Wednesday 19 December 2012

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN DI TENGAH PUSARAN BUDAYA POSTMODERN


PENDAHULUAN
Era keterbukaan, era komunikasi massa, era masyarakat informasi, era demokratisasi informasi dan era postmodern yang tengah melanda masyarakat sekarang ini terlihat dari berbagai macam fonomena tanda yang hampir pasti merasuki semua aspek kehidupan masyarakat. Fenomena yang secara kasat mata terlihat adalah makin meningkatnya percepatan penggunaan perangkat teknologi informasi dengan tulang punggung kecepatan akses dan kecepatan teknologi yang menyertainya. Masyarakat dihadapkan pada pilihan apakah mengikuti perkembangan tersebut atau keluar dari pusaran percepatan trend penggunaan teknologi. Jika sudah demikian, maka kondisi sosial masyarakat menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas yang harus dikonsumsi oleh masyarakat. Maka tidak mengherankan kemudian memunculkan struktur sosial ‘masyarakat konsumsi’ dengan asas kecepatan (velocity) sebagai tulang punggungnya. Lalu bagaimana dengan kondisi masyarakat yang masih mempertahankan ‘identitas budaya’ lokal karena tidak mampu mengikuti pusaran ‘kecepatan’ yang diciptakan oleh masyarakat konsumsi? Atau mereka melawan budaya global dengan tetap mempertahankan identitas budaya lokalnya? Apakah mereka kita sebut sebagai masyarakat tradisional (dalam hal ini disebut sebagai masyarakat modern) atau kita anggap sebagai masyarakat yang gaptek misalnya dalam hal penggunaan teknologi komunikasi?
Sesungguhnya kondisi masyarakat kita sekarang ini sudah masuk dalam pusaran pengaruh budaya ‘postmodern’ yang berafiliasi dengan unsur ‘kecepatan’ di hampir semua aspek. Salah satu indikator masyarakat postmodern adalah terbentuknya budaya konsumsi yang ditandai dengan model ‘kecepatan’ sebagai acuannya. Contoh kasus adalah makanan cepat saji, mobile phone, internet dan sarana cyber lainnya yang kesemuanya menjadi spiritualitas baru masyarakat. Komodifikasi tanda dan penetrasi iklan berkolaborasi dengan kecepatan untuk menciptakan trend dan produk baru yang diinginkan oleh kemampuan konsumsi masyarakat konsumen. Kapitalis memproduksi barang konsumsi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi untuk memenuhi ‘hasrat’ konsumsi untuk pemenuhan citra, prestise dan gaya hidup.
Lalu bagaimana dengan kondisi Perpustakaan sekarang ini, apakah keadaannya demikian adanya, terpengaruh oleh budaya postmodern? Secara nyata dapat dilihat dari indikator berapa jumlah pemustaka yang memanfaatkan teknologi web dalam menelusur informasi di portal Perpustakaan perhari, berapa jumlah OPAC untuk mencari literature, berapa jumlah pemustaka yang terlayani oleh sistem informasi perjam dan lain sebagainya, yang kesemua indikator tersebut mencerminkan ‘kecepatan akses dan kecepatan layanan’ sebagai produk informasi perpustakaan sekarang ini. Dengan indikator trend kecepatan, efisiensi, dan efektivitas apakah hal tersebut bukan merupakan representasi budaya konsumsi sebagai hasil penetrasi dari budaya postmodern? Artinya semua kegiatan perpustakaan sekarang ini dari unsur administrasi, teknis dan layanan informasi mencerminkan budaya postmodern yang mengutamakan kecepatan, berjejaring (connectivity) dan penggunaan teknologi informasi sebagai sarana utama “memasarkan” produk informasi perpustakaan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana dengan ‘spirit perpustakaan’ sebagai lembaga ‘sosial’ untuk menyediakan sumber informasi sebagai lembaga yang mengemban amanah ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ atau setidak-tidaknya sebagai lembaga sumber belajar sepanjang hayat ditengah pusaran budaya postmodern yang bercitra negatif dan merusak menurut sebagian besar tanggapan masyarakat kita sekarang ini? Bagaimana posisi perpustakaan mempertahankan ‘identitas budaya’ sebagai lembaga pusat informasi dan pembelajaran mandiri? Dan sesungguhnya ‘kecepatan-kecepatan informasi’ tersebut untuk siapa? Setidaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut layak direnungkan bagi perpustakaan, pustakawan dan individu yang memerlukan ‘pencerahan’ dizaman yang serba cepat, canggih, one klik, mobile dan berjejaring.

PEMBAHASAN
            Perpustakaan saat ini dihadapkan pada kondisi yang dilematis, apakah harus bertransformasi dengan kaidah ‘kecepatan’ informasi, atau sekedar sebagai lembaga ‘penyaji’ informasi dengan mempertahankan identitas budaya yang sudah melekat sebagai lembaga ilmu pengetahuan yang tentunya memerlukan ‘perenungan, pembelajaran, diskusi, interpretasi’ tanpa harus mengagung-agungkan ‘kecepatan dan interkoneksi’. Bukankah proses pembelajaran yang hakiki adalah tersedianya ‘teks, konten informasi’ yang memerlukan perenungan dan interpretasi daripada sekedar mengejar ‘up to date, kecepatan, nilai, dan keterhubungan’?. Mengapa konsensus budaya perpustakaan sebagai lembaga sosial ‘pemerata’ ilmu pengetahuan harus bertransformasi kearah ‘kecepatan akses informasi’ dengan teknologi internet yang bersumber dari produksi ‘kapitalis’ informasi yang hanya sekedar memenuhi hasrat kecepatan, tanpa mau menggali arti dari kecepatan itu sendiri. Mengapa seringkali perpustakaan terjebak pada kondisi ‘kuantitas’ pemustaka yang ‘tinggi’ apabila berkunjung ke perpustakaan karena adanya fasilitas yang ‘serba baru’ dengan perangkat wifi, lab computer, OPAC, meeting room, kafe, sofa, book corner tanpa memperhatikan ‘kualitas’ intelektual pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan. Apakah benar pemustaka yang menggunakan sarana wifi, internet, chating disofa benar-benar melaksanakan kegiatan ‘intelektualitas’ dalam arti ada proses dialektika dari yang tidak tahu menjadi kegiatan pencerahan, ataukah hanya sekedar ‘berselancar’ memenuhi kebutuhan hasrat informasi gaya hidup selebritis dari pada kegiatan dialektika pembelajaran.
            Lalu bagaimana dengan perpustakaan yang minim fasilitas ‘kecepatan’, tidak ada sambungan internet, OPAC terbatas, tetapi perpustakaan tersebut ‘memanusiakan’ pemustaka dengan sumber referensi literature yang melimpah, interkoneksi berasal dari pustakawan dengan pemustaka yang saling menghormati, kolaboratif mencapai dialektika pembelajaran tentang ilmu pengetahuan? Artinya bahwa perpustakaan merupakan ruang dialog antara pustakawan dan pemustaka untuk memberikan pencerahan intelektualitas dengan konsensus ‘perpustakaan adalah sumber pembelajaran sepanjang hayat’ dengan memerlukan perenungan, interpretasi, dan interaksi kearah individu yang lebih baik dengan tulang punggung ‘proses’ dialektika bukan unsur ‘kecepatan’ sebagai tujuan utamanya.
            Gambaran-gambaran akan kondisi perpustakaan sekarang ini yang merupakan representasi budaya postmodern yang tengah melanda organisasi public keinformasian perpustakaan. Sebelum lebih lanjut menelaah peran dan posisi perpustakaan ditengah budaya postmodern ada baiknya terlebih dahulu mendeskripsikan budaya postmodern dengan ciri-ciri yang berkembang dimasyarakat luar yang nantinya dapat kita bandingkan dan telaah, baik dan buruknya budaya postmodern tersebut.

POSTMODERN
            Pergulatan tentang arti dan definisi postmodern dari bebarapa ahli sosiologi dan budaya tidak dapat memberikan definisi yang pasti, hanya sebagian tokoh tersebut memberikan indicator ‘wacana tanda’ yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang sedang berlangsung sekarang ini. Tokoh postmodern yang sering sebagai rujukan dalam menganalisa masyarakat postmodern diantaranya adalah Lyotard yang memberikan wacana tanda berupa masyarakat postmodern dilandaskan pada gerakan kearah tatanan post industrial. Lyotard memberikan asumsi bahwa kondisi masyarakat sekarang berada pada kondisi ‘sesudah’ era industry yang apabila kita telusur bahwa perkembangan masyarakat dimulai dari era kegelapan, renaissance dan era revolusi industry. Memang asumsi ini didasarkan pada kondisi masyarakat eropa pada saat itu, namun kondisi sekarang ini masyarakat dihadapkan pada kondisi riil tentang adanya perubahan budaya kearah era ‘post industri’. Lebih lanjut lyotard menjelaskan bahwa ketertarikan membicarakan masyarakat postmodern adalah pengaruh efek-efek khusus dari ‘komputerisasi masyarakat’ atas pengetahuan dan dia berpendapat bahwa hilangnya makna dalam postmodern tidak boleh ditangisi karena hal ini berarti penggantian pengetahuan naratif oleh pluralitas permainan bahasa dan universalisme oleh lokalisme (Featherstone). Bahwa produksi industry tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat seperti halnya dalam era industry, tetapi kondisi sekarang ini produksi lebih menekankan pada aspek ‘gaya hidup’, kecepatan yang mengaburkan makna konsumsi itu sendiri. Produksi alat-alat konsumsi yang dihasilkan oleh ‘kapitalis produksi’ mengaburkan makna relasi produksi dan konsumsi hanya semata-mata untuk menciptakan ‘hasrat kecepatan’, seperti terlihat dalam penggunaan sarana teknologi computer hanya sebatas untuk pemenuhan gaya hidup yang berasaskan kecepatan. Lyotard tertarik dengan fenomena perubahan sosial budaya masyarakat diera penggunaan computer dan teknologi informasi. Sedangkan Baudlillard menakankan bahwa bentuk-bentuk teknologi dan informasi baru menjadi pusat perubahan dari tatanan sosial yang reproduktif, dimana berbagai simulasi dan model semakin melanda dunia sehingga perbedaan antara yang nyata dengan yang tampak menjadi kabur. Ketika tatanan sosial diibaratkan sebagai sebuah simulasi dengan berbagai kecepatan teknologi yang menyertainya produksi teknologi menjadi ‘gaya hidup’ yang akhirnya memunculkan tatanan sosial baru berupa masyarakat konsumsi yang menghilangkan makna logika produksi sebagai alat pemenuhan kebutuhan konsumsi yang sewajarnya. Konsumsi dilakukan secara ‘besar-besaran’ yang hanya dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan ‘hasrat’ gaya hidup masyarakat, maka tidak mengherankan kemudian Baulldilard menyebutnya sebagai ‘simulasi’ gaya hidup yang mengaburkan logika dan makna sesungguhnya.
            Sedangkan Sutrisno dan Hendar Putranto memberikan klarifikasi dan sejumlah definisi pokok tentang postmodernisme meliputi:
1.      Definisi postmodernisme, tidak mempunyai sebuah definisi tunggal monolit-ketat yang bisa selalu kita acu dan kita jadikan pegangan. Namum, setidaknya postmodernisme mempunyai dua karakter pokok: pertama, gaya estetis dan artistic yang menolak kode-kode artistic dan estetis dari era modernisme. Kedua, posisi teoritis dan filosofis yang menolak kaidah-kaidah pemikiran modern (seperti pascastrukturalisme)
2.      Definisi pascamodernitas, sebuah tahap perkembangan sosial yang dipikirkan sebagai melampaui modernitas. Ide pokok yang mau diangkat disini adalah bahwa telah terjadi perubahan radikal dari ekonomi era industry yang berkutat seputar produksi barang dan jasa menuju ekonomi pascaindustri yang diorganisasikan seputar konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi informasi.
3.      Definisi pascamodernisasi (postmodernization), sejumlah proses perubahan sosial yang mengarah pada transisi dari modernitas menuju pascamodernitas.
4.      Globalisasi, proses dimana dunia tempat kita hidup ini menjadi semakin terhubung satu sama lain, dan dunia di mana batas-batas politis, budaya, ekonomis yang tadinya ada, sekarang menjadi semakin rapuh, mengabur, bahkan dianggap kurang relevan.
Postmodern merupakan alat untuk menganalisa fenomena-fenomena sosial budaya yang tengah terjadi dimasyarakat kita sekarang ini tidak terkecuali perpustakaan dan pusat-pusat informasi lainnya.
      Untuk lebih memberikan pemahaman tentang postmodern, maka ciri-ciri budaya dan masyarakat postmodern dapat dianalisa sebagai berikut;
1.      Pengaruh budaya dan media massa yang menjadi sedemikian kuat dalam hidup sosial daripada era sebelumnya.
2.      Hidup sosial dan ekonomi lebih berkisar pada konsumsi symbol-simbol dan gaya hidup daripada produksi barang yang menjadi ciri khas era industry.
3.      Serangan atau kritik atas ide tentang realitas dan representasinya.
4.      Yang menjadi prinsip pemersatu dari produksi cultural adalah imaji dan ruang, bukan lagi narasi dan sejarah.
5.      Munculah aneka macam parodi, pasthice, ironi, kitsch dan elektrisme pop seperti tampak dalam pementasan wayang kulit, dalam babak ‘goro-goro’ dimana tokoh bima didarat berbicara kepada gatotkaca yang melayang di udara dengan menggunakan mobile phone.
6.      Bentuk-bentuk arsitektur urban menunjukan gejala penonjolan hiburan, ‘leha-leha’, dan gaya hidup seperti paling jelas tampak dalam pusat-pusat perbelanjaan (mall), taman hiburan, dan kompleks hunian seperti real estate, kondominium, dan apartemen.
7.      Hibriditas dipuja, rigiditas distingsi (klasifikasi, batas-batas, seperti batas antar budaya tinggi atau elite dan budaya rendah atau popular) semakin mengabur atau bahkan ditinggalkan.
Ciri-ciri budaya postmodern apabila kita kaitkan dengan perpustakaan, maka memiliki kemiripan dan setidaknya perpustakaan pun telah mengaplikasikan perangkat teknologi informasi untuk memberikan layanan maksimal kepada pemustaka perpustakaan. Tidak mengherankan kemudian perpustakaan berlomba-lomba memberikan aspek kecepatan, keakuratan, ketepatan dalam akses informasi kepada pemustaka, karena sesungguhnya pemustaka tersebut merupakan masyarakat postmodern yang harus dilayanai oleh perpustakaan sebagai lembaga pengelola informasi masyarakat postmodern.

AMBIGUITAS PERPUSTAKAAN
            Dilema perpustakaan ditengah pusaran postmodern merupakan tahapan lembaga perpustakaan untuk bertransformasi menuju lembaga pusat informasi sebagai rujukan masyarakat postmodern, namun kondisi tersebut ternyata menimbulkan pertentangan bagi perpustakaan dan pustakawan dalam menyikapi perubahan tersebut. Dengan latar belakang budaya postmodern yang digambarkan secara ‘ekstrem’ keluar dari kaidah-kaidah dialektika yang selama ini sudah terbagun di perpustakaan, memberikan tantangan tersendiri bagi perpustakaan dan pustakawan itu sendiri. Aspek penggunaan teknologi informasi, konektivitas, literasi informasi, learning common harus secara nyata diaplikasikan oleh perpustakaan untuk menyambut ‘pemustaka postmodern’ dengan berbagai karakteristik budaya yang menyertainya. Perpustakaan dihadapkan pada problem besar bagaimana mengakomodasi semua kebutuhan tersebut dengan memperhatikan semua factor dari segi teknis, SDM, sarana prasarana, relasi komunikasi dan negosiasi yang harus diaplikasikan segera untuk memenuhi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’.
            Apakah memang benar transformasi semua aspek layanan perpustakaan dari sarana prasarana, kemampuan SDM, kebijakan informasi, negosiasi dan interaksi tersebut dapat memberikan pemahaman dan dialektika yang terbagun antara perpustakaan dan pemustaka tersebut dalam hal pemenuhan kebutuhan informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas, atau hanya semata-mata untuk pemenuhan ‘gaya hidup’ lembaga perpustakaan tanpa adanya pemaknaan yang nyata tentang arti kebutuhan transformasi intelektualitas dan pembelajaran. Selama ini perpustakaan hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan sarana prasarana yang menuntut adanya kecepatan, konektivitas, ketersediaan tanpa memperhatikan kedalaman ‘makna’ intelektualitas itu sendiri, semisal apakah memang benar fasilitas tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan pembelajaran dan peningkatan kemampuan kognisi pemustaka. Memang perpustakaan dihadapkan oleh kondisi ‘pemustaka postmodern’ yang memerlukan kebutuhan yang serba ‘terhubung’, leha-leha, diskusi besar, namun perpustakaan dan pemustaka ternyata belum ‘siap’ menghadapi tantangan tersebut.
            Pustakawan masih saja berkutat pada kegiatan ‘mainstrem’ perpustakaan yang dilakukan secara periodic dari tahap satu ketahap lainnya secara urut tanpa mau memandang kebutuhan pemustaka postmodern yang sangat dinamis. Kondisi tersebut mencerminkan pertentangan perpustakaan pada kondisi ambigu, apakah akan mengaplikasikan dan mengakomodasi kebutuhan pemustaka tersebut atau masih mengharapkan dan mempertahankan identitas budaya perpustakaan berupa ‘kesunyian’ dan proses ‘dialektika antara pustakawan dan pemustaka’?
            Ambiguitas perpustakaan tercipta apabila perpustakaan telah menyadari adanya ‘perubahan besar’ yang harus diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi perpustakaan tidak dapat keluar dari ‘mainstrem’ layanan perpustakaan yang bersifat periodic, dan perpustakaan pun tidak mampu menganalisa berbagai indicator pemenuhan kebutuhan pemustaka tersebut benar-benar digunakan secara sewajarnya oleh pemustaka postmodern atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata, artinya ketika perpustakaan dengan berbagai hambatan dan problem besar berusaha memenuhi kebutuhan pemustaka, tetapi kenyataannya akomodasi yang dilaksanakan oleh perpustakaan berupa pemenuhan sarana prasarana, konektifitas informasi, learning common, leha-leha digunakan untuk pemenuhan ‘prestis’ pemustaka semata.
            Pemustaka berkunjung ke perpustakaan hanya sekedar untuk pemenuhan ‘prestis’ tanpa membangun dialektika pengetahuan antara ‘teks informasi’ dan pustakawan, tetapi hanya berselancar menggunakan perangkat teknologi informasi untuk ‘relasi’ media sosial dan kebutuhan berleha-leha, sebaliknya pun pustakawan ‘termanjakan’ dengan sarana prasarana ‘berjejaring’ namun hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan hiburan semata, tanpa mau memberikan pencerahan kepada pemustaka dengan relasi konektifitas untuk menelusur sumber-sumber literature informasi intelektual untuk proses pembelajaran.
Dengan asumsi seperti ini maka ambiguitas perpustakaan sesungguhnya tengah melanda perpustakaan, pustakawan dan pemustaka itu sendiri. Perpustakaan menyediakan sarana prasarana dengan mengandalkan kecepatan dan keakuratan informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka, tetapi pemustaka hanya untuk pemenuhan kebutuhan ‘gaya hidup’ semata tanpa mau menggali ‘makna’ sesunguhnya, sedangkan pustakawan sebagai mediator dialektika antara sumber informasi dan pemenuhan kebutuhan intelektualitas pemustaka, termanjakan tidak mau menganalisa apakah segala fasilitas dan sarana prasarana kebutuhan informasi tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan informasi intelektualitas pemustaka perpustakaan atau hanya sekedar untuk ‘prestis dan gaya hidup’.
Setidaknya perpustakaan dan pustakawan menyadari, bahwa era sekarang telah berkembang kearah budaya postmodern yang merubah paradigma yang telah ‘mapan’ dalam waktu yang lama, yang perlu diaplikasikan adalah perpustakaan harus bertransformasi dari ‘book centric’ ke ‘user centric’. Transformasi itu pun tidak semata-mata hanya untuk pemenuhan kebutuhan pemustaka semata, pustakawan berhak dan berkewajiban menganalisa apakah segala fasilitas dan kecepatan tersebut digunakan untuk pemenuhan kebutuhan intelektulitas atau hanya untuk ‘gaya hidup semata.
Budaya postmodern tidak semata-mata mencerminkan budaya yang ‘arogan’ dan ‘negatif’, namun budaya tersebut mencerminkan fenomena yang sedang terjadi saat ini. Penggunaan dan implementasi perubahan budaya tersebut harus digunakan sesuai dengan karakter budaya asli dan harus mencerminkan ‘identitas budaya’ local yang selama ini telah tertanam dan diaplikasikan.

KESIMPULAN
            Fenomena sosial budaya masyarakat yang terjadi sekarang ini memberikan pemahaman dan menambah khasanah pengetahuan bagi masyarakat itu sendiri dan bagi perpustakaan sebagai lembaga informasi yang hadir sebagai sarana pengumpul, pelestari dan pusat informasi. Perubahan sosial masyarakat yang sedang menggejala dewasa ini adalah perubahan sosial dari arah ‘modern’ kearah ‘postmodern’. Berbagai perdebatan tersebut menyertai dinamika perubahan masyarakat. Terminology modern itu sendiri pun mengacu pada kondisi revolusi industry yang menciptakan relasi produksi dan konsumsi masyarakat untuk proses pembangunan, sedangkan postmodern mencerminkan kondisi ‘pasca’ modern dengan indicator fenomena budaya kecepatan, konektifitas, teknologi informasi, masyarakat konsumsi, penetrasi media massa dan iklan, dan simulasi tanpa yang menggantikan makna sesungguhnya.
            Penetrasi dan pengaruh budaya postmodern pun melanda perpustakaan sebagai organisasi penyedia dan penyaji informasi. Bagi penganut budaya postmodern, informasi merupakan komoditas yang berharga dan semua tulang punggung kehidupan masyarakat sekarang tergantung pada keabsahan dari informasi. Ditengah-tengah pergulatan tersebut perpustakaan mengalami dilema sebagai lembaga dengan ‘misi sosial’ tentang informasi atau harus larut dalam pusaran budaya postmodern dengan informasi sebagai komoditasnya.
            Perpustakaan sudah selayaknya bertansformasi dengan mengakomodasi kebutuhan ‘pemustaka postmodern’ dengan tetap mempertahankan ‘identitas budaya’ perpusakaan yang selama ini sudah terbangun. Asas kecepatan informasi bagi perpustakaan merupakan spirit yang harus dipertahankan untuk meningkatkan ‘nilai informasi’ perpustakaan ditengah budaya postmodern, perpustakaan berkewajiban dan berhak menganalisa kebutuhan pemustaka postmodern sesuai dengan kebutuhan informasi dan sesuai dengan proses dialektika intelektualitas pembelajaran. Konsensus perpustakaan adalah sebagai lembaga informasi intelektualitas yang mementingkan dialektika antara pustakawan dan pemustaka.







Daftar Pustaka

Featherstone, Mike. 2008. Postmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi, dan Makna; Pengantar Analisis Mikro untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Terapan Lainnya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Dauglas J.Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Ritzer, George dan Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media.

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Perancangan Digital Riset Perikanan Berbasis Repository Management System

 Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi saat ini berada pada kondisi tidak pasti yang disebabkan oleh adanya wabah virus corona yan...