, pembuatan kelengkapan koleksi meliputi penempelan label nomor panggil koleksi, penempelan barcode, penempelan slip tanggal kembali, dan penempatan koleksi di rak perpustakaan berdasarkan aturan yang baku dan alfabetis.
Manajamen koleksi perpustakaan sekolah masa depan pun menuntut kreatifitas dari pihak pustakawan untuk melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menambah jumlah koleksi baik dari segi kualitas dan kuantitas koleksi. Perpustakaan sekolah dapat bekerja sama dengan pihak Corporate Social Responsibility perusahaan yang peduli dengan pendidikan.
Kedua adalah sarana prasarana perpustakaan sekolah yang harus disesuaikan dengan kondisi dan keinginan pemustaka. Pemusta perpustakaan sekolah adalah siswa, guru dan karyawan yang selalu menginginkan bentuk layanan maksimal perpustakaan dalam mendapatkan informasi yang aktual. Sarana prasarana harus bersinergi dengan perangkat IT sebagai tulang punggung perpustakaan sekolah. Bukan saatnya lagi perpustakaan sekolah selalu mempermasalahkan sarana prasarana utama yang ada diperpustakaan seperti almari katalog, mebeler untuk tamu, katersediaan kartu katalog dan perkakas “mainstrem” perpustakaan. Bukankan sarana tersebut sudah terwakilkan dengan adanya seperangkat komputer yang lebih familier bagi siswa? Bahkan saat ini telah berkembang perpustakaan dunia maya yang memungkinkan pemustaka menelusur informasi kapanpun dan dimanapun.
Ketiga adalah SDM dan kewenangan pengelolaan perpustakaan sekolah. SDM perpustakaan sekolah adalah pustakawan yang memiliki integritas dan kapabilitas sebagai seorang penyaji informasi. Perpustakaan sekolah masa depan menuntut pustakawan yang berdedikasi pada bidangnya dan memiliki kreatifitas memberikan layanan terbaik kepada pemustaka. Sedangkan kewenangan pustakawan perpustakaan sekolah adalah yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses manajemen pengelolaan perpustakaan. Pustakawan memiliki hak otonom untuk mengatur, mengelola, mengolah koleksi cetak dan elektronik, memberikan layanan maksimal tanpa harus dibebani kegiatan lain yang terkadang ditambah beban kerja oleh pihak sekolah dalam urusan tata usaha administrasi sekolah. Kewenangan guru kelas yang biasanya sebagai penanggung jawab perpustakaan sekolah pun harus dikelola kewenagannya sedemikian rupa. Konsep the right man and the right place menjadi acuan untuk menciptakan bentuk layanan informasi maksimal kepada pemustaka. Posisi guru sebagai penanggung jawab perpustakaan sekolah adalah sebagai fasilitator sekaligus sebagai komunikator pustakawan kepada kepala sekolah atau komite sekolah dalam membuat program kerja untuk layanan maksimal kepada pemustaka.
Keempat kerja sama, promosi dan jasa layanan prima. Perpustakaan sekolah masa depan memerlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak untuk melaksanakannya. Pustakawan yang bertangung jawab dalam pengelolaan perpustakaan harus menjalin kerja sama dengan guru, kepala sekolah, komite sekolah, serta pihak-pihak lain yang peduli dengan perpustakaan sekolah. Kemampuan pustakawan sekolah dalam bernegosiasi, berkomunikasi dan melaksanakan kegiatan promosi jasa layanan perpustakaan menjadi keharusan yang tidak bisa ditinggalkan. Perpustakaan sekolah akan berjalan dengan baik apabila terdapat komunikasi dan kerja sama antar lembaga yang memiliki peran dan kewenangan sesuai dengan bidangya. Dengan demikian apabila antar komponen tersebut terjalin kerja sama yang baik akan meningkatkan performa layanan prima sebagai tolak ukur keberhasilan layanan perpustakaan sekolah.
Kelima adalah sinergi antara perpustakaan sekolah dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Aspek kemudahan layanan informasi perpustakaan menjadi landasan utama dalam penerapan TI untuk perpustakaan. Kegiatan-kegiatan manual yang cenderung menghambat produktifitas dapat diminimalisir dengan bantuan teknologi informasi tersebut. Hebatnya teknologi informasi dan komunikasi ini sangat umum digunakan oleh siapapun termasuk juga untuk pustakawan dan pemustaka. Perpustakaan tinggal mengaplikasikan teknologi tersebut dalam kegiatan keseharian perpustakaan sekolah.
Perpustakaan sekolah masa depan sudah seharusnya menjadi tujuan utama bagi perpustakaan sekolah dari tingkat dasar, menengah dan atas. Tulang punggung perpustakaan sekolah masa depan adalah perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang diaplikasikan untuk kegiatan kerumahtanggaan perpustakaan sekolah. Kecepatan layanan prima, promosi, kerja sama, integritas pustakawan dan kewenangan dalam mengembangkan perpustakaan sekolah sebagai indikator perpustakaan sekolah berperan dalam proses pendidikan sepanjang hayat. Fitrah pustakawan masa depan adalah menjadi penyaji informasi kepada pemustaka dan kepada masyarakat luas. Semoga.

Wednesday 1 February 2012

Kreatifitas, Kesederhanaan dengan SLIMS


Kreatifitas, Kesederhanaan dengan SLIMS
Hukum alam yang terjadi dikehidupan manusia memang berjalan dengan keajegan, namum demikian manusia ternyata dituntut untuk tidak pernah menyerah dan dituntut untuk merubah kemauan menjadi keberhasilan dengan menggunakan “pusaka” berupa kreatifitas dan pembelajaran, trial and error. Tentu proses pembelajaran yang biasa terlihat hasilnya berupa selembar sertifikat keahlian yang didapatkan dari lembaga formal dan lembaga informal, namun demikan manusia yang memiliki akal pikir yang paling sempurna dituntut untuk memberikan perubahan dengan akal pikiran tersebut.
Keadaan tersebut berlaku juga didunia perpustakaan yang memerlukan manusia yang berdedikasi, jujur, kreatif, saleh dan sekaligus sebagai seorang teladan. Ya pustakawan dituntut untuk kreatif ditengah keterbatasan dan kesederhanan, namun dengan masih memiliki dedikasi terhadap pekerjaan yang menurut sebagian masyarakat masih dipandang sebagai profesi yang kesekian. Meskipun perpustakaan memiliki payung hukum dengan adanya UU no 43 tahun 2007, tentang perpustakaan akan tetapi tetap saja tidak menjamin perpustakaan dan profesi pustakawan disegani dikalangan masyarakat luas. Sebagai contoh perpustakaan sekolah akan terasa bermakna apabila ada kegaitan lomba perpustakaan sekolah sebagai syarat mengikuti bermacam kegaiatan yang dilaksanakan oleh dinas pendidikan, selesai lomba maka selesai pula hiruk-pikuk mempersiapkaan layanan perpustakaan yang ideal dengan berbagai macam criteria formalitas yang tidak mencerminkan hakekat dari perpustakaan itu sendiri, perpustakaan perguruan tinggi akan terasa ramai kunjungan mahasiswanya apabila ada deadline harus menyelesaikan tugas akhir mahasiswa,  begitu pentingnya perpustakaan kampus apabila mahasiswa tersebut akan lulus. Mahasiswa beranggapan perpustakaan kampus hanya sebatas museum buku yang koleksinya jadul dan out off date. Mereka biasa menyelesaikan tugas dengan bertanya kepada Prof.Google dan Prof.Yahoo yang lebih fleksibel, kapanpun dan dimanapun, tanpa harus terbatas pada jam layanan dan jumlah koleksi yang terbatas. Toh dengan ketik keyword dan satu enter berjuta informasi tersedia dilayar monitor.
Sama halnya dengan perpustakaan umum, akan bermakna apabila terdapat kegiatan pada saat bulan gemar membaca dan bulan berkunjung keperpustakaan. Ada geliat peningkatan mutu layanan apabila ada sidak dari pejabat yang mau meluangkan waktu berkunjung ke perpustakaan umum, setelah itu yang terdapat adalah kesunyian dan kesepian.
Memang berbagai cara untuk meningkatkan layanan perpustakaan kepada masyarakat mulai digencarkan oleh semua pihak seperti pustakawan, stakeholder, pejabat public dan kalangan artis. Saling bahu-membahu mencipatakan formula untuk meningkatkan citra perpustakaan dan pustakawan sebagai mitra pembelajaran sepanjang hayat. Sebagai contoh dikalangan perpustakaan sekolah misalnya dengan mengadakan acara belajar bersama dengan guru sebagai fasilitator dibantu oleh tenaga perpustakaan memberikan pembelajaran dengan menggunakan koleksi yang ada diperpustakaan baik media buku dan media elektronik, pemberian hadiah kepada siswa yang sering pinjam buku diperpustakaan sekolah pun sebagai senjata ampuh agar perpustakaan lebih bermakna bagi siswa. Dikalangan perpustakaan perguruan tinggi semua civitas akademika diwajibkan sebagai anggota perpustakaan dengan berbagai fasilitas keinformasian untuk proses peningkatan belajar mengajar, penambahan jam layanan, penelusuran dengan menggunakan perangkat teknologi informasi, wifi area, bahkan sarana mobile kapanpun dan dimanapun disediakan oleh perpustakaan kampus, untuk memanjakan pemustaka memanfaatkan layanan perpustakaan.
Perpustakaan umum membuat terobosan dengan menjalin kerjasama dengan berbagai macam penerbit dan perusahaan dalam bentuk pameran buku dan pameran pendidikan, penambahan jam layanan, layanan pesan dan antar koleksi perpustakaan, sarana bermain, kafetaria, layanan perpustakaan keliling dan lain sebagainya dengan tujuan untuk meningkatkan layanan mutu perpustakaan. Jika sudah demikian maka perpustakaan sebagai sarana pembelajaran alternative masyarakat yang murah, kredibel dan ramah.

Kreatif, sederhana dengan SLIMS
                Tidak ada kata sepi bagi layanan perpustakaan, yang ada adalah menghilangkan kesepian dengan kreatif dan dedikatif”, setidaknya kalimat tersebut yang mengilhami perpustakaan sekolah merubah paradigma perpustakaan sebagai bagian dari lembaga pendidikan yakni sekolah dasar. Perpustakaan sekolah dimanapun selalu mendapatkan problem klasik berupa minimnya fasilitas sarana prasarana, koleksi, tenaga, manajemen dan tentunnya dana pengembangan perpustakaan. Perpustakaan akan bermakna kalau saja sekolah tersebut mendapatkan dana hibah dari pemerintah berupa DAK (dana alokasi khusus) dan Bos (bantuan opreasional sekolah) yang dikhususkan untuk kepentingan pengembangan perpustakaan sekolah, itu pun hanya “logika proyek” yang sampai ke perpustakaan. Bisa kita lihat dari hasil proyek tersebut yang tidak sesuai dengan kepentingan perpustakaan, dari kondisi rak yang tidak sesuai standar perpustakaan, penambahan koleksi yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, serta fasilitas TI yang menuntut “ketergantungan” kepada pihak ketiga yang tentunya memberatkan bagi perpustakaan sekolah.
                Namun dengan adanya keterbatasan tersebut memunculkan ide kreatifitas dengan memanfaatkan seperangkat computer untuk memaksimalkan layanan perpustakaan sekolah dasar. 1 unit PC dan printer sebagai lokomotif “meramahkan perpustakaan” dengan basis perpustakaan teknologi informasi, hanya saja keterbatasan sdm rupanya yang cukup menghambat pengembangan perpustakaan sekolah. Mau tidak  mau harus belajar mengasah kemampuan otak kepada orang yang ahli dibidangnya dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Hingga ahirnya menemukan program otomasi perpustakaan yang cocok untuk pengembangan perpustakaan sekolah.
                Sebelum menemukan program aplikasi otomasi perpustakaan sekolah, perpustakaan menggunakan program aplikasi “satu paket” dengan perangkat keras hibah dari dana alokasi khusus, namun yang memberatkan adalah konsultasi pengembangan lebih lanjut yang memerlukan “rupiah” yang tidak sedikit, terlebih program aplikasi tersebut kurang familier dengan petugas perpustakaan sekolah. Akhirnya dengan pemberitahuan dari seorang kawan, berubah mencoba menggunakan aplikasi opensource senayan library automation system (SLIMS). Program aplikasi tersebut diaplikasikan diperpustakaan sekolah dasar tanpa “rupiah”, legal dan sangat mudah. Mulai dari manajemen koleksi, layanan sirkulasi, penelusuran OPAC, statistic dan sarana backup data yang fleksibel, dan yang lebih utama adalah support terhadap computer bekas, terdapat teknologi barcode dan bisa dimanfaatkan oleh beberapa computer melalui jaringan LAN (local area network).
                Pekerjaan pertama membenahi perpustakaan sekolah dasar tersebut adalah mencocokan nomor inventaris dengan mengefikskan secara manual dan secara system computer, karena ini sangatlah penting sebagai laporan pengembangan jumlah koleksi kepada kepala sekolah. Inventaris manual dicacat dibuku inventaris, dan yang elektronik dengan menmasukan data (inputting) data koleksi ke senayan, dengan hasil output berupa, nomor barcode yang langsung ditempel di masing-masing buku sesuai dengan judul dan nomor inventarisnya, sambil menyelam minum air pencetakan label buku dan kartu anggota perpustakaan pun tinggal klik saja.
                Semua koleksi sebagian besar masuk dalam database computer dengan aplikasi senayan, dan kepala sekolahpun rupanya tertarik untuk mengembangkan perpustakaan sekolah tersebut. Rupanya perpustakaan harus membuat proposal pengembangan dengan memanfaatkan teknologi informasi, (wong indomaret saja pake otomasi, kok perpus kalah dengan mereka). Proposal pengembangan dibuat dengan meminta bantuan “kawan” berupa pengadaan 2 komputer, kabel jaringan, HUB 8 port, barcode redaer dan perkakas listrik (bukan dari PLN). Dengan didampingi sikawan itu menghadap kepala sekolah dan kepala sekolah “mengIAKAN” proposal tersebut dengan sedikit perubahan bahan yang sekiranya beli “second” saja, mengingat dana abadi BOS belum turun.
                Alhamdullilah kini perpustakaan tersebut telah tersedia 3 unit personal computer yang saya sulap menjadi  (SERVER+peminjaman, pengembalian, dan opac) dengan menggunakan teknologi jaringan LAN Local dan 1 barcode reader. Yang membanggakan bagi perpustakaan tersebut computer tersebut adalah computer “second” eks warnet yang kondisinya sedang “sakit”, tetapi sekarang sudah diopname dan kembali sehat. Ketiga computer tersebut saling bahu-membahu menyelesaikan pekerjaan rumah perpustakaan yang hampir 70% selesai dengan menggunakan otomasi senayan.
                Sekarang perpustakaan sekolah dasar kami telah sejajar dengan perpustakaan perguruan tinggi dengan menggunakan tekonogi informasi sebagai tulang punggung layanan perpustakaan, investasi pegembangan perpustakaan sekolah dasar hanya berupa perangkat hadware “second” dan menggunakan software legal, bebas, kreatif berupa senayan library otomation system (SLIMS), dengan tetap memberikan dedikasi kepada pengembangan perpustakaan pada umumnya.



Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...