Wednesday 19 December 2012

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN DI TENGAH PUSARAN BUDAYA POSTMODERN


PENDAHULUAN
Era keterbukaan, era komunikasi massa, era masyarakat informasi, era demokratisasi informasi dan era postmodern yang tengah melanda masyarakat sekarang ini terlihat dari berbagai macam fonomena tanda yang hampir pasti merasuki semua aspek kehidupan masyarakat. Fenomena yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan trend penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang punggungnya. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal karena tidak mampu mengikuti pusaran ‘kecepatan’ yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan budaya global dengan tetap mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah mereka kita sebut sebagai masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai masyarakat modern) atau kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek misalnya dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Sesungguhnya kondisi masyarakat kita sekarang ini sudah masuk dalam pusaran pengaruh budaya ‘postmodern’ yang berafiliasi dengan unsur ‘kecepatan’ di hampir semua aspek. Salah satu indikator masyarakat postmodern adalah terbentuknya budaya konsumsi yang ditandai dengan model ‘kecepatan’ sebagai acuannya. Contoh kasus adalah makanan cepat saji, mobile phone, internet dan sarana cyber lainnya yang kesemuanya menjadi spiritualitas baru masyarakat. Komodifikasi tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan trend dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat konsumen. Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan gaya hidup.
Lalu bagaimana dengan kondisi Perpustakaan sekarang ini, apakah keadaannya demikian adanya, terpengaruh oleh budaya postmodern? Secara nyata dapat dilihat dari indikator berapa jumlah pemustaka yang memanfaatkan teknologi web dalam menelusur informasi di portal Perpustakaan perhari, berapa jumlah OPAC untuk mencari literature, berapa jumlah pemustaka yang terlayani oleh sistem informasi perjam dan lain sebagainya, yang kesemua indikator tersebut mencerminkan ‘kecepatan akses dan kecepatan layanan’ sebagai produk informasi perpustakaan sekarang ini. Dengan indikator trend kecepatan, efisiensi, dan efektivitas apakah hal tersebut bukan merupakan representasi budaya konsumsi sebagai hasil penetrasi dari budaya postmodern? Artinya semua kegiatan perpustakaan sekarang ini dari unsur administrasi, teknis dan layanan informasi mencerminkan budaya postmodern yang mengutamakan kecepatan, berjejaring (connectivity) dan penggunaan teknologi informasi sebagai sarana utama “memasarkan” produk informasi perpustakaan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana dengan ‘spirit perpustakaan’ sebagai lembaga ‘sosial’ untuk menyediakan sumber informasi sebagai lembaga yang mengemban amanah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ atau setidak-tidaknya sebagai lembaga sumber belajar sepanjang hayat ditengah pusaran budaya postmodern yang bercitra negatif dan merusak menurut sebagian besar tanggapan masyarakat kita sekarang ini? Bagaimana posisi perpustakaan mempertahankan ‘identitas budaya’ sebagai lembaga pusat informasi dan pembelajaran mandiri? Dan sesungguhnya ‘kecepatan-kecepatan informasi’ tersebut untuk siapa? Setidaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut layak direnungkan bagi perpustakaan, pustakawan dan individu yang memerlukan ‘pencerahan’ dizaman yang serba cepat, canggih, one klik, mobile dan berjejaring.

PEMBAHASAN
            Perpustakaan saat ini dihadapkan pada kondisi yang dilematis, apakah harus bertransformasi dengan kaidah ‘kecepatan’ informasi, atau sekedar sebagai lembaga ‘penyaji’ informasi dengan mempertahankan identitas budaya yang sudah melekat sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tentunya memerlukan ‘perenungan, pembelajaran, diskusi, interpretasi’ tanpa harus mengagung-agungkan ‘kecepatan dan interkoneksi’. Bukankah proses pembelajaran yang hakiki adalah tersedianya ‘teks, konten informasi’ yang memerlukan perenungan dan interpretasi daripada sekedar mengejar ‘up to date, kecepatan, nilai, dan keterhubungan’?. Mengapa konsensus budaya perpustakaan sebagai lembaga sosial ‘pemerata’ ilmu pengetahuan harus bertransformasi kearah ‘kecepatan akses informasi’ dengan teknologi internet yang bersumber dari produksi ‘kapitalis’ informasi yang hanya sekedar memenuhi hasrat kecepatan, tanpa mau menggali arti dari kecepatan itu sendiri. Mengapa seringkali perpustakaan terjebak pada kondisi ‘kuantitas’ pemustaka yang ‘tinggi’ apabila berkunjung ke perpustakaan karena adanya fasilitas yang ‘serba baru’ dengan perangkat wifi, lab computer, OPAC, meeting room, kafe, sofa, book corner tanpa memperhatikan ‘kualitas’ intelektual pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan. Apakah benar pemustaka yang menggunakan sarana wifi, internet, chating disofa benar-benar melaksanakan kegiatan ‘intelektualitas’ dalam arti ada proses dialektika dari yang tidak tahu menjadi kegiatan pencerahan, ataukah hanya sekedar ‘berselancar’ memenuhi kebutuhan hasrat informasi gaya hidup selebritis dari pada kegiatan dialektika pembelajaran.
            Lalu bagaimana dengan perpustakaan yang minim fasilitas ‘kecepatan’, tidak ada sambungan internet, OPAC terbatas, tetapi perpustakaan tersebut ‘memanusiakan’ pemustaka dengan sumber referensi literature yang melimpah, interkoneksi berasal dari pustakawan dengan pemustaka yang saling menghormati, kolaboratif mencapai dialektika pembelajaran tentang ilmu pengetahuan? Artinya bahwa perpustakaan merupakan ruang dialog antara pustakawan dan pemustaka untuk memberikan pencerahan intelektualitas dengan konsensus ‘perpustakaan adalah sumber pembelajaran sepanjang hayat’ dengan memerlukan perenungan, interpretasi, dan interaksi kearah individu yang lebih baik dengan tulang punggung ‘proses’ dialektika bukan unsur ‘kecepatan’ sebagai tujuan utamanya.
            Gambaran-gambaran akan kondisi perpustakaan sekarang ini yang merupakan representasi budaya postmodern yang tengah melanda organisasi public keinformasian perpustakaan. Sebelum lebih lanjut menelaah peran dan posisi perpustakaan ditengah budaya postmodern ada baiknya terlebih dahulu mendeskripsikan budaya postmodern dengan ciri-ciri yang berkembang dimasyarakat luar yang nantinya dapat kita bandingkan dan telaah, baik dan buruknya budaya postmodern tersebut.

POSTMODERN
            Pergulatan tentang arti dan definisi postmodern dari bebarapa ahli sosiologi dan budaya tidak dapat memberikan definisi yang pasti, hanya sebagian tokoh tersebut memberikan indicator ‘wacana tanda’ yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang sedang berlangsung sekarang ini. Tokoh postmodern yang sering sebagai rujukan dalam menganalisa masyarakat postmodern diantaranya adalah Lyotard yang memberikan wacana tanda berupa masyarakat postmodern dilandaskan pada gerakan kearah tatanan post industrial. Lyotard memberikan asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era industry yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari era kegelapan, renaissance dan era revolusi industry. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme (Featherstone). Bahwa produksi industry tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat seperti halnya dalam era industry, tetapi kondisi sekarang ini produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh ‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam penggunaan sarana teknologi computer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial budaya masyarakat diera penggunaan computer dan teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard menakankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai alat pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara ‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
            Sedangkan Sutrisno dan Hendar Putranto memberikan klarifikasi dan sejumlah definisi pokok tentang postmodernisme meliputi:
1.      Definisi postmodernisme, tidak mempunyai sebuah definisi tunggal monolit-ketat yang bisa selalu kita acu dan kita jadikan pegangan. Namum, setidaknya postmodernisme mempunyai dua karakter pokok: pertama, gaya estetis dan artistic yang menolak kode-kode artistic dan estetis dari era modernisme. Kedua, posisi teoritis dan filosofis yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (seperti pascastrukturalisme)
2.      Definisi pascamodernitas, sebuah tahap perkembangan sosial yang dipikirkan sebagai melampaui modernitas. Ide pokok yang mau diangkat disini adalah bahwa telah terjadi perubahan radikal dari ekonomi era industry yang berkutat seputar produksi barang dan jasa menuju ekonomi pascaindustri yang diorganisasikan seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi.
3.      Definisi pascamodernisasi (postmodernization), sejumlah proses perubahan sosial yang mengarah pada transisi dari modernitas menuju pascamodernitas.
4.      Globalisasi, proses dimana dunia tempat kita hidup ini menjadi semakin terhubung satu sama lain, dan dunia di mana batas-batas politis, budaya, ekonomis yang tadinya ada, sekarang menjadi semakin rapuh, mengabur, bahkan dianggap kurang relevan.
Postmodern merupakan alat untuk menganalisa fenomena-fenomena sosial budaya yang tengah terjadi dimasyarakat kita sekarang ini tidak terkecuali perpustakaan dan pusat-pusat informasi lainnya.
      Untuk lebih memberikan pemahaman tentang postmodern, maka ciri-ciri budaya dan masyarakat postmodern dapat dianalisa sebagai berikut;
1.      Pengaruh budaya dan media massa yang menjadi sedemikian kuat dalam hidup sosial daripada era sebelumnya.
2.      Hidup sosial dan ekonomi lebih berkisar pada konsumsi symbol-simbol dan gaya hidup daripada produksi barang yang menjadi ciri khas era industry.
3.      Serangan atau kritik atas ide tentang realitas dan representasinya.
4.      Yang menjadi prinsip pemersatu dari produksi cultural adalah imaji dan ruang, bukan lagi narasi dan sejarah.
5.      Munculah aneka macam parodi, pasthice, ironi, kitsch dan elektrisme pop seperti tampak dalam pementasan wayang kulit, dalam babak ‘goro-goro’ dimana tokoh bima didarat berbicara kepada gatotkaca yang melayang di udara dengan menggunakan mobile phone.
6.      Bentuk-bentuk arsitektur urban menunjukan gejala penonjolan hiburan, ‘leha-leha’, dan gaya hidup seperti paling jelas tampak dalam pusat-pusat perbelanjaan (mall), taman hiburan, dan kompleks hunian seperti real estate, kondominium, dan apartemen.
7.      Hibriditas dipuja, rigiditas distingsi (klasifikasi, batas-batas, seperti batas antar budaya tinggi atau elite dan budaya rendah atau popular) semakin mengabur atau bahkan ditinggalkan.
Ciri-ciri budaya postmodern apabila kita kaitkan dengan perpustakaan, maka memiliki kemiripan dan setidaknya perpustakaan pun telah mengaplikasikan perangkat teknologi informasi untuk memberikan layanan maksimal kepada pemustaka perpustakaan. Tidak mengherankan kemudian perpustakaan berlomba-lomba memberikan aspek kecepatan, keakuratan, ketepatan dalam akses informasi kepada pemustaka, karena sesungguhnya pemustaka tersebut merupakan masyarakat postmodern yang harus dilayanai oleh perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi masyarakat postmodern.

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN
            Dilema perpustakaan ditengah pusaran postmodern merupakan tahapan lembaga perpustakaan untuk bertransformasi menuju lembaga pusat informasi sebagai rujukan masyarakat postmodern, namun kondisi tersebut ternyata menimbulkan pertentangan bagi perpustakaan dan pustakawan dalam menyikapi perubahan tersebut. Dengan latar belakang budaya postmodern yang digambarkan secara ‘ekstrem’ keluar dari kaidah-kaidah dialektika yang selama ini sudah terbagun di perpustakaan, memberikan tantangan tersendiri bagi perpustakaan dan pustakawan itu sendiri. Aspek penggunaan teknologi informasi, konektivitas, literasi informasi, learning common harus secara nyata diaplikasikan oleh perpustakaan untuk menyambut ‘pemustaka postmodern’ dengan berbagai karakteristik budaya yang menyertainya. Perpustakaan dihadapkan pada problem besar bagaimana mengakomodasi semua kebutuhan tersebut dengan memperhatikan semua factor dari segi teknis, SDM, sarana prasarana, relasi komunikasi dan negosiasi yang harus diaplikasikan segera untuk memenuhi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’.
            Apakah memang benar transformasi semua aspek layanan perpustakaan dari sarana prasarana, kemampuan SDM, kebijakan informasi, negosiasi dan interaksi tersebut dapat memberikan pemahaman dan dialektika yang terbagun antara perpustakaan dan pemustaka tersebut dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas, atau hanya semata-mata untuk pemenuhan ‘gaya hidup’ lembaga perpustakaan tanpa adanya pemaknaan yang nyata tentang arti kebutuhan transformasi intelektualitas dan pembelajaran. Selama ini perpustakaan hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan sarana prasarana yang menuntut adanya kecepatan, konektivitas, ketersediaan tanpa memperhatikan kedalaman ‘makna’ intelektualitas itu sendiri, semisal apakah memang benar fasilitas tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pembelajaran dan peningkatan kemampuan kognisi pemustaka. Memang perpustakaan dihadapkan oleh kondisi ‘pemustaka postmodern’ yang memerlukan kebutuhan yang serba ‘terhubung’, leha-leha, diskusi besar, namun perpustakaan dan pemustaka ternyata belum ‘siap’ menghadapi tantangan tersebut.
            Pustakawan masih saja berkutat pada kegiatan ‘mainstrem’ perpustakaan yang dilakukan secara periodic dari tahap satu ketahap lainnya secara urut tanpa mau memandang kebutuhan pemustaka postmodern yang sangat dinamis. Kondisi tersebut mencerminkan pertentangan perpustakaan pada kondisi ambigu, apakah akan mengaplikasikan dan mengakomodasi kebutuhan pemustaka tersebut atau masih mengharapkan dan mempertahankan identitas budaya perpustakaan berupa ‘kesunyian’ dan proses ‘dialektika antara pustakawan dan pemustaka’?
            Ambiguitas perpustakaan tercipta apabila perpustakaan telah menyadari adanya ‘perubahan besar’ yang harus diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi perpustakaan tidak dapat keluar dari ‘mainstrem’ layanan perpustakaan yang bersifat periodic, dan perpustakaan pun tidak mampu menganalisa berbagai indicator pemenuhan kebutuhan pemustaka tersebut benar-benar digunakan secara sewajarnya oleh pemustaka postmodern atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata, artinya ketika perpustakaan dengan berbagai hambatan dan problem besar berusaha memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi kenyataannya akomodasi yang dilaksanakan oleh perpustakaan berupa pemenuhan sarana prasarana, konektifitas informasi, learning common, leha-leha digunakan untuk pemenuhan ‘prestis’ pemustaka semata.
            Pemustaka berkunjung ke perpustakaan hanya sekedar untuk pemenuhan ‘prestis’ tanpa membangun dialektika pengetahuan antara ‘teks informasi’ dan pustakawan, tetapi hanya berselancar menggunakan perangkat teknologi informasi untuk ‘relasi’ media sosial dan kebutuhan berleha-leha, sebaliknya pun pustakawan ‘termanjakan’ dengan sarana prasarana ‘berjejaring’ namun hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan hiburan semata, tanpa mau memberikan pencerahan kepada pemustaka dengan relasi konektifitas untuk menelusur sumber-sumber literature informasi intelektual untuk proses pembelajaran.
Dengan asumsi seperti ini maka ambiguitas perpustakaan sesungguhnya tengah melanda perpustakaan, pustakawan dan pemustaka itu sendiri. Perpustakaan menyediakan sarana prasarana dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka, tetapi pemustaka hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata tanpa mau menggali ‘makna’ sesunguhnya, sedangkan pustakawan sebagai mediator dialektika antara sumber informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas pemustaka, termanjakan tidak mau menganalisa apakah segala fasilitas dan sarana prasarana kebutuhan informasi tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan informasi intelektualitas pemustaka perpustakaan atau hanya sekedar untuk ‘prestis dan gaya hidup’.
Setidaknya perpustakaan dan pustakawan menyadari, bahwa era sekarang telah berkembang kearah budaya postmodern yang merubah paradigma yang telah ‘mapan’ dalam waktu yang lama, yang perlu diaplikasikan adalah perpustakaan harus bertransformasi dari ‘book centric’ ke ‘user centric’. Transformasi itu pun tidak semata-mata hanya untuk pemenuhan kebutuhan pemustaka semata, pustakawan berhak dan berkewajiban menganalisa apakah segala fasilitas dan kecepatan tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan intelektulitas atau hanya untuk ‘gaya hidup semata.
Budaya postmodern tidak semata-mata mencerminkan budaya yang ‘arogan’ dan ‘negatif’, namun budaya tersebut mencerminkan fenomena yang sedang terjadi saat ini. Penggunaan dan implementasi perubahan budaya tersebut harus digunakan sesuai dengan karakter budaya asli dan harus mencerminkan ‘identitas budaya’ local yang selama ini telah tertanam dan diaplikasikan.

KESIMPULAN
            Fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi sekarang ini memberikan pemahaman dan menambah khasanah pengetahuan bagi masyarakat itu sendiri dan bagi perpustakaan sebagai lembaga informasi yang hadir sebagai sarana pengumpul, pelestari dan pusat informasi. Perubahan sosial masyarakat yang sedang menggejala dewasa ini adalah perubahan sosial dari arah ‘modern’ kearah ‘postmodern’. Berbagai perdebatan tersebut menyertai dinamika perubahan masyarakat. Terminology modern itu sendiri pun mengacu pada kondisi revolusi industry yang menciptakan relasi produksi dan konsumsi masyarakat untuk proses pembangunan, sedangkan postmodern mencerminkan kondisi ‘pasca’ modern dengan indicator fenomena budaya kecepatan, konektifitas, teknologi informasi, masyarakat konsumsi, penetrasi media massa dan iklan, dan simulasi tanpa yang menggantikan makna sesungguhnya.
            Penetrasi dan pengaruh budaya postmodern pun melanda perpustakaan sebagai organisasi penyedia dan penyaji informasi. Bagi penganut budaya postmodern, informasi merupakan komoditas yang berharga dan semua tulang punggung kehidupan masyarakat sekarang tergantung pada keabsahan dari informasi. Ditengah-tengah pergulatan tersebut perpustakaan mengalami dilema sebagai lembaga dengan ‘misi sosial’ tentang informasi atau harus larut dalam pusaran budaya postmodern dengan informasi sebagai komoditasnya.
            Perpustakaan sudah selayaknya bertansformasi dengan mengakomodasi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’ dengan tetap mempertahankan ‘identitas budaya’ perpusakaan yang selama ini sudah terbangun. Asas kecepatan informasi bagi perpustakaan merupakan spirit yang harus dipertahankan untuk meningkatkan ‘nilai informasi’ perpustakaan ditengah budaya postmodern, perpustakaan berkewajiban dan berhak menganalisa kebutuhan pemustaka postmodern sesuai dengan kebutuhan informasi dan sesuai dengan proses dialektika intelektualitas pembelajaran. Konsensus perpustakaan adalah sebagai lembaga informasi intelektualitas yang mementingkan dialektika antara pustakawan dan pemustaka.







Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna; Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ritzer, George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Wednesday 8 August 2012

Pembajakan simbol-simbol perpustakaan


Geliat pengembangan perpustakaan akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan positif yang layak diapresiasi. Berbagai jenis perpustakaan berkembang dan bertransformasi memberikan layanan terbaik kepada pemustaka yang diposisikan sebagai pihak yang wajib dilayani dengan segera dan maksimal. Jasa layanan prima tidak saja sebagai slogan semata, tetapi telah diaplikasikan oleh semua perpustakaan yang berkembang dimasyarakat. Apresiasi positif ini tentunya menjadi lokomotif perubahan masyarakat yang menginginkan informasi dikelola, diberdayakan dan digunakan untuk menunjang kecerdasan dan peningkatan intelektualitas masyarakat secara umum. Jika sudah demikian maka masyarakat informasi akan segera terwujud dengan segala aktivitas masyarakat yang menggantungkan akan nilai dan keabsahan informasi sebagai tulang punggungnya.
Bagi perpustakaan sendiri dengan UU no 43 tahun 2007 tentang perpustakaan, sebagai landasan hukum tetang pengelolaan perpustakaan, menjadi sumber referensi utama bagaimana perpustakaan sebagai pusat informasi public memberikan aturan-aturan baku tentang pengelolaan perpustakaan. Tentu UU tersebut masih memerlukan “pendamping” berupa peraturan-paraturan implementasi untuk melaksanakaannya, namun demikian setidaknya perpustakaan memiliki payung hukum tentang perpustakaan secara umum dalam proses pengelolaannya. Sosialisasi Undang-undang perpustakaan pun serempak dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat pemerhati perpustakaan, perguruan tinggi sampai kalangan komunitas pencinta perpustakaan.
Namun demikian ketika masyarakat mulai bertransformasi kearah perubahan yang lebih baik dan apresiasi tentang perpustakaan begitu menggema diberbagai kalangan, muncul berbagai dilema perkembangan perpustakaan itu sendiri. Ruang lingkup perpustakaan ternyata semakin luas tidak sebatas pada aspek pengelolaan, pelayanan prima, teknologi informasi, psikologi pengguna dan manajemen koleksi perpustakaan, namun menjadi sangat luas mencakup factor politis pemerintahan, ekonomi dan social budaya masyarakat.  Luasnya aspek perpustakaan tersebut sejatinya bermuara pada ‘policy’ tentang perpustakaan itu sendiri yang ternyata bermakna ganda sebagai sarana peningkatan kualitas SDM atau malah sebaliknya sebagai sarana ‘mengolok-olok’ perpustakaan itu sendiri. Tanggapan ‘minor’ tentang perpustakaan pun semakin buruk dikalangan masyarakat. Organisasi informasi public menjadi tercemar oleh tumpang tindihnya policy tentang pengelolaan perpustakaan.
Contoh kasus yang menjadi perhatian masyarakat adalah buruknya konsep manajemen koleksi pustaka untuk perpustakaan-perpustakaan sekolah baik tingkat dasar, menengah dan tingkat atas. Masyarakat pun paham akan ketidakberesan policy tersebut. Apabila meruntut waktu terdahulu, dengan berbagai kasus ‘korupsi’ buku ajar yang dilaksanakan oleh kepada daerah untuk program pengadaan buku-buku ajar disekolah, sejatinya kasus sekarang pun masih memiliki korelasi dengan latar belakang ‘logika proyek’ sebagai landasan hukum untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Memang ranah hukum begitu sigap mengantisipasi penyelewengan program tersebut dengan menjebloskan kepala daerah ke rumah pemasyarakatan, namun yang menjadi persoalan mengapa program-program yang mengatasnamakan perpustakaan selalu ‘melenceng’ dari aturan hukum yang berlaku. Seperti halnya dengan penarikan buku-buku pengayaan disekolah-sekolah yang terindikasi unsur pornografi yang merusak adab ketimuran. Perpustakaan sekolah menjadi sorotan ketidakberesan proses buruknya pengadaan koleksi yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Perpustakaan dituduh tidak bisa menganalisa kebutuhan koleksi yang digunakan oleh siswa sekolah. Padahal yang melaksanakan proses pengadaan adalah bukan perpustakaan tetapi “logika proyek” pengadaan buku masih menjadi acuan utama untuk meningkatkan mutu layanan perpustakaan melalui penambahan koleksi di perpustakaan sekolah dibeberapa pemerintahan daerah.
Seringkali perpustakaan diperdaya dengan berbagai macam program pembinaan, peningkatan mutu layanan dan pemberian sarana prasarana gratis yang ternyata tidak sesuai dengan standar perpustakaan itu sendiri. Program tersebut sejatinya untuk perpustakaan, namun proses pengisian usulan, pengadaan, pelelangan dan pendistribuasian ternyata tidak melibatkan perpustakaan. Perpustakaan sebagai pihak penerima “proyek” yang hanya dijadikan obyek dengan dalih meningkatkan mutu kualitas dan jasa layanan perpustakaan tanpa memperhatikan kebutuhan riil untuk perpustakaan yang sebenarnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses pelelangan proyek pengadaan buku perpustakaan sekolah misalnya, hanya melibatkan 1 penerbit pemenang tender dengan berbagai macam ‘trik’ untuk memenangkan kegiatan tersebut. Akibatnya tentunya menurunkan mutu materi buku apa yang seharusnya digunakan untuk layanan perpustakaan. Belum lagi daftar usulan yang dibuat ternyata bukan pustakawan yang mengusulkan pengadaan buku, hanya pejabat dinas yang diserahi merangkum buku-buku yang akan diadakan. Jika sudah demikian masyarakat pun mengamini kasus-kasus proses pengadaan buku perpustakaan yang tidak semestinya karena alur pengadaan yang tidak terencana dan tidak dikelola dengan semestinya.
Kambing hitam kegiatan pengelolaan perpustakaan sekolah dengan berbagai problem permasalahan yang kompleks, sejatinya bukan tanggung jawab pihak pustakawan semata, namun bertumpu pada kebijakan dan proses kegiatan yang tidak berjalan dengan semestinya. Setidaknya harus ada iktikad yang baik dari pengambil kebijakan, bahwa upaya peningkatan mutu layanan perpustakaan dengan dalih meningkatkan mutu SDM masyarakat harus menjadi acuan yang utama. Kemudian kegiatan tersebut serahkan pada bidang keahlian dan kemampuannya dalam hal ini adalah pihak pustakawan yang tentunya memiliki integritas yang mumpuni. Pustakawan membuat daftar usulan koleksi yang akan diadakan dengan memperhatikan kurikulum, kebutuhan siswa, literature penunjang dengan berkoordinasi dengan pihak guru sebagai mitra tentang koleksi yang layak diadakan. Kepala sekolah dan komite melakukan supervisi tentang koleksi yang sekiranya layak dan baik untuk menunjang proses belajar mengajar, sedangkan dinas terkait berfungsi sebagai pengawas kegiatan tersebut telah berjalan dengan baik dan benar.
Dengan mengacu pada kegiatan tersebut tentunya apa yang dicita-citakan dalam upaya peningkatan mutu dan sarana mencerdaskan kehidupan masyarakat akan terlaksana, bukan lagi “logika proyek” yang menggantungkan pada “untung rugi” dari setiap kegiatan tanpa memperhatikan kandungan nilai informasi dari buku diperpustakaan sekolah. Perpusatakaan tidak lagi menjadi symbol yang disalahkan dengan melayani pemustaka dengan koleksi buku yang tidak semestinya. Sudah saatnya perpustakaan sebagai lembaga yang mengedepankan intergritas moral dan kapabilitas ilmu untuk kemajuan masyarakat dalam bidang informasi public. Semoga.

Tuesday 24 July 2012

MANAJEMEN RISIKO SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PERPUSTAKAAN



MANAJEMEN RISIKO
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PERPUSTAKAAN

Naskah partisipasi untuk majalah Visi Pustaka

Pendahuluan
Masih ingat dengan tragedi tugu tani beberapa waktu yang lalu? Kenapa peristiwa naas tersebut dapat terjadi? Adakah faktor alam dan faktor human error yang menyebabkannya? Lalu apa pula kaitannya dengan ilmu perpustakaan pada umumnya? Antara kecelakaan dan ilmu perpustakaan, mungkinkah ada korelasi antara layanan kepada pemustaka dengan kecelakaan di tugu tani yang disebabkan ulah afriyani yang mengemudikan kendaraan dibawah pengaruh obat-obat terlarang?
Menjadi hal yang jamak apabila pertanyaan tersebut terlintas dibenak kita, karena sejatinya antara kecelakaan ditugu tani dan ilmu perpustakaan memang tidak ada korelasi hubungan ilmu satu sama lain, yang menjadi persoalan adalah korelasi kecelakaan tersebut dengan konsep manajemen risiko yang berkaitan dengan sistem informasi manajemen perpustakaan dan teknologi informasi pada umumnya. Bahwa kecelakaan merupakan risiko dari tindakan mengemudikan kendaraan dibawah pengaruh obat-obat terlarang yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa pejalan kaki yang tidak berdosa. Sedangkan risiko untuk perpustakaan dengan tulang punggung sistem informasi manajemen perpustakaan adalah terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka, bahkan yang lebih fatal adalah terhentinya sistem kerumahtanggan perpustakaan mulai dari kegiatan akuisisi, pengolahan, pelayanan dan penelusuran informasi. Jika sudah demikian berapakah jumlah pemustaka yang dikecewakan oleh layanan perpustakaan karena terhentinya sistem layanan informasi yang berbasis pada sistem informasi manajemen perpustakaan?
Menjadi penting penerapan konsep manajemen risiko dalam sistem informasi manajemen perpustakaan untuk mengantisipasi berbagai macam sumber ancaman risiko yang menghambat pelayanan informasi di perpustakaan. Dalam konsep layanan perpustakaan misalnya apabila terjadi pemutusan arus listrik mendadak pada saat layanan perpustakaan, maka dapat dipastikan layanan kepada pemustaka akan terhenti. Risikonya adalah berupa sumber ancaman (threat) berupa terputusnya aliran listrik, sedangkan akibatnya (consequences) adalah berhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka. Namun demikian perpustakaan dengan basis teknologi informasi tentunya paham akan risiko tersebut. Dalam contoh sederhana seringkali perpustakaan telah melaksanakan kegiatan pengelolaan resiko tanpa disadari yakni, melakukan backup data yang ada dikomputer, serta menyimpan setiap dokumen pada aplikasi pengolahan dokumen. Singkat kata apapun yang dilakukan untuk menghindari atau meminimalkan efek kerugian, kerusakan pada pekerjaan ataupun harta benda, dapat secara sederhana dikategorikan sebagai usaha untuk mengelola risiko.
            Mungkinkah perpustakaan membuat keputusan menghindari risiko? Alasanya karena perpustakaan sebagai organisasi telah berjalan dengan aman dan nyaman, maka perpustakaan takut menanggung risiko. Tentunya memerlukan jawaban yang tidak sederhana. Namum demikian pada hakikatnya semua aspek kehidupan mengandung risiko. Kemanapun kita menghindari risiko atau lari dari risiko, maka disitupun akan menemukan risiko yang lainnya. Risiko merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahkan sebagian orang mengatakan tidak ada hidup tanpa risiko, sebagaimana tidak ada hidup tanpa maut. Jadi setiap hari kita mengadapi risiko, baik sebagai perorangan, maupun sebagai organisasi. Orang berusaha melindungi diri terhadap risiko, demikian pula organisasi melindungi kegiatannya dari risiko. Utamanya bagi perpustakaan sebagai sebuah organisasi publik yang berbasis layanan informasi kepada masyarakat. Yang perlu diperhatikan adalah menerapkan konsep ilmu manajemen untuk mengelola risiko agar dapat meminimalisasi kerugian-kerugian dalam melaksanakan kegiatan informasi perpustakaan yang berlandaskan sistem informasi manajemen perpustakaan dan teknlogi informasi pada umumnya.

Definisi risiko
Definisi risiko menurut Pinontoan (2010: 100) adalah akibat negatif dari sebuah kejadian atau suatu keputusan yang diambil dalam kehidupan sehari-hari. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa aspek kehidupan manusia sejatinya menimbulkan risiko bagi siapapun, tergantung bagaimana resiko tersebut diminimalisasi akibatnya. Seperti halnya dengan keputusan yang kita ambil sebenarnya adalah risiko yang harus kita tanggung. Darmawi (2006: 1) mendefinisikan resiko sebagai kemungkinan akan terjadinya akibat buruk atau akibat yang merugikan, seperti kemungkinan kehilangan, cidera, kebakaran dan sebagainya. Dalam risiko tidak ada metode apapun yang bisa menjamin seratus persen bahwa akibat buruk itu setiap saat dapat dihindarkan, kecuali kalau kegiatan yang mengandung unsur risiko tidak dilakukan. Contoh sederhana menumpang kendaraan, memang ada risikonya, antara lain risiko kecelakaan yang bisa berakibat pada kematian ataupun kerugian material. Dengan menghindari bepergian menggunakan mobil misalnya, apakah merupakan jawaban yang tepat dizaman modern yang memerlukan produktifitas dan kecepatan waktu sebagai tulang punggungnya. Dalam kehidupan sekarang tidak satupun sebuah keputusan atau kejadian yang tidak memiliki risiko, termasuk juga dalam perpustakaan pada umumnya.
Sedangkan menurut Idroes (2008) menjelaskan risiko merupakan bahaya, risiko adalah ancaman atau kemungkinan suatu tindakan yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai. Risiko juga merupakan peluang, risiko adalah sisi yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan. Berdasarkan definisi tersebut menjelaskan risiko merupakan salah satu aspek organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin dilaksanakan, dengan adanya risiko maka tujuan dari organisasi mendapatkan ancaman yang mengganggu kelancaran tujuan organisasi yang ingin dicapai. Namun demikian risiko juga merupakan peluang bagi organisasi untuk mencapai tujuannya dengan cara menerapkan konsep manajemen risiko yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Meminimalisasi risiko dalam setiap aktifitas organisasi pada hakikatnya adalah proses penerapan manajemen risiko secara umum.

Karakteristik risiko
Dari penjelasan dan contoh-contoh diatas, risiko dapat dikarakterisasikan dalam dua hal yaitu:
1.      Threat (ancaman), contoh: kemungkinan terputusnya aliran listrik dari PLN bagi layanan perpustakaan,
2.      Concequences (konsekuensi), contoh: akibat dari putusnya aliran listrik PLN keperpustakaan menimbulkan kerusakan pada database center, hardisk rusak ataupun kehilangan data perpustakaan.

Kedua hal tersebut, ancaman dan konsekuensi adalah dua hal yang penting untuk membangun keseluruhan konsep risiko dan menjadi hal yang penting dalam pemahaman serta implementasi konsep manajemen risiko sistem informasi perpustakaan dan teknologi informasi. Sebagai contoh sumber ancaman (threat) bagi layanan perpustakaan adalah terputusnya aliran listrik dari PLN, maka konsekuensinya atau akibat dari putusnya aliran listrik adalah kerusakan database perpustakaan, maupun terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka.
Lebih lanjut Pinontoan mengemukakan setelah mengidentifikasi karakteristik dari risiko, cara lain adalah menggunakan matematika deskriptif dengan mengidentifiaksi ancaman yang dapat dijabarkan menjadi beberapa komponen penting dalam bentuk informasi maupun data sebagai berikut:
1.      Likelihood, kemungkinan terjadinya dari ancaman,
2.      Threat event, kejadian dari ancaman,
3.      Threat source, sumber ancaman,
4.      Threat category, kategori ancaman,
Dalam konsep matematika deskriptif untuk menggambarkan karakterisik risiko, maka ilustrasi kecelakaan ditugu tani dapat dijadikan pembelajaran untuk mengetahui komponen-komponen apa saja yang masuk dalam kategori karakteristik risiko. Kecelakaan tugu tani mewakili kejadian dari ancaman dimana pengemudi yang mabuk sebagai sumber ancaman. Kemungkinan terjadinya ancaman dinyatakan dalam nilai kemungkinan seseorang pengemudi yang mabuk akan menyebabkan sebuah kecelakaan. Nilai kemungkinan tersebut diasumsikan 60%, yang berarti bahwa akan ada 6 kecelakaan dari 10 kejadian seseorang yang mabuk mengemudikan kendaraan. Perlu untuk dijadikan catatan, bahwa nilai kemungkinan tersebut harus didefinisikan berdasarkan data serta informasi yang benar. Nilai 60% seharusnya didapat dari informasi statistik kecelakaan yang berasal dari sumber yang memiliki kompetensi, dalam hal ini adalah pikak kepolisian lalu lintas dan pihak terkait lainnya. Validitas dari nilai tersebut akan sangat berpengaruh nantinya dalam perhitungan nilai-nilai risiko nantinya.
            Dari ilustrasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kemungkinan terjadinya ancaman dari risiko pengemudi yang sedang mabuk adalah 60 % terjadi kecelakaan. Sedangkan kejadian ancaman yakni kecelakaan berkendara mobil. Sumber ancaman berupa pengemudi yang sedang mabuk, kategori ancaman berupa kerusakan kendaraan, luka-luka, bahkan menyebabkan hilangnya nyawa pejalan kaki disekitarnya, dalam hal ini disekitar halte tugu tani.
            Untuk kasus perpustakaan dapat diasumsikan dari kasus terputusnya aliran listrik PLN didaerah tertentu. Misalkan daerah tersebut memiliki tingkat pemadaman listrik 60% dalam satu bulan, maka kemungkinan terjadinya sumber ancaman dari lampu padam PLN adalah sangat tinggi, hampir 16 hari dalam 30 hari mengalami lampu padam dari PLN. Kejadian dari ancaman tersebut adalah intensitas lampu padam dari PLN yang sangat tinggi yakni 16 hari dalam kurun waktu 30 hari. Sedangkan konsekuensi dari lampu padam tersebut adalah terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka, bahkan menimbulkan kerusakan database perpustakaan dalam naungan sistem informasi manajemen perpustakaan.




Sumber ancaman
            Sumber ancaman dari risiko dapat dikategorikan dalam 3 kategori yakni alamiah, teknis dan manusia.
Alamiah
Teknis
Manusia
Epidemik
Kegagalan software
Serangan bom
Banjir
Kegagalan hardware
Hacker
Angin puting beliung
Aliran putus listrik
Huru-hara
Gempa
Cacat software
Pencurian
Letusan gunung berapi

Akses tak berotorisasi


Serangan virus


Sabotase
Table 1. kategori sumber ancaman
            Dari ilustrasi yang telah disampaikan, pengemudi yang mabuk oleh pengaruh obat terlarang merupakan kategori ancaman manusia, sedangkan terputusnya aliran listrik dari PLN adalah sumber ancaman teknis, sedangkan sumber ancaman yang bersumber dari faktor bencana alam dapat dikategorikan sebagai sumber ancaman alamiah. Proses identifikasi sumber ancaman wajib dilaksanakan oleh perpustakaan yang berbasis teknologi informasi dengan sistem informasi manajemen perpustakaan sebagai tulang punggung layanan kepada pemustaka. Dengan memperhatikan sumber ancaman yang mengganggu kelancaran sistem informasi maka risiko kelangsungan berjalannya sistem informasi perpustakaan menjadi teridentifikasi dan dapat dilakukan solusi pemecahan sumber risiko yang dapat menghambat layanan perpustakaan.

Kerangka Kerja Manajemen Risiko Sistem Informasi  Manajemen Perpustakaan
Secara umum penerapan manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan dapat dilaksanakan dalam 7 fase kegiatan utama, yaitu:
1.      Fase I : kajian risiko.
Dalam fase kajian resiko perpustakaan harus melakukan kegiatan kajian risiko dengan melalukan kegiatan antara lain:
a.      Mengidentifikasi semua ancaman yang mungkin dapat terjadi yang mengganggu kelancaran sistem informasi manajemen perpustakaan dan data center perpustakaan. Sumber ancaman dari factor alamiah, teknis dan manusia sebisa mungkin diidentifikasi secara maksimal dan periodik berdasarkan rentang waktu yang telah ditentukan.
b.      Mengidentifikasi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi akibat dari ancaman tersebut. Misalnya banjir yang menyebabkan terendamnya data center, atau putusnya aliran listrik akibat gardu listrik yang terendam banjir.
c.       Mengidentifikasi konsekuensi dari kejadian-kejadian tersebut bagi perpustakaan. Misalkan terputusnya aliran listrik akan mengakibatkan semua layanan sistem informasi perpustakaan menjadi terhenti dan terganggu. Perpustakaan tidak melayani pemustaka yang mencari informasi. Kerusakan hardware dan software pun dapat menimbulkan konsekuensi terhentinya layanan informasi perpustakaan kepada pemustaka.
d.      Menghitung besaran biaya yang ditimbulkan dari sumber ancaman. Seberapa besar dampak finansial yang timbul akibat terganggunya layanan.
e.      Meneliti dan menghitung nilai kemungkinan terjadinya sebuah ancaman berdasarkan data-data historis maupun perhitungan lainnya.
f.        Menentukan nilai risiko melalui kalkulasi nilai-nilai sebelumnya yang telah dihitung.
2.      Fase II: kajian opsi pengendalian risiko.
Pada fase ini perpustakaan mengkaji risiko dengan cara mengidentifikasi opsi atau pilihan apa saja yang dapat digunakan dan diimplementasikan untuk mengendalikan risiko. Kegiatan tersebuat antara lain
a.      Risk acceptance, menerima risiko tanpa melakukan tindakan apapun.
b.      Risk avoidance, menghindari sepenuhnya sebuah risiko.
c.       Risk reduction, mengurangi efek negatif dari ancaman hingga pada tingkat yang dapat diterima organisasi, khususnya perpustakaan.
d.      Risk transfer, memindahkan efek negatif dari ancaman kepada pihak lain, seperti yang terjadi pada sebuah perusahaan dengan cara mengasuransikan semua aset perusahaan pada asuransi.
3.      Fase III: kajian efektivitas dan biaya pengendalian risiko.
Pada tahap ini perpustakaan mengkaji efektifitas dan biaya pengendalian risiko yang harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat keberhasilan mengendalikan risiko dengan memperhatikan juga faktor biayanya. Terdapat tiga kegiatan pada fase ini: pertama adalah mengidentifikasi semua biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan realisasi keempat opsi pengendalian risiko, kedua menguji efektivitas setiap opsi dalam hal mengurangi nilai risiko yang telah diidentifikasi, ketiga adalah menghitung nilai total biaya pengurangan kajian risiko yang paling sedikit memerlukan biaya.
4.      Fase IV: pelaporan hasil kajian risiko.
Pada fase ini perpustakaan membuat laporan hasil identifikasi kajian risiko dengan mengkaji berbagai macam sumber ancaman dan konsekunsi yang menghambat kelancaran sistem informasi manajemen perpustakaan. Kagiatan pelaporan kajian risiko tersebut memberikan gambaran jumlah biaya minimal dan maksimal yang digunakan untuk mengantisipasi risiko untuk layanan perpustakaan.
 5.      Fase V: pemilihan opsi pengendalian risiko.
Fase kelima dari manajemen risiko tersebut adalah memilih opsi pengendalian risiko yang paling baik diterapkan diperpustakaan dengan memperhatikan komponen-komponen yang diperlukan oleh perpustakaan. Pemilihan opsi ini harus disesuaikan dengan kondisi perpustakaan secara global dan faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pengendalian risiko.
6.      Fase VI: implementasi pengendalian risiko.
Pada kegiatan ini perpustakaan hanya menjalankan program kegiatan pengendalian risiko yang telah disepakati, dikomunikasikan dengan pengambil kebijakan dengan terlebih dahulu melaksanakan kelima fase kegiatan pengendalian risiko sistem informasi manajemen perpustakaan tersebut diatas.
7.      Fase VII: Pengawasan dan pengendalian risiko.
Kegiatan pengawasan dan pengendalian keseluruhan risiko harus menjadi standart operating procedure bagi perpustakaan dengan basis teknologi informasi. Pengawasan tersebut dilaksanakan oleh pustakawan yang berkedudukan sebagai administrator sistem informasi perpustakaan. Fase pengawasan dan pengendalian risiko merupakan tahap akhir dalam mengkaji konsep manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan. Kegiatan lain yang perlu dilaksanakan pada fase ini adalah memberikan laporan secara periodik kapada pengambil kebijakan untuk memberikan gambaran perkembangan dan kelangsungan sistem informasi manajemen perpustakaan secara menyeluruh.

Kajian Risiko Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan
            Bagi perpustakaan sekarang ini untuk mengkaji manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan yang harus dilakukan adalah melaksanakan fase kajian risiko untuk opsi pengendalian risiko dengan mengimplementasikan kategori risk reduction, artinya perpustakaan hanya mengkaji kegiatan dengan cara mengurangi efek negarif dari ancaman pada tingkat yang dapat diterima oleh perpustakaan. Sebagai contoh perpustakaan mengimplemenasikan kegiatan tersebut dengan mengantisipasi sumber ancaman sebagai berikut:
1.      Alamiah, mengantisipasi sumber ancaman dari faktor alam dengan melaksanakan prosedur kegiatan integrasi datacenter yang terintegrasi dengan memperhatikan faktor lingkungan, seperti jauh dari banjir, angin puting beliung, petir, kedap suara dan udara, anti bocor dan anti kebakaran serta pendingin udara yang konstan dalam satu ruangan.
2.      Teknis, dengan melaksanakan kegiatan uji coba software dan update software, menyediakan mesin genzet dan UPS untuk antisipasi lampu padam, kegiatan backup data menggunakan media sekunder  berupa DVD, server khusus backup dan hardisk eksternal secara periodik.
3.      Manusia, kegiatan yang dilaksanakan adalah upgrade kemampuan pustakawan baik operator dan administrator untuk sadar merawat hardware dan software, utamanya untuk sistem informasi manajemen perpustakaan. Otorisasi hak akses untuk masing-masing bidang disistem informasi. Update antivirus secara periodik dimasing-masing komputer client. Pengawasan dan perbaikan network peripheral secara berkala.
Keseluruhan kegiatan tersebut yang harus dilaksanakan oleh perpustakaan untuk menjamin berjalannya sistem informasi manajemen perpustakaan. Sedangkan untuk kegiatan manajemen risiko dalam hal kegiatan pengendalian risiko ketiga opsi pengendalian tersebut sulit dilaksanakan oleh perpustakaan pada umunya. Asumsinya jika perpustakaan menerima begitu saja risiko tanpa melakukan kegiatan apapun, berarti tidak ada mekanisme pemecahan masalah bagi perpustakaan. Menghindari risiko sepenuhnya juga bukan merupakan alasan bijak bagi perpustakaan sebagai organisasi yang berkembang dinamis yang pasti menghadapi permasalahan mengkaji risiko. Sedangkan untuk memindahkan efek negarif dari ancaman kepada pihak lain seperti ke perusahaan asuransi memang masih dapat dilaksanakan, tetapi memerlukan investasi biaya yang tidak sedikit meskipun dapat dilaksanakan oleh perpustakaan yang memiliki dana besar, namun bagi perpustakaan sekarang ini opsi pengemdalian risiko dengan mengurangi efek kerugian sekecil mungkin dan dapat diterima untuk perpustakaan merupakan jawaban yang tepat menuju layanan prima berbasis teknologi informasi.

Penutup
Fenomena perkembangan perpustakaan dewasa ini berkembang begitu cepat dan dinamis. Masing-masing perpustakaan berlomba memberikan layanan maksimal kepada pemustaka dan masyarakat luas dengan bentuk layanan prima berbasis teknologi informasi dan komunikasi, bahkan telah merambah kedunia maya yang memberikan layanan realtime kapanpun dan dimanapun.
Tulang punggung perpustakaan adalah aset informasi yang berkolaborasi dengan perangkat teknologi informasi dan jarigan global dengan sistem informasi manajemen perpustakaan sebagai pintu masuk utama memberikan layanan kepada pemustaka. Namun demikian permasalahan aset informasi perpustakaan dengan basis teknologi informasi ternyata masih diabaikan oleh perpustakaan itu sendiri, padahal apabila terjadi kerusakan dalam pengelolaan aset informasi tersebut layanan perpustakaan menjadi terhenti dan tidak berjalan maksimal.
Perpustakaan sudah seharusnya mengantisipasi berbagai macam kendala yang dapat menghambat berjalannya sistem layanan perpustakaan yang biasanya disebut sebagai sebuah risiko atau kejadian yang seharusnya dihindari dalam kegiatan perpustakaan. Manajemen risiko sistem informasi perpustakaan menjadi jawaban memberikan solusi mengantisipasi risiko yang dapat dikaji dengan cara meminimalkan efek negatif dari risiko pada tingkat yang dapat diterima. Manajemen risiko merupakan proses identifikasi risiko, mengkaji risiko, dan membuat tindakan untuk mengurangi risiko pada batasan yang dapat diterima.
Mengetahui dan memahami konsep manajemen risiko sistem informasi manajemen perpustakaan membantu pustakawan untuk lebih bijaksana dalam mengelola aset informasi yang dimiliki dan dilayankan kepada pemustaka. Ketika implementasi tersebut terlaksana maka layanan prima menjadi tolak ukur keberhasilan layanan perpustakaan kepada pemustaka dan masyakat. Semoga.

Daftar Pustaka

Darmawi, Herman. 2006. Manajemen Risiko. Jakarta: Bumi Aksara.

Idroes, Ferry N. 2008. Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendektan 3 Pilar
Kesepakatan Bassel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Pinontoan, Jimmy H .2010. Manajemen Risiko TI – Konsep-konsep.
              Majalah PC Media.Oktober 2010

_________________ .2010. Manajemen Risiko TI – Penerapan Praktis.
              Majalah PC Media. November 2010

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.



 








Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...