Perkembangan sosial budaya masyarakat ditandai dengan
penciptaan, pemrosesan dan desiminasi informasi yang menghasilkan ilmu
pengetahuan sebagai sarana untuk menciptakaan kehidupan yang lebih baik. Nilai
informasi tidak saja menjadi komoditas yang berguna untuk proses pengambilan
keputusan yang digunakan untuk memenangkan persaingan, tetapi saat ini
informasi menjadi jargon yang sudah jamak dilaksanakan oleh masyarakat dalam
kehidupan keseharian. Information is power menjadi gambaran nyata bahwa saat
ini dengan berbagai macam indikator penggunaan teknologi informasi menjadi contoh
nyata masyarakat terkondisikan dengan berbagai macam sarana yang menuntut
keabsahan nilai informasi menjadi hal yang utama. Terlebih dengan hadirnya
generasi digital native yang lahir pada saat teknologi digital telah ada dalam
kesehariannya. Generasi yang peka terhadap perkembangan teknologi digital,
berjejaring, independent yang memiliki sifat berbeda dengan generasi-generasi
sebelumnya. Digital native lahir dari perkembangan masyarakat informasi yang
lebih mengutamakan nilai dan keabsahan informasi yang dihasilkan oleh
perpustakaan sebagai lembaga layanan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tantangan terbesar bagi perpustakaan adalah bagaimana
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan informasi digital native yang memiliki sifat
“berbeda” dengan generasi sebelumnya. Transisi bentuk layanan perpustakaan dan
transformasi pustakawan yang akomodatif menjadi kata kunci bagaimana seharusnya
perpustakaan dapat menjadi bagian dari “gaya hidup” generasi digital native.
Gaya hidup digital native adalah gaya hidup perpustakaan.
Pendahuluan
Penciptaan dan penerapan ilmu pengetahuan
yang diaplikasikan dengan teknologi membawa dampak luas bagi perkembangan
sosial dan budaya masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi sejatinya digunakan
untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat menuju kehidupan
yang baik dan selaras dengan semua aspek yang menyertainya. Sebagai mata rantai
hasil pengetahuan yang dapat diaplikasikan bagi kehidupan sosial yang lebih
baik, ilmu pengetahuan lahir dari hasil pola pikir bagaimana proses berupa
fakta atau data diproses menjadi informasi. Data yang diproses menjadi
informasi kemudian menjadi petunjuk yang apabila dielaborasi dengan cipta, rasa
dan karsa manusia menjadi nilai kebijaksanaan/wisdom yang digunakan untuk
proses pengambilan keputusan. Rangkaian ilmu pengetahuan memerlukan lembaga
yang memiliki kompetensi, kemampuan dan tanggungjawab akan nilai informasi
yakni perpustakaan. Kemampuan perpustakaan dalam menciptakan, memproses dan
mendesiminasikan informasi ilmu pengetahuan menjadi bagian integral dalam
tatanan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Perpustakaan adalah institusi
pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan karya rekam secara professional dengan
sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian
informasi dan rekreasi bagi para pemustaka. Implementasi dari perpustakaan
tersebut sebagai sebuah institusi layanan publik tentang keinformasian dan
pembelajaran adalah terciptanya berbagai jenis perpustakaan yang disesuaikan
dengan segmen masyarakat atau pemustaka perpustakaan itu sendiri.
Perpustakaan telah berkembang mengikuti pola
peradaban yang menyangkut aspek sosial dan pengetahuan, yang pada hakikatnya
merupakan hasil dari pengaruh sosial budaya masyarakat dalam upaya untuk
menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Kondisi saat ini perpustakaan dapat
diidentifikasi sebagai bagian dari hasil sinergi antara ilmu pengetahuan dan
teknologi jaringan yang berfungsi sebagai pusat informasi untuk didistribusikan
dan dikonsumsi oleh masyarakat, bahkan saat ini berkembang jargon ‘information
is power’ yang menunjukan bahwa peran dan hasil produksi informasi dari
perpustakaan berfungsi sebagai sarana untuk memenangkan pesaingan.
Toffler (1980) menyebutkan bahwa perubahan
sosial budaya dan perkembangan
masyarakat dikategorikan dalam tiga gelombang yang dimulai dari gelombang
pertama sebagai masyarakat pertanian (agraris), gelombang kedua masyarakat
industri dan gelombang ketiga pada kondisi setelah era runtuhnya perang dingin
antara AS dan Uni Soviet. Masyarakat gelombang ketiga bisa disebut sebagai
masyarakat setelah industri (post industri) dengan berbagai kemajuan ilmu
pengetahuan yang lebih menitikberatkan pada nilai informasi sebagai tulang
punggung dalam kehidupan masyarakat secara umum. Karakteristik masyarakat post
industri adalah semua aspek kehidupan sangat tergantung pada nilai dan
keabsahan informasi sebagai sarana untuk pengambilan keputusan. Kondisi ini
tercipta karena perubahan paradigma dan adaptasi perkembangan masyarakat yang
berkembang secara dimamis mengikuti pola pengetahuan dan terciptanya teknologi
baru yang memungkinkan peningkatan kualitas hidup masyarakat menjadi lebih baik
dan bernilai. Masyarakat post industri lebih tepat disebut sebagai masyarakat
informasi yang sering dikaitkan dengan masyarakat berbasis teknologi, namun
teknologi bukan merupakan satu-satunya komponen. Masyarakat informasi berbasis
teknologi, politik, ekonomi, sosial, pasar, hukum, sehingga batasan masyarakat
informasi tidak harus sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Apa
yang diperlukan pada masyarakat informasi ialah informasi yang lebih baik,
lebih rinci dan lebih tersedia atau lebih gampang diakses bagi anggota
masyarakat (Sulistyo-Basuki, 2014).
Gelombang
sosial budaya merubah struktur kehidupan masyarakat dari masyarakat agraris,
masyarakat industri dan masyarakat informasi yang lebih menitikberatkan pada
keabsahan dan nilai informasi sebagai tujuan utamanya. Representasi dari
masyarakat informasi yang secara nyata ada dalam keseharian adalah penggunaan
perangkat teknologi mobile yang sudah
jamak dilakukan. Gateway, browsing,
chatting, video call, media sosial menjadi keseharian masyarakat. Teknologi
informasi dan internet menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang menjadi
komponen utama masyarakat. Dalam berbagai kacamata perubahan masyarakat kearah
masyarakat informasi, selalu dikaitkan dengan proses pembelajaran, penciptaan,
pengolahan dan penyebaran pengetahuan sebagai unsur utama yang berkolaborasi
dengan teknologi informasi. Apabila dikaitkan dengan perpustakaan maka proses
penciptaan dan desiminasi pengetahuan yang berguna bagi konsumsi masyarakat
informasi merupakan kewenangan dan tugas dari perpustakaan. Fungsi perpustakaan
saat ini sebagai information center,
penyedia layanan informasi, manajemen pengetahuan, dan learning center yang terus berkembang seiring dengan perkembangan
terknologi internet baik dari segi infrastruktur ataupun teknologi search engine. Profil pustakawan tidak
lagi sebatas sebagai ‘penjaga buku’ yang hanya menunggu masyarakat memanfaatkan
perpustakaan, tetapi berkembang sebagai ‘pekerja pengetahuan’ karena pada
dasarnya masyarakat yang dilayani oleh perpustakan telah berkembang sebagai
masyarakat berpengetahuan dengan nilai informasi yang absah sebagai hal yang
utama.
Secara
nyata gambaran masyarakat berpengetahuan terlihat dari generasi remaja yang
disebut sebagai digital native yang
berperilaku berbeda dengan generasi sebelumnya dan bahkan menimbulkan rivalitas
antara perpustakaan dan pustakawan. Karakteristik yang berbeda dengan
generasi-generasi sebelumnya yang lebih mengutamakan teknologi internet dalam
berinteraksi dengan siapapun. Mereka lahir setelah tahun 1980 ketika teknologi
digital seperti internet dan media komunikasi online sudah ada. Mereka memiliki keahlian akses berjejaring dengan
teknologi digital yang mereka gunakan (Palfrey, 2008). Generasi yang lahir dari
serbuan budaya elektronik televisi dan internet yang berbeda dengan budaya
tekstual generasi sebelumnya. Ibrahim (2007) menyebutnya sebagai generasi
visual atau ‘generasi V’ yang sejak lahir, dibesarkan dan diasuh diantara
narasi visual yang sangat berbeda dengan dengan budaya tekstual yang diperoleh
dari budaya baca. Generasi visual menjadikan hiburan dan menonton televisi
sebagai panglima dan waktu luang serta waktu bermain mereka tersita sebagian
besar dihadapan televisi. Tidak mengherankan kemudian gaya hidup generasi ini
menjadi identitas yang mencerminkan perubahan yang berbeda dengan karakteristik
generasi sebelumnya, bahkan seringkali menjadi bahan perdebatan yang
menimbulkan ‘kompromi’ dalam pranata sosial masyarakat. Fenomena penggunaan
internet dan televisi menjadi contoh nyata bagaimana generasi visual diakomodasi
oleh MTV sebagai bagian program unggulan yang digandrungi oleh masyarakat.
Produk industri budaya massa yang selanjutnya melahirkan generasi MTV karena
kegandrungan generasi ini pada acara tontonan yang ditayangkan lewat video
music atau hiburan di MTV.
Gaya
hidup, simulasi dan budaya tanda teknologi informasi memunculkan sejumlah
pertanyaan tentang eksistensi perpustakaan dalam pranata sosial masyarakat
informasi. Apakah masyarakat informasi dibentuk oleh perpustakaan, ataukah
sebaliknya eksistensi perpustakaan akan ‘termarjinalkan’ oleh hiruk-pikuk
perkembangan teknologi informasi?. Dilema perpustakaan dalam kultur masyarakat
informasi adalah ‘klaim’ perpustakaan yang menyebutkan bahwa perpustakaan
memiliki peran yang utama dalam pranata sosial masyarakat informasi. Masyarakat
informasi dibentuk oleh peran perpustakaan dalam menyajikan dan memproduksi
informasi terseleksi yang digunakan oleh masyarakat, namun dengan argumentasi
bahwa masyarakat informasi merupakan masyarakat ‘pembelajar’ apakah peran perpustakaan
masih diperlukan? Dalam logika informasi masyarakat, informasi yang didapatkan
merupakan pengetahuan yang digunakan untuk melaksanakan strategi dalam upaya
pengambilan keputusan.
Kondisi ini memicu masyarakat informasi yang berpengetahuan berdasarkan
tindakan yang digunakan sebagai kaidah perilaku untuk bertindak dalam
melaksanakan inovasi untuk memenangkan persaingan. Cara mendapatkan informasi
pengetahuan pun semakin spesifik dengan berbagai macam pilihan sumber-sumber
informasi global yang tidak memerlukan administrasi yang berbelit dan bersifat real time kapanpun dimanapun.
Dengan
demikian maka secara kelembagaan dan direncanakan sebaik mungkin oleh
perpustakaan yang dituangkan dalam kebijakan menghadapi generasi MTV, sudah
seharusnya perpustakaan berubah cara pandannya dalam ‘melayani’ generasi MTV
yang memiliki karakeristik berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang
bersifat tekstual. Satu
hal yang harus diketahui oleh pustakawan dan perpustakaan bahwa net generation, digital native, generasi V, generasi MTV memiliki
sifat yang berbeda dengan generasi seselumnya, mereka belajar, bekerja, menulis
dan berinteraksi dengan komunitasnya, bahkan terkadang berinteraksi dengan
pihak luar komunitas dalam perkembangan kehidupannya. Mereka sangat tertarik
dengan media online, berjejaring
dengan berbagai macam budaya, berinteraksi sosial, berteman, beraktifitas
dengan mengandalkan teknologi digital.
Net Generation
Kuatnya
pengaruh penggunaan teknologi informasi dan internet dan kemampuan ilmu pengetahuan
merubah struktur pranata sosial masyarakat berdampak pada lahirnya generasi
internet, digital native, generasi
visual yang lahir pada saat teknologi digital sudah ada dalam kehidupannya.
Bagi perpustakaan pun adaptasi layanan dan transisi perubahan wajib
dilaksanakan untuk mengakomodasi kebutuhan generasi internet. Amanat UU
Perpustakaan No 43 tahun 2007 menjelaskan bahwa koleksi perpustakaan diseleksi,
diolah, disimpan, dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan
pemustaka dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Sedangkan dari aspek layanan perpustakaan, bahwa setiap perpustakaan
mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi. Layanan perpustakaan dengan basis teknologi informasi dan
komunikasi merupakan kewajiban bagi perpustakaan yang sejalan dengan
perkembagan ilmu pengetahuan yang semakin kompleks dan menuntut kreatifitas
mencari rujukan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari internet. Kolaborasi ini
selaras dengan sifat net generation
yang selalu berinteraksi dengan perangkat teknologi informasi. Komunitas dunia maya yang memiliki sifat
dinamis dan menjadi aktor membangun interaksi aktif dan memanfaatkan internet
merupakan ciri dari net generation. Net generation bukanlah
sekelompok remaja urban atau generasi muda yang muncul begitu saja karena
perkembangan zaman, melainkan kemunculannya sangat terkait dengan inovasi dan
perkembangan mutakhir teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi
(Sugihartati, 2014). Kehadiran net
generation didahului oleh generasi sebelumnya yang memiliki karakteristik
yang khas yang berbeda dengan net
generation, namun tetap berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang umumnya gagap teknologi dan tidak
mengenal media baru seperti handphone
dan perangkat teknologi informasi yang lain, generasi muda yang muncul setelah
tahun 1946 – an umumnya telah terbiasa hidup dalam pengaruh televisi yang
ketika itu merupakan lompatan besar dalam perkembangan industri budaya dan
teknologi informasi.
Secara garis
besar pengelompokkan munculnya generasi
sebelum lahir hingga adanya net
generation sebagai berikut: pertama,
the baby boom (1946-1964). The baby boom merupakan generasi yang lahir antara tahun 1946-1964 dan
sering pula disebut a baby boomer. Berbeda dengan generasi
sebelumnya yang terlibat langsung dengan pengalaman perang dan terbiasa
mendengar bahkan menjadi bagian dari cerita dramatis perjuangan merebut
kemerdekaan dan kebangsaan, generasi baby
boom lahir dan tumbuh dalam suasana sosial politik yang lebih tenang,
memiliki semangat memberontak, larut dalam pengaruh gaya hidup bohemian, bahkan tak sedikit yang
membenci peperangan. The baby boom disebut-sebut
merupakan generasi TV karena mereka hidup dalam masa ketika penyebaran dan
pengaruh televisi benar-benar luar biasa sebagai bagian dari produk industri
budaya. Kedua, generasi X – the baby bust (1965-1976). Generasi X
tumbuh dalam iklim persaingan global yang semakin ketat dan menyadari arti penting
pendidikan, sehingga sebagian besar generasi ini umumnya memiliki latar
belakang yang lebih baik dan menghargai pendidikan sebagai modal sosial yang
penting untuk menyongsong masa depan mereka. Ketiga, net generation atau generasi Y (millennial) (1977-1997).
Generasi ini dilahirkan antara tahun 1977-1997 dan disebut juga sebagai net generation atau generasi Y atau millennial karena mereka tumbuh ditengah
perkembangan dan kecanggihan teknologi informasi dan internet (Tapscot, 2009).
Berbeda
dengan generasi sebelumnya yang lebih banyak terpesona pada narasi tekstual, net generation tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan sosial dan kebiasaan sejak awal yang telah akrab dengan
internet. Lebih lanjut tentang karakteristik generasi millenial dapat dijelaskan memiliki sifat yang
meliputi: freedom, customization,
scrutiny, integrity, collaboration, entertainment, speed dan innovation. Freedom, merupakan karakteristik yang
berkaitan dengan pemahaman bahwa internet telah memberikan kebebasan untuk
memilih apa yang hendak dilakukan, apa yang dibeli, dimana hendak bekerja. Net generation umumnya memiliki dan
menuntut kebebasan untuk selalu memilih berbagai alternatif yang tersedia. Customization, memberikan pengertian
bahwa net generation umumnya adalah
konsumen yang aktif dan acap kali bisa memperoleh suatu hal dengan berbagai
penyesuaian untuk menjadi miliknya. Scrutiny,
yakni karakteristik yang berkaitan dengan sikap kritis. Akses terbuka terhadap
internet memungkinkan net generation
menggali berbagai sumber informasi dan memiliki pandangan alternatif dalam
berbagai pilihan. Integrity dapat
diartikan sebagai penghasil informasi yang benar. Collaboration, merupakan karekteristik yang memberi pemahaman bahwa
net generation umumnya memiliki
insting alami untuk terus berkolaborasi dan berinovasi karena interaksi online yang mereka kembangkan. Entertainment, memberikan pemahaman
bahwa net generation memiliki banyak
kesempatan untuk menyenangkan diri mereka secara online. Internet memberikan pilihan yang menyenangkan yang bersifat
up to date kapanpun dan dimanapun. Speed, merupakan karakteristik net generation yang memuja kecepatan.
Bagi mereka kecepatan merupakan idiom penting yang menandai kehidupan
sehari-hari. Innovation, memberikan
pemahaman bahwa net generation dibesarkan
pada lingkungan dan budaya penemuan inovasi yang serba dinamis. Ide-ide baru
merupakan produk budaya dalam menjalankan aktivitas sehari-hari mereka.
Meskipun
memiliki sifat dan karakter yang berbeda dengan generasi sebelumnya, tetapi net generation
bukanlah generasi yang sepenuhnya ‘sendiri’. Peran pustakawan menjadi mitra
utama dalam membimbing mereka
mendapatkan dan menggunakan informasi yang benar-benar berguna bagi kehidupan net generation. Dengan memahami sifat
dan karekteristik net generation
sebagai pemustaka yang dilayani oleh perpustakaan, maka perpustakaan
berkewajiban memberikan layanan maksimal dengan perubahan yang akomodatif baik
dari sifat kelembagaan perpustakaan dan cara pandang pustakawan dalam
memberikan layanan kepada net generation.
Salah satu perubahan transisi yang bersifat akomodatif adalah memandang net generation bukanlah ancaman bagi
kelangsungan layanan perpustakaan, tetapi memberikan pemahaman dan sekaligus
partner bagaimana perpustakaan menyediakan informasi yang benar-benar
dibutuhkan oleh mereka, pustakawan memberikan bimbingan melalui kegiatan
literasi informasi dan penerapan konsep manajemen pengetahuan di perpustakaan.
Keabsahan dan nilai informasi yang dimiliki oleh perpustakaan menjadi jawaban
dalam mengakomodasi kebutuhan net
generation.
Transisi Perpustakaan sebagai Gaya Hidup
Karakteristik pemustaka net generation memiliki perbedaan dengan generasi-generasi
sebelumnya. Perubahan cara pandang perpustakaan akan pemustaka yang dilayani
menjadi keharusan untuk memberikan layanan maksimal kepada pemusta
perpustakaan. Setidaknya
perpustakaan memerlukan konsep perubahan yang meliputi pertama, perpustakaan harus bersikap akomodatif terhadap net generation dengan memberikan
fasilitas layanan yang mendukung ‘gaya hidup’ net generation. Konsep learning
commons yang disesuaikan dengan kebutuhan net generation menjadi syarat utama layanan perpustakaan.
Penyediaan sarana prasarana yang representativ, koneksi internet sebagai sarana
berjejaring, tersedianya prasarana untuk bersantai dan berleha-leha untuk
diskusi, penambahan ruang belajar dengan sarana teknologi informasi yang
lengkap. Kedua menyediakan koleksi
bahan perpustakaan yang bersifat interaktif, multimedia dan dapat digunakan
secara bersama-sama. Net generation tidak begitu memperdulikan koleksi dalam
bentuk teks karena informasi yang didapatkan dengan cara koneksi dengan
internet dengan menggunakan mesin pencari, oleh karena itu perpustakaan perlu
mengembagkan layanan multimedia dalam berbagai jenis koleksi perpustakaan baik
yang bersifat online dan yang
bersifat offline.
Ketiga adalah aturan kebijakan
perpustakaan yang harus dirubah dalam menghadapi net generation, aturan tersebut dirubah tetapi dengan berpedoman
pada penghargaan dan sangsi yang harus ditegakkan, dalam arti bahwa net generation bukan generasi yang ‘termarjinalkan’
karena bertingkah laku menghilangkan budaya tinggi sebagai aturan baku, tetapi net generation pun harus menghormati
norma yang sudah dibangun oleh lembaga perpustakaan. Keempat pustakawan harus beradaptasi dengan perkembangan ‘gaya
hidup’ net generation yang memandang bahwa perpustakaan adalah
bagian dari gaya hidup dalam mendapatkan pengetahuan dan akses informasi.
Pustakawan tidak perlu membatasi diri dan bersifat tertutup dengan berbagai
sifat dan karakteristik net generation yang memuja kebebasan dalam akses informasi dimanapun dan kapanpun.
Seringkali pustakawan merasa risih dengan perilaku pemustaka net generation yang menggunakan
perpustakaan. Bagi mereka perpustakaan merupakan gaya hidup dan merupakan
identitas budaya yang seharusnya dimaksimalkan untuk menciptakan ekosistem ilmu
pengetahuan.
Kelima adalah bagaimana membangun konsep
dialektika antara pustakawan dan net
generation dengan memanfaatkan
kegiatan bersama berupa kegiatan literasi informasi yang dilaksanakan secara
periodik. Literasi
informasi dilaksanakan untuk memberikan bimbingan dan pembelajaran bagaimana
mendapatkan sumber-sumber informasi yang cepat, tepat dan efisien. Meskipun
karekterisik net generation yang selalu berjejaring dan terkoneksi
internet, namun peran pustakawan diperlukan dalam memberikan bimbingan
bagaimana mencari, mendapatkan, menyaring informasi yang benar, menggunakan dan
mendapatkan informasi yang bernilai. Keenam
adalah adanya kegiatan promosi dan sosialisasi layanan perpustakaan yang
bersifat interaktif menggunakan teknologi web
tentang jenis-jenis layanan perpustakaan dan produk informasi yang diproduksi
oleh perpustakaan. Teknologi web perpustakaan menjadi jendela utama dalam akses
informasi generasi internet sekaligus sebagai sarana interaksi ilmu pengetahuan
yang benar-benar berguna bagi mereka.
Penutup
Kedatangan genarasi internet
yang menggunakan layanan perpustakaan tidak perlu dianggap sebagai sumber
ancaman bagi eksistensi perpustakaan. Generasi yang lahir dari perkembangan
masyarakat dengan tulang punggung ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menyertainya. Generasi internet merupakan produk dari masyarakat informasi yang
memiliki ciri utama informasi merupakan nilai dan sumber pranata sosial
masyarakat yang sangat diutamakan untuk proses pengambilan keputusan. Perpustakaan
berkewajiban mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan informasi generasi internet
meskipun secara tekstual terdapat pertentangan antara perpustakaan dan generasi
internet.
Kewajiban perpustakaan adalah menjalankan
transisi transformatif mengikuti pola perkembangan generasi internet yang
bersifat independent dan memandang
perpustakaan adalah sebagai gaya hidup. Oleh karena itu sudah sewajarnya
generasi internet ‘mengakomodasi’ perpustakaan sebagai ‘gaya hidup’ generasi internet
dan juga sebaliknya merupakan kewajiban perpustakaan memandang generasi internet
sebagai pemustaka perpustakaan yang harus dilayani bukan ‘dimarjinalkan’ karena
berbeda dengan generasi tekstual yang memuja proses dialektika antara teks
dengan pemustaka. Transisi transformasi perpustakaan adalah kemauan
mengakomodasi perubahan sifat generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya,
dengan demikian sudah selayaknya perpustakaan merupakan ‘gaya hidup bagi
generasi internet’, tidak saja pemujaan pada acara video musik di televisi
dengan MTV yang menjadi fenomena, namun perpustakaan pun dipuja sebagai bagian
dari ‘gaya hidup’ generasi internet. Digital
native, generasi internet, generasi visual adalah generasi perpustakaan sebagai
‘lifestyle of library’.
Referensi
Featherstone,
Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya
Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ibrahim,
Idy Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi; Dinamika Popscape dan
Mediascape di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Laksmi.
2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna;
Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu
Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.
Nurochman, Arif. Telaah Sosial
Kontemporer Masyarakat Informasi; Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi. Media Pustakawan. Vol. 23 No. 2 Tahun
2016
Palfrey,
John and Urs Gasser. 2008. Born Digital;
Understanding The First Generation of Digital Natives. New York: Basic Book.
Piliang,
Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat;
Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Bandung: Matahari.
Ritzer, George dan Dauglas
J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tapscot, Don. 2009. Grown Up Digital. How the Net Generation is
Changing Your World. New York: Mc.Graw Hill.
Sugihartati, Rahma.
2014. Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer.
Jakarta: Kencana
Sulistyo-Basuki.
2014. Senerai Pemikiran Sulistyo-Basuki: Profesor
Pertama Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Indonesia. Jakarta: ISIPII.
Toffler, Alvin. 1980. The Third Wave. New York: Bantam Book.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2007 tentang Perpustakaan.