Wednesday 24 September 2014

MARGINALISASI PERPUSTAKAAN DI TENGAH MASYARAKAT INFORMASI



Pendahuluan
            Perpustakaan dalam perkembangannya selalu diidentikkan dengan perkembangan pola penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat. Perpustakaan dan pusat informasi pengetahuan merupakan komponen yang serasi untuk menggambarkan kemajuan peradaban masyarakat karena dimulai dari bagaimana akses informasi dan distribusi informasi yang disebarkan oleh perpustakaan kepada masyarakat. Perkembangan berikutnya adalah perubahan masyarakat yang disebutkan oleh Toffler bahwa perkembangan masyarakat dikategorikan dalam tiga gelombang yang dimulai dari gelombang pertama sebagai masyarakat pertanian (agraris), gelombang kedua masyarakat industry dan gelombang ketiga pada kondisi setelah era runtuhnya perang dingin antara AS adan Uni Soviet. Masyarakat gelombang ketiga bisa disebut sebagai masyarakat informasi dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih menitikberatkan pada nilai informasi sebagai tulang punggung dalam kehidupan masyarakat secara umum. Masyarakat informasi merupakan masyarakat yang semua aspek kehidupan sangat tergantung pada nilai dan keabsahan informasi sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Kondisi ini tercipta karena perubahan paradigma dan adaptasi perkembangan masyarakat yang berkembang secara dimamis mengikuti pola pengetahuan dan terciptanya teknologi baru yang memungkinkan peningkatan kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik dan bernilai.
Berbagai macam indikator yang menciptakan masyarakat informasi secara nyata terlihat dari tren perkembangan teknologi informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Teknologi mobile, sarana internet, media komunikasi, media sosial menjadi kebutuhuan standar masyarakat informasi dalam kesehariannya. Browsing, chatting, video chat, surfing, blog, email, tweet menjadi istilah standar dalam berkomunikasi dan menemukan informasi.
Menurut Casstells dalam Ritzer (2007) memaknai paradigma teknologi informasi dengan karakteristik dasar yang meliputi; Pertama, teknologi informasi adalah teknologi yang bereaksi berdasarkan informasi. Kedua, informasi adalah bagian dari aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive. Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa mempengaruhi berbagai proses dan organisasi. Keempat, teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara konstan. Kelima, teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi. Paradigma teknologi informasi tersebut menjadi keseharian yang sudah jamak dalam kehidupan masyarakat, bahkan ada anggapan disebagian masyarakat apabila tidak menggunakan sarana teknologi informasi maka dianggap sebagai golongan kuno.
Berbagai aspek penggunaan teknologi informasi bergulir begitu cepat mengukuti pola perkembangan masyarakat. Fenomena yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan tren penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang punggungnya. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal karena tidak mampu mengikuti pusaran ‘kecepatan’ yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan budaya global dengan tetap mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah mereka kita sebut sebagai masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai masyarakat modern) atau kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek misalnya dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Fenomena masyarakat informasi sejatinya merupakan pola perubahan adaptif masyarakat dalam memaknai perkembangan yang sedang terjadi sesuai dengan kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan yang diyakini dapat memberikan perubahan pada masyarakat. Dalam berbagai perspektif perubahan masyarakat kearah masyarakat informasi selalu dikaitkan dengan proses pembelajaran dan penciptaan, pengelolaan dan penyebaran pengetahuan sebagai unsur utama dengan berkolaborasi dengan perangkat teknologi yang umumnya disebut sebagai teknologi informasi. Apabila dikaitkan dengan perpustakaan, maka proses penyebaran pengetahuan yang berguna bagi konsumsi masyarakat informasi merupakan kewenangan dan tugas bagi perpustakaan. Idealnya perpustakaan ditempatkan sebagai lembaga pengolah dan penyebar informasi yang benar-benar berguna bagi masyarakat informasi untuk mengambil keputusan, akan tetapi fungsi dan kewenangan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh perpustakaan. Gambaran nyata yang sering terjadi dimasyarakat sekarang ini adalah bahwa dengan peralatan gadget digenggaman tangan pun berbagai macam informasi yang aktual segera didapatkan, tidak perlu lagi mendatangi perpustakaan yang notabene sebagai pusat informasi dalam masyarakat informasi.
Dengan adanya indikator tersebut memunculkan pertanyaan dan perenungan benarkah kondisi sekarang dengan adanya penetrasi penggunaan teknologi informasi yang merubah semua lini kehidupan berpengaruh bagi eksistensi perpustakaan? Mengapa perpustakaan seolah tidak berdaya dalam mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat informasi yang memerlukan kecepatan dan keakuratan sebagai gaya hidupnya? Benarkan budaya cyber telah memarginalkan perpustakaan dalam tatanan masyarakat informasi? Ataukah benar peran perpustakaan sangat dominan dalam membentuk karakter pengetahuan masyarakat informasi?

Budaya Tanda TIK
            Permasalahan kuatnya penetrasi penggunaan teknologi informasi yang terjadi dimasyarakat membawa perubahan fundamental bagi layanan perpustakaan yang memandang bahwa perpustakaan masih diakui sebagai lembaga penyaji dan penyedia informasi. Asumsi ini bersifat ‘klasik’ karena tuntutan perubahan tersebut terjadi karena adanya ‘persaingan’ antara perpustakaan dengan teknologi jaringan global berupa internet yang memiliki ‘klaim’ tentang ketepatan dan kecepatan dalam mendapatkan informasi. Pustakawan pun mempuyai peluang sebagai penyaji dan penyedia informasi yang benar-benar memiliki nilai bagi masyarakat informasi dengan klaim membanjirnya informasi diberbagai bidang yang apabila diproses dan digolongkan ternyata memiliki efek ‘informasi sampah’ yang tidak tepat digunakan oleh masyarakat. Pustakawan berkedudukan sebagai penambah nilai informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat informasi. Namun disaat yang sama besarnya informasi yang tersedia dan kecepatan informasi yang berganti dari hari kehari tidak dapat diantisipasi oleh perpustakaan dalam menelaah informasi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, dan akhirnya masyarakat pun tidak lagi ‘berkomunikasi’ dengan perpustakaan karena kecepatan dan keakuratan informasi tidak memerlukan proses yang rumit seperti dalam perpustakaan.
   Informasi bisa didapatkan kapan saja dan dimana saja, berjejaring dan informasi mobile pun dapat dilaksanakan tanpa batas ruang dan waktu. Apabila mengandalkan informasi dari perpustakaan yang didapatkan hanya ‘informasi teks’ yang tidak fleksibel, namun dengan gadget yang memiliki fitur jaringan global bukan lagi persoalan mendapatkan informasi dari manapun. Komodifikasi tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan tren dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat informasi menambah ‘persaingan’ antara perpustakaan dan sumber informasi global. Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan gaya hidup. Dalam perkembangan berikutnya komodifikasi tanda yang menyertai kehidupan masyarakat informasi tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan masyarakat yang dapat dianalisa dengan menggunakan perspektif ilmu sosiologi tentang istilah masyarakat informasi dengan berbagai ‘tanda wacana’ dan indikator yang menyertainya.
Lyotard memberikan asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era industry yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari era kegelapan, renaissance dan era revolusi industry. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme Featherstone (2008). Bahwa produksi industry tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat seperti halnya dalam era industry, tetapi kondisi sekarang ini produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh ‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam penggunaan sarana teknologi komputer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial budaya masyarakat diera penggunaan komputer dan teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard menakankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai alat pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara ‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
Membicarakan budaya tanda masyarakat informasi tidak akan lepas dari pola perkembangan masyarakat modern ke arah masyarakat postmodern dengan berbagai macam perspektif yang dapat menganalisa perkembangan tersebut. Dengan budaya tanda tersebut dapat memberikan pemahaman bagi kita bahwa kondisi riil masyarakat sekarang masuk dalam perkembangan masyarakat postmodern atau masyarakat sesudah modern, bahkan ada yang menyebutkan sebagai masyarakat informasi tergantung dari perspektif analisa yang digunakan dalam mengkaji permasalahan tersebut.
Dalam bidang perpustakaan tentunya akan lebih familier dengan menyebutnya sebagai masyarakat informasi karena memiliki korelasi dengan perkembangan pola kehidupan intelektualitas dan pembelajaran mandiri masyarakat dalam menproduksi, mengolah, menyajikan dan menyebarkan informasi pengetahuan kepada masyarakat. Namun budaya tanda TIK tersebut apakah mengaburkan fungsi dari perpustakaan di era membanjirnya informasi global?

Marginalisasi Perpustakaan
            Gaya hidup, simulasi dan budaya tanda teknologi informasi memunculkan sejumlah pertanyaan tentang eksistensi perpustakaan dalam pranata sosial masyarakat informasi. Apakah masyarkat informasi dibentuk oleh perpustakaan, ataukah sebaliknya eksistensi perpustakaan akan ‘termarjinalkan’ oleh hiruk-pikuk perkembangan teknologi informasi?. Dilema perpustakaan dalam kultur masyarakat informasi adalah ‘klaim’ perpustakaan yang menyebutkan bahwa perpustakaan memiliki peran yang utama dalam pranata sosial masyarakat informasi. Masyarakat informasi dibentuk oleh peran perpustakaan dalam menyajikan dan memproduksi informasi terseleksi yang digunakan oleh masyarakat, namun argumentasi ini tidak sepenunhya benar karena masyarakat informasi merupakan masyarakat ‘pembelajar’ dengan berbagai macam fasilitas untuk mendapatkan informasi yang begitu beragam dalam mendapatkannya. Dalam logika informasi masyarakat informasi, informasi yang didapatkan merupakan pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan strategi dalam upaya pengambilan keputusan yang digunakan untuk memenangkan persaingan. Kondisi-kondisi ini akhirnya memicu masyarakat informasi yang berpengetahuan dengan yang digunakan sebagai kaidah perilaku untuk bertindak dalam melaksanakan inovasi untuk memenangkan persaingan. Cara mendapatkan informasi pengetahuan pun semakin spesifik dengan berbagai macam pilihan sumber-sumber informasi global yang tidak memerlukan administrasi yang berbelit dan bersifat real time kapanpun dimanapun.
            Dengan dimikian tidak salah kemudian memposisikan perpustakaan sebagai lembaga penyaji informasi yang tersisih/termarjinalkan dalam struktur pranata sosial masyarakat informasi dengan berbagai kaidah bahwa penciptaan, pengolahan, pengkomunikasian dan penyebaran informasi tidak melalui lembaga perpustakaan, hanya melalui sumber informasi global yang fleksibel dan cepat. Masalah nilai informasi dan kebsahan informasi yang diklaim oleh perpustakaan sebagai ‘produksi’ perpustakaan pun terbantahkan karena pola pikir masyarakat informasi yang kritis, independent dan berpengetahuan. Perpustakaan hanya sebagai ‘museum informasi’ tanpa mampu berperan dalam struktur sosial masyarakat informasi.
   Dilema perpustakaan dalam era masyarakat informasi memberikan perenungan bagaimana seharusnya perpustakaan bermetamorfosa dengan bersifat aplikatif melaksanakan perubahan yang ‘keluar’ dari narasi kemapanan yang selama ini diyakini benar oleh perpustakaan. Metamorfosa perpustakaan ditandai dengan melaksanakan perubahan dan bersifat akomodatif dengan tetap berprinsip pada identitas budaya perpustakaan yang selama ini memberikan ‘kenyamanan’ bagi pemustaka masyarakat informasi. Setidaknya perpustakaan memerlukan konsep perubahan yang meliputi pertama, perpustakaan harus bersikap akomodatif terhadap masyarakat informasi dengan memberikan fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ masyarakat informasi. Sikap akomodatif tersebut dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan menggunakan konsep learning commons yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat informasi. Penyediaan sarana prasarana yang representative, terkoneksi internet 24 jam sebagai sarana berjejaring, tersedianya prasarana untuk berleha-leha sebagai tempat untuk diskusi, penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang lengkap. Kedua menyediakan koleksi bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan secara bersama-sama. Masyarakat informasi tidak begitu memperdulikan koleksi dalam bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan cara koneksi dengan internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu perpustakaan perlu mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi perpustakaan baik yang bersifat online dan yang bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi masyarakat informasi, aturan tersebut dirubah tetapi dengan berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang harus ditegakkan, dalam arti bahwa masyarakat informasi bukan generasi yang ‘termarjinalkan’ karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi, tetapi masyarakat informasi pun harus menghormati norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi dengan perkembangan ‘gaya hidup’ masyarakat informasi yang memandang bahwa perpustakaan adalah bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan akses informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup dengan berbagai sifat dan karakteristik masyarakat informasi yang memuja kebebasan dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah bagaimana membangun konsep dialektika antara pustakawan dan masyarakat informasi dengan memanfaatkan kegiatan bersama berupa kegiatan literasi media yang dilaksanakan secara periodik. Literasi media dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan sumber-sumber informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun karekterisik masyarakat informasi yang selalu berjejaring dan terkoneksi internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam memberikan bimbingan bagaimana mencari, menggunakan dan mendapatkan informasi yang benar dan handal. Keenam adalah adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang bersifat interaktif menggunakan teknologi web tentang jenis-jenis layanan perpustakaan dan produk informasi yang diproduksi oleh perpustakaan.

Penutup
            Marginalisasi perpustakaan dalam struktur pranata sosial masyarakat informasi akan benar-benar terjadi apabila perpustakaan tidak melaksanakan kegiatan metamorfosa dan keluar dari narasi kemapanan yang selama ini sudah terbangun. Karakteristik masyarakat informasi berbeda dengan masyarakat modern yang dilayani oleh perpustakaan. Sumber informasi global dan keabsahan dari nilai informasi dalam kegiatan keseharian masyarakat informasi untuk proses pengambilan keputusan sudah seharusnya menjadi tantangan dan peluang bagi perpustakaan untuk tetap eksis sebagai lembaga penyaji dan pengolah informasi. Marginalisasi perpustakaan di pusaran masyarakat informasi memberikan perenungan bagi perpustakaan untuk memberikan pemahaman baru bahwa perpustakaan masih diperlukan dan harus eksis ditatanan struktur masyarakat informasi. Perpustakaan harus bergerak maju sebagai bagian dari ‘gaya hidup’ masyarakat informasi.


Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ritzer, George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Toffler, Alvin.1980. The Third Wave. New York: Bantam Bo

Monday 13 May 2013

“LIBRARY IS MY STYLE” Perpustakaan Sebagai Gaya Hidup Generasi MTV


Pendahuluan

“Slamet adalah seorang pemuda yang eksentrik. Lahir dari keluarga petani desa yang memiliki 10 hektar sawah. Hasil panen dijual ke kota dengan berkirim email dan MMS ke kantor Bulog. Setiap ada perkembangan harga dan kenaikan harga pupuk dia selalu memantau dengan ipad yang disimpan ditasnya. Sedangkan untuk mendapatkan informasi cuaca untuk masa tanam selalu berjejaring dengan BMG menggunakan video chat. Tak jarang Slamet menghubungi staf menteri pertanian dengan menggunakan BBM untuk mengetahui kebijakan apa yang akan diputuskan karena adanya masalah yang akhir-akhir ini membuat resah kaum petani didaerahnya. Slamet memiliki komunitas online sebagai sarana komunikasi dalam bidang pertanian yang tidak saja dari kalangan petani semata tetapi dari berbagai kalangan, akademisi, pedagang bahkan praktisi dari luar negeri. Sebagai bahan bacaan wajib Slamet adalah majalah Trubus yang diunduh dari internet setiap bulannya. Sedangkan untuk bertemu dengan sesama anggota komunitas petani, Slamet terbiasa bertemu direstoran cepat saji yang terdapat disebelah gedung perpustakaan yang sepi dari aktivitas kunjungan pemustaka. Suatu ketika Slamet pernah berkunjung ke perpustakaan, namun layanan yang diberikan oleh petugas perpustakaan tidak memberikan pencerahan bagi Slamet, justru teguran yang diterima oleh Slamet. Akhirnya Slamet trauma dengan layanan perpustakaan. Sejak saat itu Slamet tidak pernah berkunjung ke perpustakaan karena informasi yang diinginkan oleh Slamet pun sudah tersedia digenggaman tangannya”.

            Ilustrasi tersebut mencoba menguak sejumlah persoalan kunci dalam layanan lembaga informasi terutama perpustakaan dalam menghadapi fenomena perkembangan masyarakat yang semakin dinamis dan kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah merubah struktur kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris, masyarakat industry dan masyarakat post industry yang lebih menitikberatkan pada keabsahan dan nilai informasi sebagai tujuan utamanya. Informasi sebagai tulang punggung masyarakat dalam aspek kehidupan, oleh karena itu masyarakat post industry disebut juga sebagai masyarakat informasi. Meskipun Slamet sebagai seorang petani, namun atribut dan representasi tanda yang melekat pada dirinya adalah generasi masyarakat informasi dengan tulang punggung teknologi informasi dan nilai dari keabsahan informasi dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan. Berbeda dengan organisasi perpustakaan yang merupakan representasi dari perubahan masyarakat akan informasi yang belum mampu memanfaatkan peluang dalam tatanan kehidupan masyarakat informasi, bahkan teknologi informasi utamanya teknologi jaringan berupa internet dengan berbagai atribut mesin pencari seperti google, yahoo, infoseek, dan media sosial merupakan ancaman bagi eksistensi perpustakaan. Alasannya adalah perpustakaan memiliki wewenang dalam mengolah dan menyajikan informasi yang dilayankan kepada masyarakat, sedangkan internet memberikan kemudahan akses informasi yang tidak diberikan oleh perpustakaan. Dengan demikian perpustakaan menganggap internet dengan mesin pencarinya sebagai ancaman dalam memberikan layanan informasi. Termasuk juga masyarakat yang memanfaatkan teknologi tersebut belum sepenuhnya diakomodasi oleh perpustakaan. Sebagai contoh Slamet sebagai generasi yang tumbuh dalam tempaan budaya tanda dan budaya visual yang memiliki ciri selalu terhubung dengan media online, selalu berjejaring, adaptif dengan teknologi baru, independent, menonjolkan hiburan leha-leha, gaya hidup komunitas yang berbeda dengan generasi teks sebelumya termarjinalisasi karena adanya ‘aturan’ perpustakaan yang tidak peka dalam tren perkembangan pengetahuan, teknologi dan gaya hidup masyarakat. Perpustakaan tidak berusaha merubah citra yang sesungguhnya telah berubah dinamis dan kompleks. Pola pikir pustakawan masih terpusat pada ‘layanan buku’ bukan kepada ‘layanan pengguna’.
            Dalam era masyarakat informasi, perpustakaan yang tidak memiliki kemauan merubah citra tersebut akan ditinggalkan oleh pemustaka seperti yang terlihat dalam indicator statistic tingkat kunjungan pemustaka yang selalu menurun. Kesalahan bukan pada pemustaka dan lembaga informasi, tetapi dari budaya pustakawan yang tidak mau merubah pola layanan yang mengikuti tren perkembangan masyarakat itu sendiri.
            Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa generasi masyarakat sekarang ini dapat dikategorikan sebagai generasi visual yang dikonstruksi oleh konsumsi tanda dari perangkat teknologi informasi dan jaringan broadcast yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Dalam perspektif budaya dan sosiologis seringkali perkembangan generasi yang sedang terjadi saat ini disebut sebagai generasi postmodern yang bercirikan pada perubahan dan evolusi masyarakat yang meliputi perubahan dalam struktur sosial, politik dan budaya. Menurut Bell dalam Sutrisno (2005) masyarakat postmodern menekankan pada perubahan dalam waktu dan ruang, tiadanya pusat, dominasi budaya visual, nonrasionalitas dan irasionalitas, anti intelektualisme, hilangnya sekat antara budaya tinggi dan budaya rendah dan hilangnya jati diri.
            Dengan adanya perubahan tren generasi dan perubahan masyarakat itu sendiri sebagai generasi visual yang memuja ‘dominasi budaya visual’ yang bersifat ‘leha-leha’, maka perpustakaan pun seharusnya berupaya mengimbangi perubahan tersebut dengan merubah paradigma layanan informasi untuk generasi MTV tersebut, tetapi dengan menekankan pada konsep dialektika transfer ilmu pengetahuan sebagai tujuan utamanya.

Generasi MTV
            Konsep perubahan paradigma layanan perpustakaan dengan mengakomodasi generasi MTV sudah seharusnya dilaksanakan sebagai bagian dari transformasi perpustakaan menghadapi kedatangan generasi MTV. Pada hakikatnya generasi MTV merupakan generasi postmodern yang lahir dalam era informasi atau era internet. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Castell dalam Ritzer (2007) kemunculan masyarakat dilihat dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, computer dan sebagainya) yang memiliki karekteristik paradigma teknologi informasi yakni:
1.      Teknologi yang bereaksi dengan informasi,
2.      Informasi adalah bagian dari aktivitas manusia, teknologi-teknologi ini mempunyai efek pervasive,
3.      Semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh logika jaringan yang membuatnya bisa mempengaruhi berbagai proses dan organisasi.
4.      Teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah secara konstan,
5.      Teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintegrasi.
Castell berpandangan bahwa revolusi perkembangan masyarakat akan menuju kondisi masyarakat berteknologi informasi sebagai bagian dari kehidupan keseharian. Kondisi tersebut saat ini sudah jamak dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Sedangkan menurut Ibarahim (2007) generasi visual lahir, dibesarkan dan diasuh diantara narasi visual yang berbeda dengan budaya tekstual. Generasi visual menjadikan hiburan dan tontonan televisi sebagai panglima dan waktu luang serta waktu bermain mereka tersita oleh televisi. Produk industry budaya massa yang selanjutnya melahirkan generasi MTV karena kegandrungan generasi ini pada acara tontonan yang ditayangkan lewat video music atau hiburan di MTV.
Dengan demikian maka secara alamiah dan direncanakan sebaik mungkin oleh perpustakaan yang dituangkan dalam kebijakan dan strategi menghadapi generasi MTV, sudah seharusnya perpustakaan berubah cara pandannya dalam ‘melayani’ generasi MTV yang memiliki karakeristik berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang bersifat tekstual.
 Setidaknya perpustakaan memerlukan konsep perubahan yang meliputi pertama, perpustakaan harus bersikap akomodatif terhadap generasi MTV dengan memberikan fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ generasi MTV. Sikap akomodatif tersebut dapat berupa penambahan fasilitas perpustakaan menggunakan konsep learning commons yang disesuaikan dengan kebutuhan generasi MTV. Penyediaan sarana prasarana yang representative, terkoneksi internet 24 jam sebagai sarana berjejaring, tersedianya prasarana untuk berleha-leha sebagai tempat untuk diskusi, penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang lengkap. Kedua menyediakan koleksi bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan secara bersama-sama. Generasi MTV tidak begitu memperdulikan koleksi dalam bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan cara koneksi dengan internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu perpustakaan perlu mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi perpustakaan baik yang bersifat online dan yang bersifat offline. Ketiga adalah aturan kebijakan perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi generasi MTV, aturan tersebut dirubah tetapi dengan berpedoman pada penghargaan dan sangsi yang harus ditegakkan, dalam arti bahwa generasi MTV bukan generasi yang ‘termarjinalkan’ karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi, tetapi generasi MTV pun harus menghormati norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi dengan perkembangan ‘gaya hidup’ generasi MTV yang memandang bahwa perpustakaan adalah bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan akses informasi. Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup dengan berbagai sifat dan karakteristik generasi MTV yang memuja kebebasan dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun. Kelima adalah bagaimana membangun konsep dialektika antara pustakawan dan generasi MTV dengan memanfaatkan kegiatan bersama berupa kegiatan literasi informasi yang dilaksanakan secara periodic. Literasi informasi dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana mendapatkan sumber-sumber informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun karekterisik generasi MTV yang selalu berjejaring dan terkoneksi internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam memberikan bimbingan bagaimana mencari, menggunakan dan mendapatkan informasi yang benar dan handal. Keenam adalah adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang bersifat interaktif menggunakan teknologi web tentang jenis-jenis layanan perpustakaan dan produk informasi yang diproduksi oleh perpustakaan.

Penutup
             Kedatangan genarasi MTV yang menggunakan layanan perpustakaan tidak perlu dianggap sebagai sumber ancaman bagi eksistensi perpustakaan. Generasi MTV lahir dari perkembangan masyarakat dengan tulang punggung ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyertainya. Dalam perkembangannya generasi MTV merupakan produk dari masyarakat informasi yang memiliki ciri utama bahwa informasi merupakan nilai dan sumber pranata sosial masyarakat yang sangat diutamakan dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi perpustakaan berkewajiban mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan informasi generasi MTV meskipun secara tekstual terdapat pertentangan antara perpustakaan dan generasi MTV. Kewajiban perpustakaan adalah bertrasformasi mengikuti pola perkembangan generasi MTV yang bersifat independent dan memandang perpustakaan adalah sebagai gaya hidup. Oleh karena itu sudah sewajarnya generasi MTV ‘mengakomodasi’ perpustakaan sebagai ‘gaya hidup’ generasi MTV dan juga sebaliknya merupakan kewajiban perpustakaan memandang generasi MTV sebagai pemustaka perpustakaan yang harus dilayani bukan ‘dimarjinalkan’ karena berbeda dengan generasi tekstual yang memuja proses dialektika antara teks dengan pemustaka. Trasformasi perpustakaan adalah kemauan mengakomodasi perubahan sifat generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya, dengan demikian sudah selayaknya perpustakaan merupakan ‘gaya hidup bagi generasi MTV’, tidak saja pemujaan pada acara video music di televisi, namun perpustakaan pun dipuja sebagai bagian dari gaya hidup generasi MTV. Semoga.












Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Idy Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi; Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.

Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna; Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Wednesday 19 December 2012

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN DI TENGAH PUSARAN BUDAYA POSTMODERN


PENDAHULUAN
Era keterbukaan, era komunikasi massa, era masyarakat informasi, era demokratisasi informasi dan era postmodern yang tengah melanda masyarakat sekarang ini terlihat dari berbagai macam fonomena tanda yang hampir pasti merasuki semua aspek kehidupan masyarakat. Fenomena yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan trend penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang punggungnya. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal karena tidak mampu mengikuti pusaran ‘kecepatan’ yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan budaya global dengan tetap mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah mereka kita sebut sebagai masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai masyarakat modern) atau kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek misalnya dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Sesungguhnya kondisi masyarakat kita sekarang ini sudah masuk dalam pusaran pengaruh budaya ‘postmodern’ yang berafiliasi dengan unsur ‘kecepatan’ di hampir semua aspek. Salah satu indikator masyarakat postmodern adalah terbentuknya budaya konsumsi yang ditandai dengan model ‘kecepatan’ sebagai acuannya. Contoh kasus adalah makanan cepat saji, mobile phone, internet dan sarana cyber lainnya yang kesemuanya menjadi spiritualitas baru masyarakat. Komodifikasi tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan trend dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat konsumen. Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan gaya hidup.
Lalu bagaimana dengan kondisi Perpustakaan sekarang ini, apakah keadaannya demikian adanya, terpengaruh oleh budaya postmodern? Secara nyata dapat dilihat dari indikator berapa jumlah pemustaka yang memanfaatkan teknologi web dalam menelusur informasi di portal Perpustakaan perhari, berapa jumlah OPAC untuk mencari literature, berapa jumlah pemustaka yang terlayani oleh sistem informasi perjam dan lain sebagainya, yang kesemua indikator tersebut mencerminkan ‘kecepatan akses dan kecepatan layanan’ sebagai produk informasi perpustakaan sekarang ini. Dengan indikator trend kecepatan, efisiensi, dan efektivitas apakah hal tersebut bukan merupakan representasi budaya konsumsi sebagai hasil penetrasi dari budaya postmodern? Artinya semua kegiatan perpustakaan sekarang ini dari unsur administrasi, teknis dan layanan informasi mencerminkan budaya postmodern yang mengutamakan kecepatan, berjejaring (connectivity) dan penggunaan teknologi informasi sebagai sarana utama “memasarkan” produk informasi perpustakaan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana dengan ‘spirit perpustakaan’ sebagai lembaga ‘sosial’ untuk menyediakan sumber informasi sebagai lembaga yang mengemban amanah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ atau setidak-tidaknya sebagai lembaga sumber belajar sepanjang hayat ditengah pusaran budaya postmodern yang bercitra negatif dan merusak menurut sebagian besar tanggapan masyarakat kita sekarang ini? Bagaimana posisi perpustakaan mempertahankan ‘identitas budaya’ sebagai lembaga pusat informasi dan pembelajaran mandiri? Dan sesungguhnya ‘kecepatan-kecepatan informasi’ tersebut untuk siapa? Setidaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut layak direnungkan bagi perpustakaan, pustakawan dan individu yang memerlukan ‘pencerahan’ dizaman yang serba cepat, canggih, one klik, mobile dan berjejaring.

PEMBAHASAN
            Perpustakaan saat ini dihadapkan pada kondisi yang dilematis, apakah harus bertransformasi dengan kaidah ‘kecepatan’ informasi, atau sekedar sebagai lembaga ‘penyaji’ informasi dengan mempertahankan identitas budaya yang sudah melekat sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tentunya memerlukan ‘perenungan, pembelajaran, diskusi, interpretasi’ tanpa harus mengagung-agungkan ‘kecepatan dan interkoneksi’. Bukankah proses pembelajaran yang hakiki adalah tersedianya ‘teks, konten informasi’ yang memerlukan perenungan dan interpretasi daripada sekedar mengejar ‘up to date, kecepatan, nilai, dan keterhubungan’?. Mengapa konsensus budaya perpustakaan sebagai lembaga sosial ‘pemerata’ ilmu pengetahuan harus bertransformasi kearah ‘kecepatan akses informasi’ dengan teknologi internet yang bersumber dari produksi ‘kapitalis’ informasi yang hanya sekedar memenuhi hasrat kecepatan, tanpa mau menggali arti dari kecepatan itu sendiri. Mengapa seringkali perpustakaan terjebak pada kondisi ‘kuantitas’ pemustaka yang ‘tinggi’ apabila berkunjung ke perpustakaan karena adanya fasilitas yang ‘serba baru’ dengan perangkat wifi, lab computer, OPAC, meeting room, kafe, sofa, book corner tanpa memperhatikan ‘kualitas’ intelektual pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan. Apakah benar pemustaka yang menggunakan sarana wifi, internet, chating disofa benar-benar melaksanakan kegiatan ‘intelektualitas’ dalam arti ada proses dialektika dari yang tidak tahu menjadi kegiatan pencerahan, ataukah hanya sekedar ‘berselancar’ memenuhi kebutuhan hasrat informasi gaya hidup selebritis dari pada kegiatan dialektika pembelajaran.
            Lalu bagaimana dengan perpustakaan yang minim fasilitas ‘kecepatan’, tidak ada sambungan internet, OPAC terbatas, tetapi perpustakaan tersebut ‘memanusiakan’ pemustaka dengan sumber referensi literature yang melimpah, interkoneksi berasal dari pustakawan dengan pemustaka yang saling menghormati, kolaboratif mencapai dialektika pembelajaran tentang ilmu pengetahuan? Artinya bahwa perpustakaan merupakan ruang dialog antara pustakawan dan pemustaka untuk memberikan pencerahan intelektualitas dengan konsensus ‘perpustakaan adalah sumber pembelajaran sepanjang hayat’ dengan memerlukan perenungan, interpretasi, dan interaksi kearah individu yang lebih baik dengan tulang punggung ‘proses’ dialektika bukan unsur ‘kecepatan’ sebagai tujuan utamanya.
            Gambaran-gambaran akan kondisi perpustakaan sekarang ini yang merupakan representasi budaya postmodern yang tengah melanda organisasi public keinformasian perpustakaan. Sebelum lebih lanjut menelaah peran dan posisi perpustakaan ditengah budaya postmodern ada baiknya terlebih dahulu mendeskripsikan budaya postmodern dengan ciri-ciri yang berkembang dimasyarakat luar yang nantinya dapat kita bandingkan dan telaah, baik dan buruknya budaya postmodern tersebut.

POSTMODERN
            Pergulatan tentang arti dan definisi postmodern dari bebarapa ahli sosiologi dan budaya tidak dapat memberikan definisi yang pasti, hanya sebagian tokoh tersebut memberikan indicator ‘wacana tanda’ yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang sedang berlangsung sekarang ini. Tokoh postmodern yang sering sebagai rujukan dalam menganalisa masyarakat postmodern diantaranya adalah Lyotard yang memberikan wacana tanda berupa masyarakat postmodern dilandaskan pada gerakan kearah tatanan post industrial. Lyotard memberikan asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era industry yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari era kegelapan, renaissance dan era revolusi industry. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme (Featherstone). Bahwa produksi industry tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat seperti halnya dalam era industry, tetapi kondisi sekarang ini produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh ‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam penggunaan sarana teknologi computer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial budaya masyarakat diera penggunaan computer dan teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard menakankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai alat pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara ‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
            Sedangkan Sutrisno dan Hendar Putranto memberikan klarifikasi dan sejumlah definisi pokok tentang postmodernisme meliputi:
1.      Definisi postmodernisme, tidak mempunyai sebuah definisi tunggal monolit-ketat yang bisa selalu kita acu dan kita jadikan pegangan. Namum, setidaknya postmodernisme mempunyai dua karakter pokok: pertama, gaya estetis dan artistic yang menolak kode-kode artistic dan estetis dari era modernisme. Kedua, posisi teoritis dan filosofis yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (seperti pascastrukturalisme)
2.      Definisi pascamodernitas, sebuah tahap perkembangan sosial yang dipikirkan sebagai melampaui modernitas. Ide pokok yang mau diangkat disini adalah bahwa telah terjadi perubahan radikal dari ekonomi era industry yang berkutat seputar produksi barang dan jasa menuju ekonomi pascaindustri yang diorganisasikan seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi.
3.      Definisi pascamodernisasi (postmodernization), sejumlah proses perubahan sosial yang mengarah pada transisi dari modernitas menuju pascamodernitas.
4.      Globalisasi, proses dimana dunia tempat kita hidup ini menjadi semakin terhubung satu sama lain, dan dunia di mana batas-batas politis, budaya, ekonomis yang tadinya ada, sekarang menjadi semakin rapuh, mengabur, bahkan dianggap kurang relevan.
Postmodern merupakan alat untuk menganalisa fenomena-fenomena sosial budaya yang tengah terjadi dimasyarakat kita sekarang ini tidak terkecuali perpustakaan dan pusat-pusat informasi lainnya.
      Untuk lebih memberikan pemahaman tentang postmodern, maka ciri-ciri budaya dan masyarakat postmodern dapat dianalisa sebagai berikut;
1.      Pengaruh budaya dan media massa yang menjadi sedemikian kuat dalam hidup sosial daripada era sebelumnya.
2.      Hidup sosial dan ekonomi lebih berkisar pada konsumsi symbol-simbol dan gaya hidup daripada produksi barang yang menjadi ciri khas era industry.
3.      Serangan atau kritik atas ide tentang realitas dan representasinya.
4.      Yang menjadi prinsip pemersatu dari produksi cultural adalah imaji dan ruang, bukan lagi narasi dan sejarah.
5.      Munculah aneka macam parodi, pasthice, ironi, kitsch dan elektrisme pop seperti tampak dalam pementasan wayang kulit, dalam babak ‘goro-goro’ dimana tokoh bima didarat berbicara kepada gatotkaca yang melayang di udara dengan menggunakan mobile phone.
6.      Bentuk-bentuk arsitektur urban menunjukan gejala penonjolan hiburan, ‘leha-leha’, dan gaya hidup seperti paling jelas tampak dalam pusat-pusat perbelanjaan (mall), taman hiburan, dan kompleks hunian seperti real estate, kondominium, dan apartemen.
7.      Hibriditas dipuja, rigiditas distingsi (klasifikasi, batas-batas, seperti batas antar budaya tinggi atau elite dan budaya rendah atau popular) semakin mengabur atau bahkan ditinggalkan.
Ciri-ciri budaya postmodern apabila kita kaitkan dengan perpustakaan, maka memiliki kemiripan dan setidaknya perpustakaan pun telah mengaplikasikan perangkat teknologi informasi untuk memberikan layanan maksimal kepada pemustaka perpustakaan. Tidak mengherankan kemudian perpustakaan berlomba-lomba memberikan aspek kecepatan, keakuratan, ketepatan dalam akses informasi kepada pemustaka, karena sesungguhnya pemustaka tersebut merupakan masyarakat postmodern yang harus dilayanai oleh perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi masyarakat postmodern.

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN
            Dilema perpustakaan ditengah pusaran postmodern merupakan tahapan lembaga perpustakaan untuk bertransformasi menuju lembaga pusat informasi sebagai rujukan masyarakat postmodern, namun kondisi tersebut ternyata menimbulkan pertentangan bagi perpustakaan dan pustakawan dalam menyikapi perubahan tersebut. Dengan latar belakang budaya postmodern yang digambarkan secara ‘ekstrem’ keluar dari kaidah-kaidah dialektika yang selama ini sudah terbagun di perpustakaan, memberikan tantangan tersendiri bagi perpustakaan dan pustakawan itu sendiri. Aspek penggunaan teknologi informasi, konektivitas, literasi informasi, learning common harus secara nyata diaplikasikan oleh perpustakaan untuk menyambut ‘pemustaka postmodern’ dengan berbagai karakteristik budaya yang menyertainya. Perpustakaan dihadapkan pada problem besar bagaimana mengakomodasi semua kebutuhan tersebut dengan memperhatikan semua factor dari segi teknis, SDM, sarana prasarana, relasi komunikasi dan negosiasi yang harus diaplikasikan segera untuk memenuhi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’.
            Apakah memang benar transformasi semua aspek layanan perpustakaan dari sarana prasarana, kemampuan SDM, kebijakan informasi, negosiasi dan interaksi tersebut dapat memberikan pemahaman dan dialektika yang terbagun antara perpustakaan dan pemustaka tersebut dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas, atau hanya semata-mata untuk pemenuhan ‘gaya hidup’ lembaga perpustakaan tanpa adanya pemaknaan yang nyata tentang arti kebutuhan transformasi intelektualitas dan pembelajaran. Selama ini perpustakaan hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan sarana prasarana yang menuntut adanya kecepatan, konektivitas, ketersediaan tanpa memperhatikan kedalaman ‘makna’ intelektualitas itu sendiri, semisal apakah memang benar fasilitas tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pembelajaran dan peningkatan kemampuan kognisi pemustaka. Memang perpustakaan dihadapkan oleh kondisi ‘pemustaka postmodern’ yang memerlukan kebutuhan yang serba ‘terhubung’, leha-leha, diskusi besar, namun perpustakaan dan pemustaka ternyata belum ‘siap’ menghadapi tantangan tersebut.
            Pustakawan masih saja berkutat pada kegiatan ‘mainstrem’ perpustakaan yang dilakukan secara periodic dari tahap satu ketahap lainnya secara urut tanpa mau memandang kebutuhan pemustaka postmodern yang sangat dinamis. Kondisi tersebut mencerminkan pertentangan perpustakaan pada kondisi ambigu, apakah akan mengaplikasikan dan mengakomodasi kebutuhan pemustaka tersebut atau masih mengharapkan dan mempertahankan identitas budaya perpustakaan berupa ‘kesunyian’ dan proses ‘dialektika antara pustakawan dan pemustaka’?
            Ambiguitas perpustakaan tercipta apabila perpustakaan telah menyadari adanya ‘perubahan besar’ yang harus diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi perpustakaan tidak dapat keluar dari ‘mainstrem’ layanan perpustakaan yang bersifat periodic, dan perpustakaan pun tidak mampu menganalisa berbagai indicator pemenuhan kebutuhan pemustaka tersebut benar-benar digunakan secara sewajarnya oleh pemustaka postmodern atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata, artinya ketika perpustakaan dengan berbagai hambatan dan problem besar berusaha memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi kenyataannya akomodasi yang dilaksanakan oleh perpustakaan berupa pemenuhan sarana prasarana, konektifitas informasi, learning common, leha-leha digunakan untuk pemenuhan ‘prestis’ pemustaka semata.
            Pemustaka berkunjung ke perpustakaan hanya sekedar untuk pemenuhan ‘prestis’ tanpa membangun dialektika pengetahuan antara ‘teks informasi’ dan pustakawan, tetapi hanya berselancar menggunakan perangkat teknologi informasi untuk ‘relasi’ media sosial dan kebutuhan berleha-leha, sebaliknya pun pustakawan ‘termanjakan’ dengan sarana prasarana ‘berjejaring’ namun hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan hiburan semata, tanpa mau memberikan pencerahan kepada pemustaka dengan relasi konektifitas untuk menelusur sumber-sumber literature informasi intelektual untuk proses pembelajaran.
Dengan asumsi seperti ini maka ambiguitas perpustakaan sesungguhnya tengah melanda perpustakaan, pustakawan dan pemustaka itu sendiri. Perpustakaan menyediakan sarana prasarana dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka, tetapi pemustaka hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata tanpa mau menggali ‘makna’ sesunguhnya, sedangkan pustakawan sebagai mediator dialektika antara sumber informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas pemustaka, termanjakan tidak mau menganalisa apakah segala fasilitas dan sarana prasarana kebutuhan informasi tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan informasi intelektualitas pemustaka perpustakaan atau hanya sekedar untuk ‘prestis dan gaya hidup’.
Setidaknya perpustakaan dan pustakawan menyadari, bahwa era sekarang telah berkembang kearah budaya postmodern yang merubah paradigma yang telah ‘mapan’ dalam waktu yang lama, yang perlu diaplikasikan adalah perpustakaan harus bertransformasi dari ‘book centric’ ke ‘user centric’. Transformasi itu pun tidak semata-mata hanya untuk pemenuhan kebutuhan pemustaka semata, pustakawan berhak dan berkewajiban menganalisa apakah segala fasilitas dan kecepatan tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan intelektulitas atau hanya untuk ‘gaya hidup semata.
Budaya postmodern tidak semata-mata mencerminkan budaya yang ‘arogan’ dan ‘negatif’, namun budaya tersebut mencerminkan fenomena yang sedang terjadi saat ini. Penggunaan dan implementasi perubahan budaya tersebut harus digunakan sesuai dengan karakter budaya asli dan harus mencerminkan ‘identitas budaya’ local yang selama ini telah tertanam dan diaplikasikan.

KESIMPULAN
            Fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi sekarang ini memberikan pemahaman dan menambah khasanah pengetahuan bagi masyarakat itu sendiri dan bagi perpustakaan sebagai lembaga informasi yang hadir sebagai sarana pengumpul, pelestari dan pusat informasi. Perubahan sosial masyarakat yang sedang menggejala dewasa ini adalah perubahan sosial dari arah ‘modern’ kearah ‘postmodern’. Berbagai perdebatan tersebut menyertai dinamika perubahan masyarakat. Terminology modern itu sendiri pun mengacu pada kondisi revolusi industry yang menciptakan relasi produksi dan konsumsi masyarakat untuk proses pembangunan, sedangkan postmodern mencerminkan kondisi ‘pasca’ modern dengan indicator fenomena budaya kecepatan, konektifitas, teknologi informasi, masyarakat konsumsi, penetrasi media massa dan iklan, dan simulasi tanpa yang menggantikan makna sesungguhnya.
            Penetrasi dan pengaruh budaya postmodern pun melanda perpustakaan sebagai organisasi penyedia dan penyaji informasi. Bagi penganut budaya postmodern, informasi merupakan komoditas yang berharga dan semua tulang punggung kehidupan masyarakat sekarang tergantung pada keabsahan dari informasi. Ditengah-tengah pergulatan tersebut perpustakaan mengalami dilema sebagai lembaga dengan ‘misi sosial’ tentang informasi atau harus larut dalam pusaran budaya postmodern dengan informasi sebagai komoditasnya.
            Perpustakaan sudah selayaknya bertansformasi dengan mengakomodasi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’ dengan tetap mempertahankan ‘identitas budaya’ perpusakaan yang selama ini sudah terbangun. Asas kecepatan informasi bagi perpustakaan merupakan spirit yang harus dipertahankan untuk meningkatkan ‘nilai informasi’ perpustakaan ditengah budaya postmodern, perpustakaan berkewajiban dan berhak menganalisa kebutuhan pemustaka postmodern sesuai dengan kebutuhan informasi dan sesuai dengan proses dialektika intelektualitas pembelajaran. Konsensus perpustakaan adalah sebagai lembaga informasi intelektualitas yang mementingkan dialektika antara pustakawan dan pemustaka.







Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna; Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ritzer, George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...