PENDAHULUAN
Era keterbukaan, era
komunikasi massa, era masyarakat informasi, era demokratisasi informasi dan era
postmodern yang tengah melanda masyarakat sekarang ini terlihat dari berbagai
macam fonomena tanda yang hampir pasti merasuki semua aspek kehidupan
masyarakat. Fenomena yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya
percepatan penggunaan perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung
kecepatan akses dan kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat
dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari
pusaran percepatan trend penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka
kondisi sosial masyarakat menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang
harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan
struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai
tulang punggungnya. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang masih
mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal karena tidak mampu mengikuti pusaran
‘kecepatan’ yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan
budaya global dengan tetap mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah
mereka kita sebut sebagai masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai
masyarakat modern) atau kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek misalnya
dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Sesungguhnya kondisi
masyarakat kita sekarang ini sudah masuk dalam pusaran pengaruh budaya
‘postmodern’ yang berafiliasi dengan unsur ‘kecepatan’ di hampir semua aspek.
Salah satu indikator masyarakat postmodern adalah terbentuknya budaya konsumsi
yang ditandai dengan model ‘kecepatan’ sebagai acuannya. Contoh kasus adalah
makanan cepat saji, mobile phone, internet
dan sarana cyber lainnya yang
kesemuanya menjadi spiritualitas baru masyarakat. Komodifikasi tanda dan
penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan trend dan
produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat konsumen.
Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,
tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan
gaya hidup.
Lalu bagaimana dengan
kondisi Perpustakaan sekarang ini, apakah keadaannya demikian adanya,
terpengaruh oleh budaya postmodern? Secara nyata dapat dilihat dari indikator
berapa jumlah pemustaka yang memanfaatkan teknologi web dalam menelusur
informasi di portal Perpustakaan perhari, berapa jumlah OPAC untuk mencari
literature, berapa jumlah pemustaka yang terlayani oleh sistem informasi perjam
dan lain sebagainya, yang kesemua indikator tersebut mencerminkan ‘kecepatan
akses dan kecepatan layanan’ sebagai produk informasi perpustakaan sekarang
ini. Dengan indikator trend kecepatan, efisiensi, dan efektivitas apakah hal
tersebut bukan merupakan representasi budaya konsumsi sebagai hasil penetrasi
dari budaya postmodern? Artinya semua kegiatan perpustakaan sekarang ini dari unsur
administrasi, teknis dan layanan informasi mencerminkan budaya postmodern yang
mengutamakan kecepatan, berjejaring (connectivity) dan penggunaan teknologi
informasi sebagai sarana utama “memasarkan” produk informasi perpustakaan.
Yang menjadi pertanyaan
kemudian adalah bagaimana dengan ‘spirit perpustakaan’ sebagai lembaga ‘sosial’
untuk menyediakan sumber informasi sebagai lembaga yang mengemban amanah
‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ atau setidak-tidaknya sebagai lembaga sumber
belajar sepanjang hayat ditengah pusaran budaya postmodern yang bercitra
negatif dan merusak menurut sebagian besar tanggapan masyarakat kita sekarang
ini? Bagaimana posisi perpustakaan mempertahankan ‘identitas budaya’ sebagai
lembaga pusat informasi dan pembelajaran mandiri? Dan sesungguhnya
‘kecepatan-kecepatan informasi’ tersebut untuk siapa? Setidaknya pertanyaan-pertanyaan
tersebut layak direnungkan bagi perpustakaan, pustakawan dan individu yang
memerlukan ‘pencerahan’ dizaman yang serba cepat, canggih, one klik, mobile dan
berjejaring.
PEMBAHASAN
Perpustakaan
saat ini dihadapkan pada kondisi yang dilematis, apakah harus bertransformasi
dengan kaidah ‘kecepatan’ informasi, atau sekedar sebagai lembaga ‘penyaji’
informasi dengan mempertahankan identitas budaya yang sudah melekat sebagai
lembaga ilmu pengetahuan yang tentunya memerlukan ‘perenungan, pembelajaran,
diskusi, interpretasi’ tanpa harus mengagung-agungkan ‘kecepatan dan
interkoneksi’. Bukankah proses pembelajaran yang hakiki adalah tersedianya
‘teks, konten informasi’ yang memerlukan perenungan dan interpretasi daripada
sekedar mengejar ‘up to date,
kecepatan, nilai, dan keterhubungan’?. Mengapa konsensus budaya perpustakaan
sebagai lembaga sosial ‘pemerata’ ilmu pengetahuan harus bertransformasi kearah
‘kecepatan akses informasi’ dengan teknologi internet yang bersumber dari
produksi ‘kapitalis’ informasi yang hanya sekedar memenuhi hasrat kecepatan,
tanpa mau menggali arti dari kecepatan itu sendiri. Mengapa seringkali
perpustakaan terjebak pada kondisi ‘kuantitas’ pemustaka yang ‘tinggi’ apabila
berkunjung ke perpustakaan karena adanya fasilitas yang ‘serba baru’ dengan
perangkat wifi, lab computer, OPAC, meeting room, kafe, sofa, book corner tanpa
memperhatikan ‘kualitas’ intelektual pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan.
Apakah benar pemustaka yang menggunakan sarana wifi, internet, chating disofa benar-benar melaksanakan kegiatan
‘intelektualitas’ dalam arti ada proses dialektika dari yang tidak tahu menjadi
kegiatan pencerahan, ataukah hanya sekedar ‘berselancar’ memenuhi kebutuhan
hasrat informasi gaya hidup selebritis dari pada kegiatan dialektika
pembelajaran.
Lalu
bagaimana dengan perpustakaan yang minim fasilitas ‘kecepatan’, tidak ada
sambungan internet, OPAC terbatas, tetapi perpustakaan tersebut ‘memanusiakan’
pemustaka dengan sumber referensi literature yang melimpah, interkoneksi
berasal dari pustakawan dengan pemustaka yang saling menghormati, kolaboratif
mencapai dialektika pembelajaran tentang ilmu pengetahuan? Artinya bahwa
perpustakaan merupakan ruang dialog antara pustakawan dan pemustaka untuk
memberikan pencerahan intelektualitas dengan konsensus ‘perpustakaan adalah
sumber pembelajaran sepanjang hayat’ dengan memerlukan perenungan,
interpretasi, dan interaksi kearah individu yang lebih baik dengan tulang
punggung ‘proses’ dialektika bukan unsur ‘kecepatan’ sebagai tujuan utamanya.
Gambaran-gambaran
akan kondisi perpustakaan sekarang ini yang merupakan representasi budaya
postmodern yang tengah melanda organisasi public keinformasian perpustakaan.
Sebelum lebih lanjut menelaah peran dan posisi perpustakaan ditengah budaya
postmodern ada baiknya terlebih dahulu mendeskripsikan budaya postmodern dengan
ciri-ciri yang berkembang dimasyarakat luar yang nantinya dapat kita bandingkan
dan telaah, baik dan buruknya budaya postmodern tersebut.
POSTMODERN
Pergulatan
tentang arti dan definisi postmodern dari bebarapa ahli sosiologi dan budaya
tidak dapat memberikan definisi yang pasti, hanya sebagian tokoh tersebut
memberikan indicator ‘wacana tanda’ yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan
nyata yang sedang berlangsung sekarang ini. Tokoh postmodern yang sering
sebagai rujukan dalam menganalisa masyarakat postmodern diantaranya adalah
Lyotard yang memberikan wacana tanda berupa masyarakat postmodern dilandaskan
pada gerakan kearah tatanan post industrial. Lyotard memberikan asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada
pada kondisi ‘sesudah’ era industry yang apabila kita telusur bahwa
perkembangan masyarakat dimulai dari era kegelapan, renaissance dan era
revolusi industry. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa
pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi
riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut
lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern
adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas
pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak
boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh
pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme (Featherstone). Bahwa
produksi industry tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat seperti halnya dalam era industry, tetapi kondisi sekarang ini
produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan
makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh
‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya
semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam
penggunaan sarana teknologi computer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup
yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial
budaya masyarakat diera penggunaan computer dan teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard menakankan bahwa
bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat perubahan dari tatanan
sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan model semakin melanda
dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur.
Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi dengan berbagai
kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi menjadi ‘gaya hidup’
yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa masyarakat konsumsi yang
menghilangkan makna logika produksi sebagai alat pemenuhan kebutuhan konsumsi
yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara ‘besar-besaran’ yang hanya
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya hidup masyarakat, maka
tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya sebagai ‘simulasi’ gaya
hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
Sedangkan
Sutrisno dan Hendar Putranto memberikan klarifikasi dan sejumlah definisi pokok
tentang postmodernisme meliputi:
1. Definisi
postmodernisme, tidak mempunyai sebuah definisi tunggal monolit-ketat yang bisa
selalu kita acu dan kita jadikan pegangan. Namum, setidaknya postmodernisme
mempunyai dua karakter pokok: pertama, gaya estetis dan artistic yang menolak
kode-kode artistic dan estetis dari era modernisme. Kedua, posisi teoritis dan
filosofis yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (seperti
pascastrukturalisme)
2. Definisi
pascamodernitas, sebuah tahap perkembangan sosial yang dipikirkan sebagai
melampaui modernitas. Ide pokok yang mau diangkat disini adalah bahwa telah
terjadi perubahan radikal dari ekonomi era industry yang berkutat seputar
produksi barang dan jasa menuju ekonomi pascaindustri yang diorganisasikan
seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi
informasi.
3. Definisi
pascamodernisasi (postmodernization), sejumlah proses perubahan sosial yang
mengarah pada transisi dari modernitas menuju pascamodernitas.
4. Globalisasi,
proses dimana dunia tempat kita hidup ini menjadi semakin terhubung satu sama
lain, dan dunia di mana batas-batas politis, budaya, ekonomis yang tadinya ada,
sekarang menjadi semakin rapuh, mengabur, bahkan dianggap kurang relevan.
Postmodern
merupakan alat untuk menganalisa fenomena-fenomena sosial budaya yang tengah
terjadi dimasyarakat kita sekarang ini tidak terkecuali perpustakaan dan
pusat-pusat informasi lainnya.
Untuk lebih memberikan pemahaman tentang
postmodern, maka ciri-ciri budaya dan masyarakat postmodern dapat dianalisa
sebagai berikut;
1. Pengaruh
budaya dan media massa yang menjadi sedemikian kuat dalam hidup sosial daripada
era sebelumnya.
2. Hidup
sosial dan ekonomi lebih berkisar pada konsumsi symbol-simbol dan gaya hidup
daripada produksi barang yang menjadi ciri khas era industry.
3. Serangan
atau kritik atas ide tentang realitas dan representasinya.
4. Yang
menjadi prinsip pemersatu dari produksi cultural adalah imaji dan ruang, bukan
lagi narasi dan sejarah.
5. Munculah
aneka macam parodi, pasthice, ironi, kitsch dan elektrisme pop seperti tampak
dalam pementasan wayang kulit, dalam babak ‘goro-goro’ dimana tokoh bima
didarat berbicara kepada gatotkaca yang melayang di udara dengan menggunakan mobile phone.
6. Bentuk-bentuk
arsitektur urban menunjukan gejala penonjolan hiburan, ‘leha-leha’, dan gaya
hidup seperti paling jelas tampak dalam pusat-pusat perbelanjaan (mall), taman
hiburan, dan kompleks hunian seperti real estate, kondominium, dan apartemen.
7. Hibriditas
dipuja, rigiditas distingsi (klasifikasi, batas-batas, seperti batas antar
budaya tinggi atau elite dan budaya rendah atau popular) semakin mengabur atau
bahkan ditinggalkan.
Ciri-ciri
budaya postmodern apabila kita kaitkan dengan perpustakaan, maka memiliki
kemiripan dan setidaknya perpustakaan pun telah mengaplikasikan perangkat
teknologi informasi untuk memberikan layanan maksimal kepada pemustaka
perpustakaan. Tidak mengherankan kemudian perpustakaan berlomba-lomba
memberikan aspek kecepatan, keakuratan, ketepatan dalam akses informasi kepada
pemustaka, karena sesungguhnya pemustaka tersebut merupakan masyarakat
postmodern yang harus dilayanai oleh perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi
masyarakat postmodern.
AMBIGUITAS
PERPUSTAKAAN
Dilema perpustakaan ditengah pusaran
postmodern merupakan tahapan lembaga perpustakaan untuk bertransformasi menuju
lembaga pusat informasi sebagai rujukan masyarakat postmodern, namun kondisi tersebut
ternyata menimbulkan pertentangan bagi perpustakaan dan pustakawan dalam
menyikapi perubahan tersebut. Dengan latar belakang budaya postmodern yang
digambarkan secara ‘ekstrem’ keluar dari kaidah-kaidah dialektika yang selama
ini sudah terbagun di perpustakaan, memberikan tantangan tersendiri bagi
perpustakaan dan pustakawan itu sendiri. Aspek penggunaan teknologi informasi,
konektivitas, literasi informasi, learning common harus secara nyata
diaplikasikan oleh perpustakaan untuk menyambut ‘pemustaka postmodern’ dengan
berbagai karakteristik budaya yang menyertainya. Perpustakaan dihadapkan pada
problem besar bagaimana mengakomodasi semua kebutuhan tersebut dengan
memperhatikan semua factor dari segi teknis, SDM, sarana prasarana, relasi
komunikasi dan negosiasi yang harus diaplikasikan segera untuk memenuhi
kebutuhan ‘pemustaka postmodern’.
Apakah memang benar transformasi
semua aspek layanan perpustakaan dari sarana prasarana, kemampuan SDM,
kebijakan informasi, negosiasi dan interaksi tersebut dapat memberikan
pemahaman dan dialektika yang terbagun antara perpustakaan dan pemustaka
tersebut dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi dan pemenuhan kebutuhan
intelektualitas, atau hanya semata-mata untuk pemenuhan ‘gaya hidup’ lembaga
perpustakaan tanpa adanya pemaknaan yang nyata tentang arti kebutuhan
transformasi intelektualitas dan pembelajaran. Selama ini perpustakaan hanya
terfokus pada pemenuhan kebutuhan sarana prasarana yang menuntut adanya
kecepatan, konektivitas, ketersediaan tanpa memperhatikan kedalaman ‘makna’
intelektualitas itu sendiri, semisal apakah memang benar fasilitas tersebut
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pembelajaran dan peningkatan kemampuan
kognisi pemustaka. Memang perpustakaan dihadapkan oleh kondisi ‘pemustaka
postmodern’ yang memerlukan kebutuhan yang serba ‘terhubung’, leha-leha,
diskusi besar, namun perpustakaan dan pemustaka ternyata belum ‘siap’
menghadapi tantangan tersebut.
Pustakawan masih saja berkutat pada
kegiatan ‘mainstrem’ perpustakaan yang dilakukan secara periodic dari tahap
satu ketahap lainnya secara urut tanpa mau memandang kebutuhan pemustaka
postmodern yang sangat dinamis. Kondisi tersebut mencerminkan pertentangan
perpustakaan pada kondisi ambigu, apakah akan mengaplikasikan dan mengakomodasi
kebutuhan pemustaka tersebut atau masih mengharapkan dan mempertahankan
identitas budaya perpustakaan berupa ‘kesunyian’ dan proses ‘dialektika antara
pustakawan dan pemustaka’?
Ambiguitas perpustakaan tercipta
apabila perpustakaan telah menyadari adanya ‘perubahan besar’ yang harus
diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi perpustakaan tidak
dapat keluar dari ‘mainstrem’ layanan perpustakaan yang bersifat periodic, dan
perpustakaan pun tidak mampu menganalisa berbagai indicator pemenuhan kebutuhan
pemustaka tersebut benar-benar digunakan secara sewajarnya oleh pemustaka
postmodern atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata, artinya
ketika perpustakaan dengan berbagai hambatan dan problem besar berusaha
memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi kenyataannya akomodasi yang dilaksanakan
oleh perpustakaan berupa pemenuhan sarana prasarana, konektifitas informasi,
learning common, leha-leha digunakan untuk pemenuhan ‘prestis’ pemustaka
semata.
Pemustaka berkunjung ke perpustakaan
hanya sekedar untuk pemenuhan ‘prestis’ tanpa membangun dialektika pengetahuan
antara ‘teks informasi’ dan pustakawan, tetapi hanya berselancar menggunakan
perangkat teknologi informasi untuk ‘relasi’ media sosial dan kebutuhan
berleha-leha, sebaliknya pun pustakawan ‘termanjakan’ dengan sarana prasarana
‘berjejaring’ namun hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan hiburan semata,
tanpa mau memberikan pencerahan kepada pemustaka dengan relasi konektifitas
untuk menelusur sumber-sumber literature informasi intelektual untuk proses
pembelajaran.
Dengan
asumsi seperti ini maka ambiguitas perpustakaan sesungguhnya tengah melanda
perpustakaan, pustakawan dan pemustaka itu sendiri. Perpustakaan menyediakan
sarana prasarana dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan informasi yang
dibutuhkan oleh pemustaka, tetapi pemustaka hanya untuk pemenuhan kebutuhan
‘gaya hidup’ semata tanpa mau menggali ‘makna’ sesunguhnya, sedangkan
pustakawan sebagai mediator dialektika antara sumber informasi dan pemenuhan
kebutuhan intelektualitas pemustaka, termanjakan tidak mau menganalisa apakah
segala fasilitas dan sarana prasarana kebutuhan informasi tersebut digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan informasi intelektualitas pemustaka perpustakaan atau
hanya sekedar untuk ‘prestis dan gaya hidup’.
Setidaknya
perpustakaan dan pustakawan menyadari, bahwa era sekarang telah berkembang
kearah budaya postmodern yang merubah paradigma yang telah ‘mapan’ dalam waktu
yang lama, yang perlu diaplikasikan adalah perpustakaan harus bertransformasi
dari ‘book centric’ ke ‘user centric’. Transformasi itu pun tidak semata-mata
hanya untuk pemenuhan kebutuhan pemustaka semata, pustakawan berhak dan
berkewajiban menganalisa apakah segala fasilitas dan kecepatan tersebut
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan intelektulitas atau hanya untuk ‘gaya hidup
semata.
Budaya
postmodern tidak semata-mata mencerminkan budaya yang ‘arogan’ dan ‘negatif’,
namun budaya tersebut mencerminkan fenomena yang sedang terjadi saat ini.
Penggunaan dan implementasi perubahan budaya tersebut harus digunakan sesuai
dengan karakter budaya asli dan harus mencerminkan ‘identitas budaya’ local
yang selama ini telah tertanam dan diaplikasikan.
KESIMPULAN
Fenomena
sosial budaya masyarakat yang terjadi sekarang ini memberikan pemahaman dan
menambah khasanah pengetahuan bagi masyarakat itu sendiri dan bagi perpustakaan
sebagai lembaga informasi yang hadir sebagai sarana pengumpul, pelestari dan
pusat informasi. Perubahan sosial masyarakat yang sedang menggejala dewasa ini
adalah perubahan sosial dari arah ‘modern’ kearah ‘postmodern’. Berbagai
perdebatan tersebut menyertai dinamika perubahan masyarakat. Terminology modern
itu sendiri pun mengacu pada kondisi revolusi industry yang menciptakan relasi
produksi dan konsumsi masyarakat untuk proses pembangunan, sedangkan postmodern
mencerminkan kondisi ‘pasca’ modern dengan indicator fenomena budaya kecepatan,
konektifitas, teknologi informasi, masyarakat konsumsi, penetrasi media massa dan
iklan, dan simulasi tanpa yang menggantikan makna sesungguhnya.
Penetrasi
dan pengaruh budaya postmodern pun melanda perpustakaan sebagai organisasi
penyedia dan penyaji informasi. Bagi penganut budaya postmodern, informasi
merupakan komoditas yang berharga dan semua tulang punggung kehidupan
masyarakat sekarang tergantung pada keabsahan dari informasi. Ditengah-tengah
pergulatan tersebut perpustakaan mengalami dilema sebagai lembaga dengan ‘misi
sosial’ tentang informasi atau harus larut dalam pusaran budaya postmodern
dengan informasi sebagai komoditasnya.
Perpustakaan
sudah selayaknya bertansformasi dengan mengakomodasi kebutuhan ‘pemustaka
postmodern’ dengan tetap mempertahankan ‘identitas budaya’ perpusakaan yang
selama ini sudah terbangun. Asas kecepatan informasi bagi perpustakaan
merupakan spirit yang harus dipertahankan untuk meningkatkan ‘nilai informasi’
perpustakaan ditengah budaya postmodern, perpustakaan berkewajiban dan berhak
menganalisa kebutuhan pemustaka postmodern sesuai dengan kebutuhan informasi
dan sesuai dengan proses dialektika intelektualitas pembelajaran. Konsensus
perpustakaan adalah sebagai lembaga informasi intelektualitas yang mementingkan
dialektika antara pustakawan dan pemustaka.
Daftar
Pustaka
Featherstone,
Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya
Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Laksmi.
2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna;
Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu
Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.
Piliang,
Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat;
Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Bandung: Matahari.
Ritzer,
George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ritzer,
George dan Barry Smart. 2012. Handbook
Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.
Sutrisno,
Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori
Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.